MEMELUK DURI TAJAM

Usai Petra menangani Lea yang dibawa Jovian ke klinik miliknya, Petra melangkah keluar setelah membiarkan Lea disana dengan keadaan yang belum sadar dan dengan selang infus yang menancap di tangannya. Untung saja keadaannya tidak terlalu parah, Petra menangani Lea secara professional bukan sebagai masa lalu dari pria yang akan menikahinya namun sebagai dokter dan pasien pada umumnya.

Petra melihat Jovian yang terlihat membalas sebuah pesan di ponselnya namun sedetik kemudian pria itu tertunduk sambil mengacak rambutnya sendiri, Jovian terlihat sangat kacau dan terisak. Hal itu mendorong Petra berjalan melangkah mendekati Jovian.

“Jov,” gumam Petra lirih. Jovian mendongak mengangkat wajahnya hingga Petra bisa melihat dengan jelas mata dan pipi yang sudah basah dengan air mata itu. Jovian buru-buru menyeka air matanya dan mengedalikan emosinya, ia mencoba tersenyum di depan Petra.

“Aku boleh duduk disini?” tanya Petra, pertanyaan itu dibalas anggukan oleh Jovian dan Petra pun mengambil posisi duduk tepat di sebelah Jovian.

“Terima kasih udah buat keputusan.” Jovian tersenyum walaupun ia paksakan dan mengangguk,

“Setelah ini aku nggak akan ketemu Lea lagi.” Pernyataan Jovian itu mengundang tanya di kepala Petra.

“Aku nggak ngelarang kamu ketemu dia.”

“Tetap aja, kita menikah nantinya.”

“Semoga aku konsisten dengan keputusanku, aku nggak mau nyakitin Lea lebih dalam lagi.” Jovian berkata dengan nada yang semakin memelan. Jika mempertanyakan perihal bosan pasti jawabannya tidak. Bahkan jika sampai saat ini juga tidak pernah ada kata bosan di kamus Jovian tentang Lea. Malam itu, Petra pikir ia akan merutuki nasibnya karena Jovian yang ia pikir tidak akan mengakhiri hubungan dengan Lea, namun ternyata Jovian mengakhirinya.

“Ya udah, semua tergantung kamu.” Petra menghela napas lalu bangkit berdiri.

“Aku mau bikinin resep obat buat Lea dulu, ya? Kamu mau disini? Apa mau nungguin Lea di dalam?” tanya Petra lembut.

“Disini aja,” balas Jovian singkat. Petra mengangguk lalu berjalan meninggalkan Jovian. Larut malam ini Jovian berjanji pada dirinya sendiri akan berada disana hingga pagi menjelang karena ia sudah menghubungi Timothy, kakak Lea yang akan menjemput Lea esok hari. Sebongkah nelangsa sebenarnya dirasakan ketiganya, Petra atau Jovian maupun Lea.

Namun, mereka kini sedang berada di posisi tidak bisa menyeka luka masing-masing. Usai membuatkan resep obat untuk Lea, Petra berniat ingin kembali menghampiri Jovian di ruang tunggu, namun yang ia lihat adalah keadaan Jovian yang sangat kalut.

BUG!

Jovian mengepalkan tangannya dan menghantam tembok lalu ia juga membenturkan kepalanya sendiri ke tembok setelahnya. Hal itu membuat Petra bergerak cepat menghalangi Jovian melakukan hal lain. Ia menarik tubuh Jovian dan mencoba menenangkan Jovian.

“Jovian!” Petra memekik dan menarik tubuh Jovian menjauh dari tembok dan membuat Jovian menghadapkan wajahnya kepada Petra. Jovian menangis disana, keadaanya kacau. Petra dan Jovian saling mengenal sejak SMA bukan hal yang sebentar. Petra paham betul bagaimana kacaunya perasaan Jovian.

“Jangan putus kalau emang belum mampu, jangan maksain diri!” kata Petra dengan memegangi kedua bahu Jovian, mata keduanya beradu.

“Kamu nggak paham keadaannya.” Suara Parau Jovian menelusup telinga Petra dan membuat hatinya berdesir nyeri.

“Tapi jangan nyakitin diri kamu juga, Jov,” jawab Petra sambil membelai pipi Jovian. Jovian bergeming―hening. Bagaimana mungkin Lea dan Jovian tidak berada pada satu titik sakit yang sama? Bahwasanya dua sejoli yang pernah bersama, melewati masa indah dan berbagi rengkuh harus usai ditengah perjalanan yang tidak mereka kehendaki. Dalam hati Jovian pasti tidak berniat menyerah dan tak ingin melepas namun tak ada lagi ruang yang bisa dipertahankan.

Malam itu hujan turun lagi bersamaan dengan hujan di pipi Jovian, Petra mengajaknya duduk di bangku panjang, tubuh Jovian melemah, perlahan kepalanya menunduk dan kini ia sudah mendaratkan kepalanya di ceruk leher Petra.

Tubuh Petra bak mendapat sengatan, ini pelukan pertama Jovian untuknya. Pelukan dimana Jovian menangisi wanita yang ia cintai dan itu bukan Petra. Jovian mungkin tidak tahu bahwa wanita dengan segala peluk yang ia sediakan sekarang adalah sebenar-benarnya perasaan yang tidak pernah beranjak pergi sejak ada di bangku sekolah. Wajah Jovian bak langit mendung yang sulit untuk diselami, hingga akhirnya sang tuan membuka suaranya,

“Lea baru aja kehilangan Mama Papanya karena kecelakaan beberapa minggu lalu, sekarang aku tinggalin dia tanpa alasan jelas. Aku nggak bisa tahan dia di hubungan ini, Ayah terlalu kejam sama Lea,” suara berat Jovian beradu dengan tangisnya sekarang.

Hati Petra remuk, sungguh. Ia termangu mendengarkan Jovian dengan segala penuturannya namun tangannya meraih tubuh Jovian dan merengkuhnya dalam hangat dekapannya. Di penghujung pekatnya malam kala itu, Petra menyadari bahwa ada dua hati yang masih saling bertaut. Tangisan Jovian menggema, kini Petra mempererat pelukannya dan menempelkan pipinya di kepala Jovian.

“Nangis, nangis aja, Jov,” kata Petra pelan, hal itu membuat Jovian memeluk Petra erat, namun pelukan menyakitkan ini membuat Petra bak memeluk duri tajam. Selama ini Petra yang diacuhkan hingga rengkuh itu datang perlahan melahap harap di hati Petra, Jovian memeluk Petra tanpa paksaan.

Ada rasa yang terpatri disana, di hati Petra sudah dipatri nama Jovian namun di hati Jovian―entah. Ia masih bermukim pada ketidaktahuan, berdiam diri didalam penyesalan tiada henti, dinginnya malam itu mengikis dinding sanubari yang awalnya kokoh―Petra akui sekarang ia runtuh dalam tembok pertahanannya. Rasa mengiba menolak untuk ditiadakan, bohong jika Petra tidak merasakan sakit, apa daya sang tuan harus memutuskan satu hati untuk tinggal sebagai pemilik.