LETTA DAN SAKITNYA SELAMA INI

Hari ini, Lea dan Jeremy menyusul Letta ke rumah sakit, sudah beberapa hari ini Letta menjaga Jevin di rumah sakit meski belum kunjung sadar. Lea dan Jeremy pun datang dan melihat keadaan Letta pun sangat jelas bahwa Letta tidak baik-baik saja. Wajahnya sedikit pucat, matanya berkantung, tubuhnya sangat lemas. Jadi hari ini, Lea mengajak Letta pulang ke rumahnya dan membiarkan Jeremy yang berjaga di sana untuk malam ini.

“Letta pulang ke rumah Mama dulu, ya? Tidur di rumah Mama, besok kesini lagi, sekarang biar Papa Jeremy yang disini. Oke, nak?” kata Lea sambil merangkul Letta yang masih berdiri di depan pintu memandangi Jevin dari kejauhan.

“Mau jagain Jevin, Ma ...”

“Nanti kamu sakit, Jevin lagi sakit, jangan sampai Letta sakit juga, ya? Pulang ke rumah Mama sebentar, besok kesini lagi, Mama janji.” Lea meyakinkan menantunya lagi.

“Biar Papa yang disini, ya? Letta pulang sama Mama, biar Mama yang nyetir. Letta istirahat.” Jeremy yang mendekat ke sana juga menambahkan kalimat yang berharap bisa membuat Letta luluh. Akhirnya Letta mengangguk, Letta memandangi kedua mertuanya itu sesaat, bergantian mengucapkan terima kasih kepada Jeremy dan Lea. Akhirnya malam itu Letta menurut untuk pulang ke rumah mertuanya.

Selama di dalam mobil, Lea fokus menyetir sesekali menoleh menatap Letta yang tertunduk dan juga menatap ke luar jendela.

“Letta, udah makan? Mau beli makan dulu?” tanya Lea.

“Udah, Ma. Nggak usah, langsung pulang aja nggak papa,” balasnya.

“Semua bakalan baik-baik aja, jangan putus doain Jevin juga Grace, ya?”

“Ma ...”

“Ya?”

“Semua lagi nggak baik-baik aja, ya?”

Lea memelankan laju mobilnya, ia tangkap sinyal kesedihan mendalam dari sorot mata Letta.

“Jevin belum sadar, Grace juga pasti Grace trauma banget, Letta nggak bisa bayangin gimana jadi Grace ... kenapa Papanya tega? Tapi Letta juga nggak sekuat itu ngadepin ini semua, Ma.” Kalimat Letta membuat Lea meraih pundak Letta dan mengusapnya pelan sebelum kembali memegang kemudi mobil.

“Mama disini, ada Papa, ada Lauren sama Willy juga, kita semua ada buat Letta.”

“Ma, Letta divonis bisa jadi nggak punya anak kata dokter, beberapa hari sebelum semua kejadian ini.” Kata-kata Letta membuat Lea menepikan mobilnya sigap, Lea langsung menoleh menatap Letta yang kini tertunduk.

“Letta, lihat Mama.” Suara Lea tidak diindahkan Letta karena Letta kini menangis sambil mengusap air matanya sendiri.

“Letta!”

Maka Letta menatap Mama mertuanya itu, matanya merah dan basah, hidung Letta memerah, pipinya sudah basah. Lea berdesir nyeri melihat raut wajah menantunya itu, Lea pun membingkai pipi Letta lalu mengucapkan kalimat dengan penekanan, “Letta kenapa?”

“Kista, Ma... harus operasi, dan Letta nggak mau kalau Jevin belum sehat, susah buat terima kenyataan kalau akan susah punya anak, tapi lebih susah lagi terima kenyataan keadaan Jevin yang kayak gini. Sakit, Ma ... sakit ...” Dari cara Letta berbicara sudah jelas terdengar nada putus asa, alunan elegi dibubuhi rasa sakit mendalam tak terelakkan. Tak ada yang bisa Lea ucapkan lagi kecuali memeluk menantunya itu.

Memeluk Letta erat membiarkan Letta menangis di pelukan Lea. Sungguh semuanya sangat pelik dan menyakitkan bagi keluarga Adrian. Mungkinkah semua keadaan akan membaik? Butuh waktu lama? Atau dalam waktu dekat? Atau tidak akan membaik sama sekali? Yang Letta rasakan hanya hancur, remuk, tapi di dalam hatinya, panjatan doa dan permintaan kepada Tuhan agar semua keadaan kembali membaik tak henti disampaikan Letta. Dalam setiap pejam dan lipatan tangan Letta terpanjat doa dengan segala ketulusan untuk Jevin dan Grace juga untuk kesehatannya.

—-

another day…

Letta yang biasa memastikan keadaan Jevin aman di rumah bahkan di dekapannya kini harus mendapati Jevin terbaring lemah sudah beberapa hari. Letta mendapati pengalaman yang tidak biasa. Tidak ada perkembangan yang Jevin tunjukkan selama ini. Tidak ada kemajuan kondisi yang Jevin tunjukkan. Seringkali Letta menangis ketika ia menunggui suaminya itu, tanpa diketahui siapapun. Hancur hatinya, remuk perasaannya, pria hebat yang ia tahu kini terkulai lemah tak sadarkan diri. Segala doa terbaik ia panjatkan untuk kesembuhan Jevin. Kadang Letta juga tak henti mengajak Jevin berkomunikasi sepihak, Letta tak lelah dan tak lengah.

Senja kali ini rasanya damai sekali, seperti damainya Letta terlelap saat menjagai Jevin. Namun senjanya selalu terasa gelap selama Letta mendapati keadaan Jevin yang belum kunjung sadar. Saat itu Letta terbangun setelah lama waktu berlalu Letta tertidur disana, membenamkan wajah di sebelah tangan Jevin.

Letta terbangun karena mendengar alat pendeteksi detak jantung yang berbunyi, dilihatnya angka yang menunjukkan denyut jantung Jevin menunjukkan angka yang semakin kecil dimana detak jantung Jevin melemah. Hal itu membuat Letta mengerjap dan mendongakkan kepalanya. Dadanya terasa sesak dilanda kepanikan, Letta langsung mendekat kepada Jevin dan menggoyangkan tubuh Jevin dengan sedikit terisak, di pelupuk mata Letta sudah mengantre butiran kristal yang sudah tertahan hendak mengalir.

“Sayang, kamu kenapa? Jevin!” kata Letta dengan suara parau. Setelah itu, dengan secepat kilat Letta pun langsung memencet bel. Saat beberapa perawat dan dokter datang ke ruangan itu, Letta dipaksa untuk menunggu di luar, Letta memberontak namun disaat yang bersamaan, Lea datang, Lea panik dan langsung menarik Letta agar membiarkan dokter yang hendak menangani Jevin masuk.

“Letta! Letta, kenapa, nak?!” cegah Lea sambil menahan lengan Letta. Lea bersandar di tembok lalu jatuh terduduk sambil melipat kakinya, mengepalkan tangan sambil memukuli lututnya sendiri, menangis disana.

“Jevin, Ma ... Jevin nggak boleh pergi! Jevinn! Jevin nggak boleh pergii!!!” Letta histeris dan memukul kepalanya sendiri.

“Sst, nggak ada yang akan pergi, Jevin nggak akan pergi!” Lea memeluk menantunya itu, Letta menangis sejadinya.

Saat dokter dan perawat keluar dari ruangan Jevin dirawat, Lea langsung menghampiri dokter tersebut. “Keluarga pasien Jevin?” tanya sang dokter.

“Saya Mamanya, ini istrinya,” kata Lea sambil satu tangannya merangkul Letta, dan satu tangannya lagi mengusap lengan Letta untuk menyalurkan ketenangan.

“Kondisi detak jantung pasien melemah, tapi ada satu hal yang harus diketahui... mungkin setelah sadar Jevin akan banyak mengalami keluhan menyakitkan seperti, hilang kesadaran, hilang kendali otot yang bisa mengakibatkan gangguan pada saraf saat bergerak, sakit kepala berkepanjangan, hal-hal lain yang mungkin akan dialami Jevin nantinya harap langsung dikonsultasikan kepada dokter. Namun kita semua berusaha semaksimal mungkin dan jangan pernah berhenti berdoa.” kata-kata sang dokter terangkai menyiratkan duka mendalam. Mimpi buruk apa yang baru saja Letta alami? Saat itu juga Letta dan Lea terdiam saat sang dokter berlalu. Letta tersenyum pedih di hadapan Lea namun sedetik kemudian Letta berjalan beberapa langkah membelakangi Lea, hingga Letta terjatuh terduduk di lantai tiba-tiba, Letta tertunduk dan menjerit sambil memukuli dadanya sendiri. Lea langsung berjalan secepat kilat dan berlutut memeluk Letta mencoba menenangkan Letta.

“Jevin! Jevinnn!” tangis Letta sambil memukuli dadanya, Lea mencoba menahan lengan Letta agar menghentikan apa yang dilakukan menantunya itu tapi Letta beberapa kali memberontak. Hingga akhirnya Lea sedikit mencengkeram pergelangan tangan Letta dan membawanya menatap matanya.

“Letta jangan kayak gini, Nak. Jangan ...” ucap Lea memohon masih mencoba menenangkan Letta, perlahan genggamannya terlepas, Letta hanya bisa terisak dan punggungnya masih bergetar hebat. Semuanya terjadi bak mimpi buruk sekarang untuknya.

Sakit di bagian perutnya ia tahan lagi, rasa sakit itu datang berkali lipat jauh lebih sakit dari sebelumnya. Letta menatap ruang Jevin dirawat sekejap, lalu menatap Lea lagi, “Ma, Letta nggak kuat ... Tuhan lihat Letta sekarang, kan? Tuhan lihat Jevin yang tadi ada di ambang kepergian, kan? Tuhan lihat juga vonis yang dokter kasih ke Letta kan, Ma?”

Lea melipat bibirnya yang bergetar sambil mengangguk dan mengusap pipi Letta yang basah oleh air mata, “apa Letta bakalan kuat. Ma?” Lea tertunduk sejenak terisak juga di hadapan menantunya itu, lalu ia paksakan senyum di wajahnya dan berkata kepada Letta, “Tuhan tahu, Tuhan lihat Letta dan Jevin, bahkan saat ini Tuhan ada dan lihat kita, Nak. Kuat, pasti Letta kuat, ada Mama, Papa, Ci Lauren sama Ko Willy, kita manusia hanya bisa berusaha untuk yang terbaik.” Sosok Mama mertua Letta itu kini membelai rambut Letta dan merapikannya, menyingkapkannya agar tidak menghalangi paras ayu Letta.

“Untuk setiap hal ada waktunya, waktu untuk kita nangis, waktu dapet cobaan, waktu untuk senyum, waktu untuk berjuang, waktu untuk menikmati sukacita, juga waktu untuk menuai setiap hal baik yang udah kita tabur. Letta anak baik, Tuhan nggak tutup mata sama ketegaran hati Letta, Mama yakin itu.” Sebuah untai senyum menyejukkan menghunus hati Letta, bagaimana ada sosok ibu sekuat ini? Setegar ini?

Pada saat itu juga, ada alasan untuk Letta jadi lebih kuat dan tangguh dari sebelumnya, saat itu juga Letta paham, meski diberikan banyak rasa sakit, akan ada orang-orang yang Tuhan kirim untuk bersama menanggung luka, meski tak sebanyak luka yang kita dapat, tapi mereka lah yang tulus sepenuh hati, dan akan menemani kita sampai akhir nanti.