This Accident
Berbulan-bulan berlalu kandungan Letta semakin membesar dan dalam keadaan baik, kehidupan keluarga Jevin juga diberkati dengan sembuh dan pulihnya orang tua terkasih, Jeremy. Keadaan kantor sudah lebih baik dari sebelumnya, semua diselesaikan dengan jalur hukum, beberapa somasi dikeluarkan untuk memberi efek jera kepada karyawan yang melanggar tanggung jawab. Jevin kembali duduk di kursi pemimpin dan mungkin Jeremy akan menyerahkan kepengurusan seluruhnya kepada Jevin mengingat usia yang tak lagi muda dan lebih memilih fokus kepada urusan kesehatan.
Hari ini, sesuai janji Stella yang sudah dibuat, Stella menunggu Jevin dan Letta di sebuah tempat. Lama waktu berlalu, Letta yang sudah ada di bulan ke delapan kehamilannya berjalan bersama Jevin saling bergandengan untuk berjalan masuk ke sebuah restoran.
Letta dan Jevin menitipkan Eugene di kediaman Mevin dan memutuskan untuk menemui Stella berdua saja. Tiba di restoran, Jevin dan Letta langsung melihat Stella yang sudah berdiri di sebuah meja untuk menyambut mereka.
Jevin menggenggam tangan Letta semakin erat dan sesekali mengusap punggung tangan Letta dengan ibu jarinya. Letta merasa sedikit tenang walaupun kenangan buruk yang terjadi di masa lalu itu masih sering hadir.
Tiba di sana, Jevin dan Letta dipersilakan duduk di depan Stella. Suasana sedikit canggung hingga akhirnya Stella buka suara, “Jevin, Letta, aku janji ini pertemuan kita yang terakhir. Aku cuma mau bilang terima kasih, dan maaf. Maaf untuk semua hal yang terjadi, maaf untuk kelakuan rendahanku, maaf karena benar apa kata tante Lea kalau aku cum jadi antagonis di cerita kalian. Kata maaf juga mungkin nggak pantes buat aku. Tapi, dari pertemuan kita semua yang terakhir aku jadi sadar. Semua yang kalian omongin benar kok, semua yang Tante Lea bilang itu benar, pernikahan itu sakral karena kita udah janji di hadapan Tuhan.” Perkataan Stella terhenti sejenak karena kini ia mencoba tenangkan dirinya sendiri yang hendak menangis.
Stella mengangkat wajah lagi dan mencoba tersenyum di atas air mata, “aku dan Jack nggak jadi bercerai, semua yang Tante Lea bilang ke aku secara personal bener bener bikin aku terpukul. Dari sisi perempuan, istri dan juga seorang ibu. Aku yang kurang bersyukur, dan sekarang aku sama Jack nggak akan pisah karena Tuhan uji keluarga kita lagi, Cia sakit, ada masalah di jantungnya sejak kecil tapi aku sama Jack nggak aware. Aku sama Jack nggak mungkin berpisah disaat seperti ini. Kami akhirnya memutuskan buat bersama sama lagi, satu hal yang Jack bilang ke aku karena dia lihat gimana tulusnya Letta ke Jevin. Nggak goyah dengan apapun yang terjadi. Letta, thank you so much. Semua yang kamu bilang ke Jack semuanya menyadarkan dia dan aku. Maaf Jack kali ini harus nemenin Cia ke dokter jadi aku yang ketemu kalian. Sekali lagi, aku minta maaf dari lubuk hatiku yang terdalam dan makasih banyak buat semuanya,” kata Stella dengan penuh kesungguhan. Air mata Stella tak henti menetes sembari merapalkan kalimatnya dari awal hingga akhir.
Tak bisa berbohong, hati Letta sebagai wanita juga terketuk, tak hanya sebagai wanita, tapi juga sebagai istri dan seorang ibu juga seperti Stella. Hal ini jujur saja menusuk relung hati Jevin. Jika Jack dan Stella saja bisa mempertahankan pernikahan mereka demi anak, maka itu bukanlah suatu hal sulit untuk Jevin dan Letta juga, bukan? Lantas mengapa harus menyerah?
“Jevin, Letta, lewat keluarga kalian aku bisa lihat apa itu kasih dalam keluarga dan segala sesuatu yang baik yang Tuhan pengin umatNya lakukan. Semua aku temukan di keluarga kalian. Untuk itu, aku minta maaf sebesar-besarnya, aku selalu berdoa untuk keluarga kalian yang secara nggak langsung juga menegur aku selama ini. Maafin aku, Jev, Lett.” Usai Stella mengucapkan kalimatnya, ang tersisa sekarang hanyalah keheningan, Jevin kehabisan kata-kata, dan akhirnya Letta yang angkat bicara.
“Stella, coba pikir lagi berapa banyak hal yang nggak kamu syukuri selama ini. Coba kamu pikir lagi berapa banyak orang yang ikut jadi korban dan kamu sakiti secara nggak langsung? Tapi coba lihat juga lewat ini semua Tuhan mau suruh kamu buat apa? Tuhan tuh mau kamu jadi pribadi yang lebih baik, Cia dan Jack adalah berkat buat kamu. Bahkan Jack nggak meninggalkan kamu walaupun kalian berdua lakukan kesalahan, Tuhan baik ke kamu, Tuhan bikin Jack bertanggung jawab tanpa pernah sekalipun meninggalkan kamu, Stell. Hal itu yang harus kamu ingat, Cia juga pasti nggak mau orang tuanya berpisah, kan?” Karena pada dasarnya Letta yang berhati besar tidak sekedar memaafkan Stella tapi juga ingin Stella mengerti akan semua hal yang terjadi selama ini. Stella pun menyeka air matanya, menggiring tangannya untuk menggenggam tangan Letta dan Stella mengucapkan maaf berkali-kali tapi Stella kembali pecah dalam tangis.
“Live your better life after this, Stell.” Jevin berkata untuk menutup pertemuan kala itu.
Jevin dan Letta kembali ke mobil setelah bertemu Stella, saat Letta hendak memasang seatbeltnya, Jevin menahan tangan Letta sehingga membuat Letta menoleh ke arah Jevin.
“Kenapa, sayang?” tanya Letta.
“Thank you, wonderwomanku.”
“*Thanks for what?”
“*Thanks for being wise and supportive wife. I love you, Nicholetta.” Tatapan tanpa pejam penuh kekaguman pun Jevin berikan untuk Letta, senyum Letta merekah seketika. Sejauh apapun Jevin melangkah, Letta memang rumahnya, miliknya, separuh dari dirinya.
Letta mengangguk dan usap pipi Jevin pelan, “kamu juga, makasih udah mau berubah,” kata Letta. Maka Jevin pun menarik dagu Letta lalu menangkup rahang Letta, menyatukan belah bibir sejenak, bertukar lumatan mesra penuh kasih. Lumatan dipagut beberapa saat hingga menjadi sedikit lebih memburu, Jevin tak henti-hentinya kagum dengan sang juwita. Hingga akhirnya pagutan ditutup dengan kecup lama tanpa melumat, kecup mesra tanpa lumatan yang mengakhiri hari itu.
“I love you,” bisik Letta lirih lalu mencium pipi kanan dan kiri Jevin. Tak mau kalah, Jevin bisikkan kalimat cinta yang sama, lalu mencium kening, pipi, serta ujung hidung Letta.
Keduanya pun bergegas pulang, Jevin menuruti apa yang Letta minta kali ini, karena mungkin bagian dari masa-masa ngidam Letta. Sedari tadi, Letta selalu mengatakan kepada Jevin ia ingin menikmati salad buah, maka Jevin kembali memutar arah mobilnya menuju ke tempat yang Letta mau. Jevin semakin bertanggung jawab dan peka juga tanggap di kehamilan Letta yang kedua ini. Letta yang sedikit sensitif juga bisa diatasi oleh Jevin yang memberi perhatian dan pengertian bagi istrinya itu.
Keduanya saling bercengkerama dan bercanda ringan sepanjang perjalanan tanpa jeda. Berbahagialah mereka berdua kali ini, kehamilan Letta yang sudah mendekati HPL, keadaan yang membaik untuk semuanya, Jevin benar-benar belajar banyak lewat beberapa hal yang terjadi kemarin.
Tiba di suatu tempat, Jevin membiarkan Letta masuk dan memesan salad buah pesanannya, “kamu masuk aja duluan, aku mau beli sesuatu, mau dine in atau take away?” tanya Jevin sebelum keluar mobil.
“Kamu mau kemana? Take away aja, makan di rumah sama kamu sama Eugene, hehe,” balas Letta. Jevin pun mengangguk, “kunci mobil kamu aja yang bawa, kalau udah, tunggu di mobil dulu, ya,” kata Jevin. Keduanya keluar dari mobil, Letta berjalan menuju kedai, sementara Jevin menyebrang, entah apa yang hendak Jevin beli.
Setelah Letta membeli saladnya, ia berjalan kembali ke mobil tapi menunggu di luar, sembari menghirup udara segar sore hari usai hujan, bau khas tanah dipadukan dengan langit senja menambah sejuk suasana sore ini. Letta pun melihat Jevin yang membawa sesuatu yang Jevin sembunyikan di balik punggungnya, tapi Jevin nampak sedang sibuk menelepon seseorang, Letta melambaikan tangan ke arah Jevin dan tersenyum, memberi tanda bahwa ia menunggu Jevin, sang suami membalas dengan senyuman, Jevin masih terlihat berbicara di telepon.
Letta menunggu suaminya itu menyebrang jalan sembari menengadahkan kepalanya melihat langit yang berubah warna menjadi jingga, tapi saat itu juga Letta mendengar bunyi decitan mobil, suara seperti sesuatu yang dihantam besi membuat Letta langsung menoleh, kelopak bunga berceceran di jalan, kerumunan orang perlahan memenuhi jalan, jantung Letta berdegup cepat, dadanya nyeri bukan main, Letta berjalan perlahan ke sana. Ke tempat dimana seharusnya Jevin menyebrang jalan. Sebuah ponsel terlempar jauh sampai ke arah Letta berjalan. Ponsel yang tidak asing untuk Letta.
Langkah Letta semakin ia percepat meski semakin berat dan bergetar, Letta menerobos kerumunan orang itu dan langsung tersungkur, Jevin sudah tergeletak bersimbah darah. Cairan merah pekat dan kental mengalir dari kepala Jevin. Letta langsung menyandarkan Jevin di pangkuannya, “Jevin!!” teriakan Letta memecah kebisingan, guguran kelopak bunga tadi adalah guguran dari bouquet bunga yang Jevin hendak berikan bagi Letta.
Beberapa orang sudah langsung menelepon ambulance, sebuah mobil menghantam tubuh Jevin saat Jevin menyeberang jalan, tapi sang pengemudi melarikan diri, insiden itu terjadi saat Jevin ingin kembali menghampiri Letta dan memberi kejutan kecil darinya. Jevin terpejam, tak merespon apapun yang Letta katakan, persetan dengan baju Letta yang kini berlumur darah.
“Jevin ... sayang ... bangun,” tangis Letta histeris saat itu tapi Jevin tak membuka matanya meski Letta beberapa kali menggoyangkan pelan tubuh Jevin.
Beberapa orang mencoba menenangkan Letta yang menangis histeris. “Jevin! Kamu denger aku kan? Jevin!! Bertahan, please sayang, please, yang kuat, jangan tinggalin aku... Jevin!!” tangis Letta semakin menjadi sambil menggenggam tangan Jevin.