MAAFIN JEVIN, PA

Kecanggungan antara Jeremy dan Jevin masih terasa sampai hari ke tujuh Jevin di skors. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Jeremy sedang berkutat dengan laptopnya suasana rumah tampak lengang karena Lauren yang sedang membantu Mevin mengerjakan tugas dan Lea yang tengah membereskan kamar. Jevin berjalan mengendap lalu duduk di sofa kosong sebelah Jeremy.

Jantung Jevin berdegup kencang saat duduk bersebelahan dengan ayahnya itu. Tidak ada kata yang keluar dari mulut Jeremy. Akhirnya Jevin berinisiatf untuk membuka percakapan. Diantara Jevin dan Jeremy bagaikan ada pembatas yang diiringi rintik sedu yang mengundang gemuruh dalam hati dan kepala Jevin, akankah Papanya memberi maaf untuknya?

“Pa..” Jevin menatap ayahnya yang masih fokus ke layar laptop. Jeremy hanya berdeham saja menanggapi kalimat yang dilontarkan Jevin.

“Pa, maafin Jevin ya. Jevin mau dihukum apa aja asal Papa maafin Jevin. Tapi yang bikin Jevin paling sedih didiemin papa kaya gini. Jevin bener-bener nyesel.” Mendengar perkataan anaknya itu, Jeremy menghentikan kegiatannya dan menoleh menatap Jevin, anak lelaki itu tertunduk takut.

“Alkohol iya, ngerokok iya, having sex iya. Apa yang kamu kejar dari hal-hal itu?” Jeremy menatap tajam Jevin.

“Lihat Mevin, dia nggak pernah sentuh hal-hal itu. Ngerti?” lanjut Jeremy.

Mendengar hal itu, Jevin mendongak dan menatap mata Papanya tajam.

“Yang anak kandung papa itu Jevin, kenapa yang selalu dilihat Mevin?” Ucapan Jevin membuat Jeremy terbelalak.

“Ulangi sekali lagi!” suara Jeremy meninggi.

“Mevin terus yang dibanggain, Jevin nggak pernah! Jevin anak kandung papa!” saat itu juga satu tamparan hendak melayang ke pipi Jevin namun tangan Jeremy yang sudah terangkat di udara terhenti sejenak lalu mengepal dan ia mengatur napasnya. Ia sudah tidak sanggup berkata-kata sepertinya.

“Kalian bertiga itu sama, stop bahas anak kandung dan bukan! Gimana kalau kamu di posisi Mevin? Papa Cuma mau kamu sadar dan lihat contoh nyata dari cici dan Mevin!”

Jevin terkekeh diatas tangisnya, “Karena Mevin pinter dan nggak brengsek kaya Jevin?” kalimat itu terdengar sangat nelangsa. Udara malam itu terasa berbeda karena seakan ada lara yang menyapa mereka berdua.

“Kalau Jevin ada di posisi papa gimana rasanya? Kamu ngerti kamu itu udah kelewat batas?” kata Jeremy datar lalu bangkit berdiri.

“Tapi Mevin terus yang dibanggain!” Suara Jevin gemetar.

“Papa nggak bangga-banggain Mevin. Cuma setidaknya kamu lihat dia, lihat! Bukan untuk menjadi seperti Mevin karena nggak akan bisa, Mevin dengan keadaan batin yang beda dari kamu. Dia nggak pernah tahu sosok mamanya siapa. Papa dan Mama cuma jembatan untuk Mevin bertahan hidup. Papa sama Mama sebisa mungkin ingin anak-anak ada di jalan yang seharusnya, lihat dari sisi lain jangan dari sisi ego kamu!”

“Tapi memang Mevin yang diutamakan kan?”

“Ada nggak hal yang Mevin dapet tapi kamu nggak dapet selama ini? Papa always try to treat all of you fair, not equal..”

Jevin terdiam, lambat laun ia terisak. Ia mulai menyadari bahkan kadang ia merasa mendapatkan lebih dari apa yang Mevin dapatkan karena Mevin tidak pernah protes dan meminta lebih dari apa yang kedua orang tuanya berikan. Seketika kenangan dan segala pemberian untuknya dari kedua orang tuanya lewat di pikirannya.

Jevin tertunduk, Jeremy merapalkan kalimatnya lagi, “Dimana letak nggak adilnya Papa dan Mama, nak? Papa sama Mama nggak minta balas apa-apa, tapi jangan hancurin hati Papa dan Mama dengan hal kaya gini.” Jeremy mengerjapkan mata beberapa kali menahan air matanya.

Hening melanda dan berkuasa untuk sesaat. Pikiran Jevin berkelana jauh.

“Jevin nyesel Jevin udah hancurin perasaan Mama sama Papa, nggak ada satu orang yang mau anaknya lakuin hal-hal yang enggak-enggak. Dan ini murni salah Jevin, Papa sama Mama udah didik Jevin dengan baik selama ini memang Jevin yang brengsek.” Ketika mendengar Jevin berbicara dengan suara yang parau, pikiran Jeremy menerawang jauh sampai ia tidak bisa lagi berkata-kata. Ia sangat menyayangi anaknya itu tapi hatinya dibuat hancur oleh Jevin. Jeremy pun melepas kacamatanya lalu memijit keningnya dengan ibu jari dan telunjuknya sambil menunduk lalu menghela napas.

“Papa nggak ngerti harus gimana lagi, Vin.” Suara Jeremy memelan. Jevin langsung mengubah posisinya bersimpuh di depan Jeremy dan membenamkan wajahnya di salah satu lutut ayahnya itu. Jeremy sontak kaget,

“Maafin Jevin, nggak ada kalimat selain Jevin minta maaf sama papa. Please forgive me, Pa,” lanjut Jevin dengan nada penuh penyesalan. Napas Jevin memburu, tubuhnya bergetar dan tangisnya tiba-tiba pecah.

Jeremy merasakan matanya panas, ia memegang kedua bahu Jevin agar tegak namun anaknya itu menolak. Jevin masih kekeuh dengan posisinya agar Papanya itu memaafkannya.

“Mama yang notabenenya dengan latar belakang yang kalian tahu sendiri pun bisa menjaga dirinya sampai menikah dengan Papa, apa yang bikin Jevin seberani itu? Pernah Papa suruh kamu jadi berandalan aja? Pernah?! Jevin, papa malu dan kecewa. Bukan malu karena kamu, tapi diri papa sendiri yang masih kurang mumpuni sebagai seorang ayah dan suami, nak.”

“Jadi laki-laki harus angkat kepala jangan lemah. Nggak boleh nangis!” kata Jeremy sedikit membentak. Perlahan Jevin mengangkat wajahnya dan membawa pandangannya kepada ayahnya. Sesekali Jevin menyeka air matanya. Jevin mengumpulkan keberanian menatap ayahnya, masih teringat jelas bagaimana satu tamparan mendarat di pipinya untuk pertama kali.

“Maafin Jevin, Pa..”

“Nyesel?”

“Jevin nyesel banget. Kalau sekali lagi Jevin lakuin kesalahan yang sama Papa boleh usir Jevin dari rumah ini,” bisa diartikan kalimat Jevin disampaikan dengan kesungguhan hatinya. Jeremy menempelkan tangannya di pundak anaknya itu memajukan dan mencondongkan badannya sedikit mendekat kepada Jevin.

“Usir? Bisa papa usir kamu sekarang kok nggak usah nunggu kamu ulang kesalahan kamu.” Tangan Jevin tergenggam erat-erat dan menahan diri agar tidak meledak dalam tangis. Ia sangat takut dengan perkataan Papanya itu.

“Papa memang bisa usir kamu, tapi papa nggak mau. Kenapa harus ngusir anak sendiri?” perlahan sembirat senyum terbentuk di wajah Jeremy. Senyum yang teduh saat iris cokelatnya memandang anaknya. Jeremy menyadari anak lelakinya itu sudah menyesali perbuatannya, bahkan sangat menyesalinya. Salah satu hal besar menyakitkan dalam hidup Jeremy―melihat Jevin memilih jalan yang seharusnya tidak anak lelaki itu pilih. Tangan Jeremy menyentuh puncak kepala Jevin dan membelainya beberapa kali. Jeremy tersenyum. Ia berkata,

“Maafin Papa juga ya?” Jevin tersenyum dan menghela napas sebelum ia benar benar meledak dalam tangisnya dan langsung memeluk erat Papanya itu.

“Pa, terima kasih ya. Terima kasih udah mau maafin Jevin. Pa.. pa..”

“Hancur nak hati papa saat itu. Hancur sekali melihat Jevin hancur, lihat mama juga hancur, Papa yang paling hancur lihat orang yang papa sayang terluka.” Jeremy mengeratkan pelukannya.

“Papa tetap papanya Jevin dan Jevin anaknya papa apapun yang terjadi, seburuk apapun yang terjadi. Buat ke depannya jangan lagi ya, Nak. Papa mohon, ya?” Jeremy bisa merasakan Jevin mengangguk di pelukannya. Tanpa disadari Lauren dan Mevin sedikit mengintip dari balik pintu kamar.

“Akhirnya Papa sama Jevin akur ya, Ci?” kata Mevin lirih sambil menoleh ke kakaknya yang berada di sebelahnya. Lauren mengangguk, “seneng ya lihat pemandangan kaya gini?” tanya Lauren, Mevin mengangguk sambil masih memandangi Jevin dan Papanya yang masih ada di ruang tamu.

“Makanya jangan pernah tinggalin kita ya? Disini aja ya, dirumah ini aja, please..” gumam Lauren lirih. Mevin refleks menoleh ke arah kakak perempuannya itu dengan wajah sendu. Sejatinya keluarga adalah tempat kita pulang dan mengadu sejauh apapun kita pergi. Tidak akan pernah ada istilah “Mantan orang tua” ataupun “Mantan Anak”.

Tuhan memberikan kita kehendak bebas untuk hidup di dunia, memilih diantara banyak persimpangan jalan yang kita temui, namun setidaknya kita juga diberi akal budi untuk melakukan dan memilih hal apa yang harus dan tidak harus kita lakukan. Berbagai hal yang kita pilih untuk mengukir peristiwa kehidupan sejatinya adalah buah dari apa yang kita lakukan. Sekiranya itu menghancurkan bukankah lebih baik ditinggalkan?