LOVE AND LET GO

Keadaan sudah jauh berbeda, Jovian sudah temui perhentiannya yaitu di Petra. Meninggalkan Lea yang hanya bisa memeluk lukanya sendiri tanpa ada yang bisa menjadi penawar. Pernikahan Petra dan Jovian berlangsung tanpa dihadiri Lea. Waktu yang berjalan tak bisa diputar kembali, waktu yang sudah dilewati tak bisa diulang kembali. Jovian sudah masuk terlalu jauh di kehidupan Lea, tapi Jovian pergi dengan luka yang ia ukir sedalam perasaan Lea untuknya. Lea mungkin terlihat baik-baik saja, tapi siapa yang tahu isi hati seseorang dan luka hebat yang disembunyikan dibalik senyum atau tawa? Selepas kepergian kedua orang tua Lea, Jovian datang menemui Lea yang masih menjadi kekasihnya, bukan untuk bertukar peluk tapi mengeja pilu. Keputusan berpisah kala itu disampaikan Jovian, tak ada pilihan terbaik bagi Jovian saat itu. Tak ada pilihan yang menguntungkan dan tanpa menyakiti siapapun. Seperti janji Jovian kali ini, ia akan menemui Lea di hari ke tujuh setelah pernikahannya karena mendengar kabar kurang baik dari kakak laki-laki Lea, Timothy.

Rembulan sembunyi malu di balik awan yang sedikit mendung, tapi Lea masih berada di dalam mobilnya, ia parkirkan tak jauh dari keberadaan Jovian. Sebuah taman yang biasa mereka kunjungi berdua saat masih ada di satu hubungan kini jadi saksi bisu perpisahan mereka, mungkin untuk selamanya. Lea tak bisa menahan tangis, usai melepas seat beltnya, ia tertunduk, menghantamkan kepalanya ke setir mobil dan terisak bukan main. Jovian ada di sana, Jovian ada di sana bukan menunggu untuk mengucapkan kata cinta, bahkan kini sosok pria gagah itu sudah jadi hak milik orang lain, bukan Lea, tapi Petra. Hancur hati Lea tanpa sisa, kehilangan orang tua disusul kehilangan belahan jiwanya, dunia tidak adil rasanya untuk Lea. Semua yang ia cinta hilang tak kembali, kedua orang tuanya juga Jovian.

Setelah Lea menerima telepon dari Jovian, ia mematikan ponselnya, menghela dan mengatur napasnya, ia mulai mengusap air matanya sendiri, meski tak bisa dibohongi jejak air mata dan mata merah serta basah milik Lea adalah bukti bahwa Lea baru saja menangis.

Lea pun keluar dari mobilnya, berjalan dengan langkah berat dan langsung menghampiri Jovian, mengambil posisi duduk di sebelah Jovian. Tatapan Lea lurus ke depan, sementara Jovian masih terlalu gugup dan mengatur debar jantungnya. Jovian mencondongkan tubuhnya duduk ke arah Lea, desir angin malam itu seiringan dengan denyut jantung Lea dimana bukan debar jatuh cinta yang ia rasakan, melainkan denyut sakit di dalam dadanya.

“Lea,” kata Jovian lirih sambil meraih tangan Lea.

“Ngomong aja,” balas Lea lesu, pandangannya lurus ke depan, kosong, enggan menatap seseorang yang sudah menyakitinya.

“Lihat aku, Lea.”

Lea langsung menoleh, Jovian langsung melihat wajah Lea yang sayu, mata gadis itu yang sudah basah, juga hidung Lea yang memerah.

“Udah? Kamu udah lihat aku yang hancur? Kurang hancur nggak?” detik itu juga, usai ucapkan kalimatnya, Lea meneteskan air mata, Jovian hendak menyekanya tapi Lea tepis tangan Jovian kasar.

“Udah hancur sesuai kemauanmu belum, Jov?” tanya Lea dengan penuh penekanan.

Jovian menggeleng cepat dan satu tangannya meraih pipi Lea dan menangkupnya, Lea mengetatkan rahang, menahan emosinya, sekejap memejam meski bibirnya sudah bergetar menahan tangisan yang hendak pecah saat itu juga.

“Sebut aku bajingan, brengsek, apapun itu, silahkan benci aku sepuas kamu. Terserah kamu mau maafin aku atau enggak, yang aku mau kamu harus bahagia, dengan siapapun nantinya. Kamu harus bahagia, walaupun dengan membenci aku, nggak papa.”

Jovian berhenti mengeja kata, Lea mulai menuturkan isi hatinya, “Membenci orang yang selama ini aku cintai sepenuh hati? Susah, tapi lebih susah jalanin hidup ke depannya, tanpa siapapun. Kamu jelas tahu kan, Jov apa yang baru aku sama Abang Tim alami? Aku harus kehilangan Papa sama Mama, dan sekarang aku harus kehilangan kamu. Tapi kalau memang itu jalan kita, aku nggak bisa apa-apa. Jangan datang lagi ke hidupku, aku yakin Petra wanita yang baik, jangan jadi pecundang buat dia. Jangan jadi pecundang seperti sekarang ini.” Lea bangkit berdiri dan hendak pergi, tapi Jovian langsung menahan lengan Lea tapi Lea menghempaskan tangan Jovian. Lea berjalan meninggalkan Jovian lagi tapi Jovian tak kapok, ia kembali pekik nama sang puan dan ia tarik lengan Lea, tapi saat itu juga Lea menampar pipi Jovian.

“Stop! Lepasin aku!” bentak Lea sambil menangis. Dada Lea masih naik turun dan napasnya masih memburu, Jovian dan Lea kini berhadapan, tak ada kata yang terucap, tak ada rasa sakit di pipi yang Jovian rasakan karena ia yakin bahwa sakit di batin Lea jauh lebih dari yang ia rasakan.

“Lea, jangan nangis, Lea ...“Jovian nekat memeluk Lea, wanita itu memberontak di pelukan Jovian, Lea memaksa untuk melepaskan pelukan yang terasa sakit itu.

“Sebentar aja, terakhir. Terakhir biarin aku peluk kamu!” Nada bicara Jovian kini meninggi. Lea memukul dada Jovian berklai-kali tapi Jovian tetap jaga Lea di pelukannya. Hingga akhirnya pukulan itu memelan, yang Jovian dengar hanya isak tangis dari Lea, mantan kekasihnya.

“Aku memang bajingan, tapi jangan pernah air mata kamu itu kamu pakai buat nangisin aku,” kata Jovian. Keduanya tak lagi menangis sendirian, pelukan perpisahan ini terasa jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya. Sisa kenangan diberingkus oleh kenyataan pahit bahwa keduanya resmi berpisah. Damai saat peluk dibagi berdua kini beralih menjadi sakit bukan main saat merengkuh tubuh satu sama lain.

“Aku lepas kamu, Jovian... aku lepas kamu ...” ucapan Lea mengiringi keduanya yang saling merenggangkan pelukan. Jovian tak henti ucapkan kata maaf, hingga akhirnya keduanya saling menatap, sama-sama menangis hingga Lea memilih hengkang dari sana. Jovian terdiam terpaku, bibir dan lidahnya terlalu kelu untuk berkata bahwa ia sangat mencintai Lea. Wanita setegar batu karang itu kini luruh dalam tangis di dalam mobil. Lea memandang Jovian yang berjalan memunggungi Lea, keduanya pernah saling mencintai dan menggenggam hingga kini saling melepaskan.