Luka Itu Seperti Bayangan
Sesuai janji Tela hari ini, Tela akan membawa Grace ke Mount Elizabeth Hospital untuk bertemu ahli yang akan membantu proses penyembuhan Grace. Sepanjang perjalanan, Grace hanya duduk di bus dan menatap ke luar jendela melihat hiruk pikuk Singapore di depan matanya.
Masih menerawang jauh, pikiran Grace berkelana. Tidak pernah ia terbayang sedikitpun sampai di tempat ini, untuk pengobatan? Haha, lucu rasanya. Bahkan beberapa kali Grace sudah mempertanyakan takdir kepada Tuhan dan mempertanyakan kapan hidupnya berakhir. Setiap orang yang datang kepada Grace, termasuk seluruh anggota keluarga Mevin selalu berkata bahwa Grace pasti kuat.
Sayang sekali, Grace tengah berada di titik terendahnya. Kesulitan demi kesulitan selalu ia jumpai setelah ia membuka mata.
Paras yang mendesis di setiap sadar Grace adalah paras Mevin. Lalu saat seuntai senyum terbentuk, maka saat itu juga bayangan Brandon dan kedua orang tua Grace muncul dan datang membuat Grace ketakutan dan bertarung dengan dirinya sendiri. Tepat setelah ia melangkahkan kaki turun dari Bus, Tela menggandengnya, Grace sempat terhentak saat keduanya hendak menyebrangi jalanan, Grace memang masih sering tenggelam dalam lamunannya, kapanpun dan dimanapun.
“Udah siap?” tanya Tela. Grace mengangguk perlahan dan keduanya memasuki kawasan Mount Elizabeth Hospital. Tela tidak melepaskan gandengan tangannya dengan Grace, Tela memastikan Grace tetap dalam jangkauannya.
Setelah mereka tiba di ruang tunggu, Tela meraih jemari Grace dan berkata, “tenang aja, hari ini kenalan dulu sama orang yang akan nemenin lo, ya? Nggak bakalan diapa-apain, ngobrol santai aja, she is my friend, Alicia namanya,” kata Tela.
Grace mengernyitkan dahinya, “Temen lo? James sama Ave temen gue kenal sama lo, sekarang dokternya pun temen lo?”
“Temen gue sama James exactly,” jawab Tela sambil tersenyum yang membuat matanya menyipit dan gigi rapinya terlihat.
“Tuhan baik ternyata,” gumam Grace lirih.
“Dari dulu, sekarang, selamanya. Cuma suka nggak kira-kira kasih cobaannya, namanya juga cuma lakon kehidupan.” Kalimat itu disampaikan Tela dengan nada bercanda tapi Grace bisa menangkap bahwa kalimat itu sangat dalam artinya.
Akhirnya tak perlu lama menunggu, nomor antrian dan nama Grace dipanggil untuk memasuki sebuah ruangan. Tertulis nama di depan ruangan itu dr. Alicia Everton.
Langkah kaki Grace terpijak ke sana, di ruangan itu seseorang menyambut Grace dengan sumringah. Dari parasnya saja Grace bisa merasakan kehangatan. Maka Grace diminta untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dr. Alicia.
“Halo, Grace? Saya bisa bahasa Indonesia juga, jadi santai aja, ya?” senyuman ramah itu benar-benar menyentuh hati Grace. Keduanya berjabat tangan.
“I..iya,” balas Grace gugup.
“Saya nggak mau nanya aneh-aneh, saya cuma mau memastikan, Grace feel better saat pergi kesini?” pertanyaan pertama dari Alicia cukup membuat Grace merasa nyaman karena hanya pertanyaan biasa, tidak pertanyaan sensitif.
“Iya, sebenernya masih sama tapi yang ada dipikiran saya, pokoknya saya harus pergi jauh dari Indonesia tanpa Papa dan Mama saya tahu. Terlalu lama di Indonesia hanya bikin saya sakit hati.”
Alicia mencondongkan badannya sedikit maju, “okay, jadi menurut Grace sakit itu bisa hilang kalau jauh? Kalau ada jarak ya? The real distance. Padahal, enggak, sakit itu seperti bayangan, dia akan ikut kemanapun kita pergi. Grace mau ke Belanda sekalipun sakit itu akan tetap ada, karena sakit itu ada disini.” Alicia mengakhiri kalimatnya dan memegang bagian tengah dadanya dengan telapak tangannya.
Grace menelan ludah, tenggorokannya tercekat.
“Kamu udah punya bayangan, dan sakit yang kamu rasakan adalah bayangan kedua kamu, supaya bayangan kedua ini pergi, kamu sendiri yang bisa menghilangkan. Coba kamu tanya diri kamu sendiri, sudah di Singapore dan sampai di tempat ini, rasa sakitnya masih? Masih berasa nggak? Udah hilang? Really?” tanya Alicia yang membuat Grace berusaha menggigit bibirnya dan mencengkram ujung kemejanya.
Sepanjang usia, belum pernah ada yang menanyai Grace hal semacam ini.
“Belum, mau Papa saya atau Brandon berlutut di depan saya pun saya belum bisa maafin dan sakitnya belum hilang, dokter.” Grace menjawab dengan suara yang mulai parau. Kalian tahu apa yang lebih menyedihkan? Pergi sejauh mungkin menghindari sakit padahal sakit itu bermukim di dalam hati kita dan mengikuti kita di setiap langkah dan hela napas, dan kita tidak menyadarinya.
“Itu, yang harus kita selesaikan disini, itu, Grace.”
Sesuatu yang tidak pernah diharapkan kadang memang membuat kita berakhir pada kata sesal. Pada saat ini Grace sadar, bayangan sakit dan trauma itu ada di dalam dirinya, sejauh apapun Grace pergi kemanapun ia berkelana yang harus diselesaikan adalah masalah batinnya dan jiwanya.