Mevin and His Love
Mevin yang baru saja usai menjalani kontrol karena tangannya yang saat itu patah karena suatu insiden diantar pulang oleh Jevin, saudara kembarnya. Mevin meninggalkan Grace di rumah bersama anak pertamanya dan ini masih dalam minggu pertama pasca Grace melahirkan. Mevin paham betul kondisi yang dialami Grace. Terlebih keadaan Mevin sendiri yang masih terbatas dalam menggerakkan sebelah tangannya karena belum benar-benar pulih. Hari ini, Jevin hanya mengantarkan Mevin pulang lalu langsung berpamitan karena masih ada banyak pekerjaan yang menantinya.
Saat memasuki rumah, Mevin melihat Grace yang duduk di sofa ruang tamu dengan memijit keningnya sendiri. Mevin pun menutup pintu perlahan, tapi hal itu tetap didengar Grace, membuat Grace mendongak, melihat suaminya datang, Grace langsung menyambutnya dengan senyum yang sebenarnya ia paksakan. Mevin masih memakai arm sling untuk tangannya dalam proses pemulihan, maka tangan kanannya bergerak membelai rambut panjang Grace.
“Gimana? Kapan bisa lepas gipsnya?” tanya Grace, keduanya sembari berjalan beriringan menuju sofa ruang tamu.
“Minggu depan, sayang.” Mevin tersenyum.
“Vin,” kata Grace sambil meraih jemari Mevin dan tertunduk.
“Kenapa? Tadi kepikiran apa? Kok sedih gitu?” tanya Mevin lembut.
“Aku beneran bisa jadi Mama yang baik buat Miracle nggak ya? Beberapa hal aku takutin, kalau nanti suatu saat Miracle tahu masa lalu Mamanya, atau dia nggak bisa nerima semua itu,” ucap Grace. Hal itu membuat Mevin meraih dagu Grace dan menariknya sehingga wajah Grace sedikit terangkat. Melihat paras Mevin seakan membelah gelap yang sedari tadi menyelubungi diri Grace. Gelap karena pikiran-pikiran yang riuh dan sebenarnya bisa ditiadakan dan belum tentu terjadi. Tapi hal itu wajar, baby blues wajar terjadi bahkan hingg minggu kedua atau ketiga pasca melahirkan.
“Yang ada Miracle akan bangga sama Mamanya, aku aja bangga, kenapa harus nggak bisa terima? Udah kejadian dan udah mendewasakan, apanya yang nggak diterima? Jauh melebihi semua itu, perjalanan itu berharga, suatu saat Miracle harus tahu gimana mamanya dan papanya saling berjuang buat sembuh dari kejauhan. Suatu saat miracle harus tahu kalau Mamanya bisa sembuh dari trauma besar itu dan survive sampai sekarang,” kata Mevin sambil mengusap pelan pipi Grace dengan ibu jarinya yang masih menempel di pipi Grace dan bergerak pelan seakan membelai pipi sang puan.
“Hal itu bukan sesuatu yang memalukan, tapi sesuatu yang patut dibanggakan. Sesuatu yang berharga, bukan tolak ukur untuk menjatuhkan atau mempermalukan kamu, bukan, sayang. Remember that I love you so much, makasih udah berjuang buat Miracle, justru aku yang agak takut, karena aku nggak ada di samping kamu waktu kamu melahirkan. Harusnya aku yang jagain kamu, kan?”
“Tapi kamu juga lagi ada insiden yang bikin tangan kamu patah, kecelakaan seperti itu bukan kemauan kita,” kata Grace sambil mengelus lengan tangan Mevin dan menatapnya.
“Nah, begitu juga dengan hal yang terjadi sama kamu, semua hal yang terjadi sama kamu di masa lalu itu bukan kemauan kamu, kan?” tanya Mevin lagi.
Grace jadi ingat, pada suatu malam, ia mencoba berbincang dengan Mevin perihal perjalanan bangkit dari keterpurukan, keduanya mengatakan bahwa saat mereka bersama memang sakit, tapi berpisah dan berjalan masing-masing malah membuat keduanya semakin merasakan sakit bukan main. Mereka sadar, biarlah sakit asal dijalani dan dilalui berdua. Nyatanya, luka yang ada jika dilewati berdua, mereka bisa saling menyembuhkan. Jemari Mevin perlahan menggenggam jemari Grace, ia bawa punggung tangan Grace untuk merasakan hangat kecup bibir Mevin sejenak.
“Mevin, aku tuh beruntung banget punya kamu. Maaf kalau aku suka bikin repot atau susah, suka overthinking gini. Keadaan memang nggak selalu baik tapi kita bisa kontrol diri kita untuk tetap merasa baik, tetep disini sama aku ya, sayang.” Kalimat itu dilafalkan Grace dengan kesungguhan namun dengan tatapan mata yang tak lepas dari suaminya itu. Mevin tersenyum, menarik lengan Grace dan menarik tubuh wanitanya ke dalam hangat pelukannya. Mevin berikan usapan-usapan lembut di punggung Grace juga.
Saat pelukan direnggangkan, Mevin tatap sang puan dalam. Mevin adalah pria yang begitu mencintai dan kalau diibaratkan menggilai Grace saja pun tak akan cukup. Bagi Mevin, Grace sudah menjadi bagian hidupnya, segalanya. Mevin selami lautan dalam tatap mata dari bola mata cokelat milik Grace.
“Makasih udah selalu calm me down, and you always be there for me no matter what happened, sejak bertahun-tahun lalu. Aku sayang kamu.” Grace menangkup kedua pipi Mevin, kini Grace yang mengikis jarak diantara mereka. Hati yang lapang dari Grace serta ketulusan yang diberikan setiap saat dari Mevin kini bersatu dalam sebuah lumatan yang diawali oleh Grace yang memagut bibir Mevin. Pada sebuah pengutaraan perasaan cinta lewat pagutan itu, satu tangan Mevin ia gunakan untuk memeluk pinggang Grace dan kedua tangan Grace memegangi kedua sisi wajah Mevin. Bergantian memiringkan kepala untuk memagut lebih dalam lagi, itulah yang mereka lakukan. Bertukar saliva juga seluruh cinta. Mevin yakinkan hari depan penuh harapan, Grace sandarkan segala kekhawatirannya. Gundah dalam hati Grace disapu perlahan digantikan keyakinan. Maka saling melumatlah mereka saat itu. Lalu saat ciuman direnggangkan, Mevin masih melingkarkan tangan kanannya di pinggang Grace lalu ia berkata, “I love you, jangan takut lagi, ya?” hal itu disambut Grace dengan senyuman yang hangat dan anggukan kepala. Maka setelah itu memeluklah lagi keduanya menyelaraskan rasa sayang dan cinta tulus yang dibagi berdua.