MENCUMBU SUNYI

Jovian memarkirkan mobilnya di sudut parkiran rumah sakit yang lenggang itu. Sudut gelap yang hampir tidak terlihat siapapun. Ia sudah menunggu di mobil ia menyalakan puntung rokoknya sembari menunggu Petra datang. Asap ia biarkan mengepul di udara, ia marah saat mendengar Petra akan pulang bersama Vedrick rekan sesama dokter di Rumah Sakit tempat Petra bekerja.

Tak lama Jovian melihat Petra keluar bersama Vedrick, nampak akrab saling bercengkrama. Jovian merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia keluar dari mobil, menggilas puntung rokok yang ia jatuhkan dengan sepatunya lalu ia berjalan cepat menghampiri mereka sebelum Petra dan Vedrick masuk ke dalam mobil. Sepanjang langkah yang ia tapaki Jovian menggiring delusi tentang dirinya dan Lea serta Petra. Perasaan apa yang tengah berkecamuk dalam hatinya. Hatinya masih berusaha beranjak dari masa lalu Bersama Lea namun melihat Petra bersama pria lain pun ia tidak menghendaki.

Sreekk

Kerah baju Vedrick ditarik Jovian dan tangannya langsung berpindah menggenggam kerah baju bagian depan milik Vedrick.

“Jo!” Petra memekik dan langsung menghampiri Jovian serta memaksa tangan Jovian lepas dari tubuh Vedrick namun Jovian menepisnya.

“Lo ngerti kan kalau wanita yang jalan sama lo udah punya suami?” kata Jovian mendelik.

“Dan lo harusnya ngerti kan, kalau istri lo punya perasaan? Oh, iya sebagai istri juga harus mendapat hak dari suami dalam hal apapun itu, right?” Vedrick mengangkat alisnya.

BUG! satu pukulan mendarat di pipi Vedrick, Petra panik, berulang kali ia hendak memisahkan Jovian dan Vedrick namun hasilnya nihil.

“Jov, jangan gila ya!” bentak Petra, namun Jovian dan Vedrick tengah terjebak saling hantam sekarang.

“Can both of you just stop?!” Petra menengahi dan sedikit lebih berteriak, hingga akhirnya Jovian melepaskan tubuh Vedrick dari kuasanya. Ia mendorong dan menghempaskan tubuh Vedrick ke tanah,

“Nggak usah sok peduli sama istri orang!” kata Jovian lalu menendang sekali lagi kaki Vedrick, Petra menarik dan menahan tubuh kekar Jovian. Ia sudah menangis disana.

“Jov, udah!”

Vedrick terkekeh, “Sorry, kalau kesannya gue sok peduli tapi gue memang tulus peduli. Perempuan tulus kaya Petra berhak bahagia!” ucapan itu sebenarnya menyulut emosi Jovian lagi namun Petra menarik Jovian dan keduanya masuk ke dalam mobil Jovian.


Selama di perjalanan keduanya saling diam, tenggelam dalam sunyi perasaan. Petra masih teringat saat ia melakukan hubungan suami istri dengan Jovian malah nama Lea yang terucap. Sekarang saat Petra ingin sendiri, Jovian malah mengusik dan membuat keributan. Sesak sebenarnya sudah berkoar di dalam dada Petra saat ini. Jiwanya terhanyut dalam perasaan yang berkecamuk hingga membuatnya menangis tanpa bersuara.

Jovian tetap cuek ia melajukan mobilnya seakan kehadiran Petra dan isak tangis Petra tak ia dengarkan. Jovian masih abai, selalu seperti itu. Hingga akhirnya Jovian tergerak untuk mengambil tissue dan menyerahkannya kepada Petra. Wanita di sebelah Jovian itu menerimanya. Jiwanya sempat terhanyut tatkala Jovian meraih jemarinya dan menatapnya lekat sesaat.

“Jangan nangis, aku ngerasa bajingan banget. Harusnya kamu nggak dianter laki-laki lain.”

Detik selanjutnya hanya hening dan sunyi yang menyeruak.

Sesampainya di rumah, Jovian memarkirkan mobilnya di garasi. Keduanya tidak langsung turun, Petra masih terisak disana.

“Udah nangisnya?” tanya Jovian.

Petra menggeleng, sebenar-benarnya rasa adalah sesuatu yang bisa berubah sewaktu-waktu begitu juga dengan Jovian yang merasa iba dan terenyuh melihat Petra menangis kala itu. Keduanya terdiam, hanya melepas seat belt namun tak kunjung keluar dari mobil.

“Maafin aku, Petra.” Jovian bergumam lirih.

“Jangan berantem, nggak semua hal harus diselesaikan dengan berantem, jangan selalu ngedrunk kalau lagi stres. Aku ini istri kamu, kalau kamu menganggap. Setidaknya bagiin ke aku setiap lara atau duka yang kamu rasain, setidaknya aku berguna walaupun sedikit.” Hingga akhirnya Petra meledak dalam tangis selesai mengucapkan kalimatnya. Jovian meraih tangan Petra lalu mengecup punggung tangannya berkali-kali.

“Aku nggak pantes nerima cinta kamu, Petra. I don’t deserve it at all,” bisik Jovian lirih, Petra menangis tersedu sambil menggeleng.

“Aku nggak bisa maksain kamu punya perasaan sama aku juga, Jov.” Petra mencoba mengatur napasnya, namun dadanya semakin sesak saat Jovian menyediakan sebuah rengkuh dan pelukan hangat disana, saat itu juga. Genggaman tangan Petra di bagian belakang jaket yang Jovian kenakan mengencang semakin erat.

“Nangis aja, nangis sepuas kamu.” Jovian berbisik di telinga Petra.

“Lea udah bahagia dengan hidupnya, Lea udah bahagia sama Jeremy, can you just move on from her? jangan stuck disana terus. Aku bantu sampai kamu bangkit, walaupun bukan sama aku, tapi aku mau bantu kamu berproses, Jov. Jangan bermukim dalam rasa sakit terus, aku lebih sakit.” Seketika mendengar ucapan Petra itu, Jovian merenggangkan pelukan. Menatap Petra tajam, sedari awal memang perilaku bejatnya dan jahatnya Jovian membuat semua yang Petra lakukan sia-sia, bahkan Petra sudah merasa pupus sebelum memulai. Serabut lara merampas keheningan mulai berirama dengan derai air mata Petra. Hingga sepersekian detik kemudian Jovian menangkup kedua pipi Petra, memegangi bagian rahang Petra dan mendekatkan wajahnya, Jovian memberanikan diri mengecup pipi dan bibir Petra. Lumatan lembut berangsur menjadi sesuatu yang berkuasa diantara mereka, lidah saling beradu untuk bertukar saliva, tangan Petra juga menjalar diantara surai hitam Jovian bermain disana sesuai dengan tempo yang Jovian berikan.

Kali ini Petra benar-benar mencumbu Jovian dalam sadarnya, bukan dalam pejamnya. Mencumbu dengan gelora dan kesadaran bukan mencumbu kesunyian dalam sepi yang bermukim dalam relung jiwanya. Jovian dan Petra memang baru saja kehilangan akal mereka. Petra masih berharap suatu saat nanti bayang akan Lea memudar tersibak perasaan yang mulai tumbuh diantaranya dan Jovian. Bising isi kepala Petra tentang bayang Lea untuk Jovian ia tepis karena memang ia yang menjadi istri sah Jovian sekarang. Teganya jarak membentang diantara dua insan yang selalu bersama untuk beberapa bulan ini, menciptakan sekat perantara yang menggiring perselisihan yang sering terjadi hanya karena keping kenangan “Malem ini tidur sama kamu, boleh?” tanya Jovian yang dibalas belaian lembut di pipi Jovian dan anggukan dengan mata yang sudah berkaca-kaca.