MY UNBIOLOGICAL BROTHER
Sebagai seorang anak, kita tidak pernah bisa memilih orang tua seperti apa yang akan kita miliki saat lahir ke dunia, sebagai seorang anak yang semakin hari semakin tumbuh dewasa, yang bisa kita lakukan adalah memilih akan menjadi orang tua seperti apa nantinya.
Setiap perjalanan yang kita lewati, di masa remaja beranjak dewasa pasti mengajarkan banyak hal. Seperti layaknya Jevin dan Mevin, dua saudara kembar yang sebenarnya tidak kembar. Lahir dari rahim berbeda, tapi diizinkan untuk dibesarkan di keluarga yang sama.
Mevin dan Jevin memang memiliki kisah panjang di balik kelahiran mereka. Tapi, mereka tumbuh dengan baik, meski Jevin sempat salah jalan, berbeda dengan Mevin. Di keluarga Adrian yang bukanlah anak kandung adalah Mevin, tapi hal itu tidak membuat perbedaan kasih sayang yang diberikan. Ketiga anak di keluarga Adrian dibesarkan dengan didikan dan kasih sayang yang sama.
Saat ini, Jevin masih berada di dalam kelasnya, belum berani keluar ruangannya untuk menuju ke parkiran. Beberapa waktu lalu Jevin baru saja di skors karena beberapa tingkah yang ia buat. Ketahuan merokok, mabuk-mabukan dan melakukan hal yang tidak sepantasnya ia lakukan sebagai anak di bawah umur.
Hal itu sudah membuat Jevin depresi karena di rumah pun Papanya mendiamkannya, di sekolah pun teman-temannya menjauhinya juga. Saudara kembarnya, Mevin, berada di kelas yang berbeda karena jurusan mereka yang berbeda. Jevin yang terkenal jagoan dan langganan berkelahi kini menjadi Jevin yang pendiam dan tertutup.
Beberapa cibiran mulai menusuk telinga Jevin, ia pun memakai hoodienya dan memasang headset sembari menunggu pesan dari Mevin. “Si paling jagoan ternyata blangsak banget kelakuannya, saking jagoannya, saking beraninya sampai di skors, haha ...”
“Tonjokin lagi temennya yang rese, preman sekolah pensiun sekarang, haha...”
Jevin tidak mau membalas, Jevin tidak mau mendengarnya meskipun tangannya sudah gatal untuk menghantam setiap mulut itu.
Tapi Jevin setel lagu dari ponselnya sehingga menghalau kalimat-kalimat yang tidak ingin ia dengar. Tiba-tiba Jevin merasakan pundaknya ditepuk oleh sesseorang, Jevin mendongak, ia melihat Mevin di sana, Mevin langsung menarik tangan Jevin untuk keluar dari kelas itu.
Akhirnya, kini Jevin dan Mevin sudah ada di parkiran motor, Jevin melepas headsetnya, Mevin memberikan helm dan langsung menancap gas berboncengan untuk pulang, kali ini Jevin kehilangan fasilitas motornya karena Papanya menyitanya, alhasil, Jevin harus berangkat dan pulang bersama Mevin. Dengan ketentuan Mevin yang mengendarai, Jevin hanya boleh jadi penumpang saja.
Memang, semua hal yang biasa Jevin lakukan jadi terbatas, hal ini merupakan teguran keras untuknya. Sepanjang di perjalanan, Mevin dan Jevin tidak bicara sepatah kata pun, jarak sekolah dan rumah yang bisa ditempuh sekitar lima belas menit dengan motor itu membuat keduanya tiba di rumah dengan cepat.
Keadaan di rumah masih sepi, kedua orang tua Jevin dan Mevin masih bekerja, Lauren, kakak pertama mereka juga masih di kampus. Jevin dan Mevin hanya ada di rumah bersama Mbak Ana, yang membantu di rumah mereka. Keduanya langsung masuk ke kamar saat itu, Jevin menghempaskan tubuhnya di ranjang, sedangkan Mevin melempar tasnya ke atas tempat tidurnya lalu berdiri berkacak pinggang memandang Jevin yang tidak berkutik.
“Jev,” kata Mevin.
“Hmmm...” jawab Jevin malas.
“Jevin!” nada Mevin meninggi seketika membuat Jevin menegakkan posisinya menjadi duduk menatap Jevin.
“Tadi kenapa diem aja?”
“Apaan?”
“Di kelas, waktu Leo sama temen-temennya ngatain lo.”
“Gue nggak denger, headsetan,” kata Jevin sambil nyengir.
“Gue hampir hajar si Leo, tapi gue tahan, lain kali kalau ada yang ngata-ngatain tapi lo nggak mau ribut ya lo cabut dari sana, jangan disana terus, mereka kesenengan ngehina-hina lo didenger yang lain juga, keluar dari kelas, keluar, jangan diem doang di tempat duduk lo!” Entah mengapa Mevin sangat berbeda kali ini, sedikit percikan amarah melingkupi dirinya sepertinya.
“Mev...”
“Lo dikatain nggak punya masa depan, lo jadi bahan ketawaan semua anak-anak di depan kelas, gue mau lawan tapi gue nggak mau ribut, nggak mau nambah ribet masalah, lagian nanti kalau gue hajar mereka yang ada nambah dikatain, anak angkat kok ikut-ikutan, kayak waktu itu.” Ucapan Mevin membuat Jevin tertegun.
Jevin menunduk, menghela napas panjang, “gue udah nggak punya temen, semua jauhin gue, semua orang bilang gue Cuma bawa dampak buruk, lo beda kelas, gue harus gimana, sih?” tanya Jevin pasrah. “Gue lagi bahan judge orang-orang, gue tuh sebangsat itu, Mev. Kesalahan gue udah banyak banget,” ujar Jevin lagi.
“Kalau kita kasih satu-satu anak di kelas lo batu, dan kita suruh mereka yang nggak pernah bikin kesalahan lempar batu ke lo, kira-kira ada nggak yang bakalan lempar batu ke lo?” tanya Mevin sambil mengambil posisi duduk di sebelah Jevin.
Jevin terdiam, “temen-temen yang ninggalin saat kita terpuruk tuh perlu dipertanyakan, bahkan mereka yang ngajarin lo ngerokok sama mabuk! Harusnya mereka juga dapet hukuman yang sama kayak lo!” ucapan Mevin itu membuat Jevin memejamkan mata sesaat.
“Mereka nggak ketahuan,” balas Jevin dengan mendengus pedih, “ternyata gini rasanya dijauhin orang-orang, kita lakuin satu hal yang jadi bahan bulan-bulanan, tapi mereka yang mungkin kesalahannya lebih banyak dari kita makin jatuhin kita, gue nggak masalah sih, mungkin emang Tuhan pengin tegur gue sekarang, Tuhan pengin semua kenakalan gue terbongkarnya sekarang, mereka belum biarin aja. Tapi kayak sedih aja gitu, waktu gue nakal bareng-bareng temennya banyak, terus giliran gue udah dapet hukuman, mereka ngejauh. Temen gue lo doang sekarang, tapi better sih daripada punya banyak temen tapi munafik,” Jevin berkata dengan diakhiri kalimat dengan nada lirih.
Mevin meraih pundak Jevin dan mengusapnya pelan. “Papa marah besar, diemin gue seminggu, Mama kecewa, nangis di depan gue,” kata Jevin.
“Cici juga nangis, waktu denger lo dimarahin dan dibentak Papa, gue sama Cici di kamar ini, kita nggak berani keluar, kita nggak bisa bantu lo, maaf, kita juga takut sama Papa. Tapi masalah lo dijauhin temen diemin aja, setiap hal ada masanya, begitu juga pertemanan, yang tulus bakalan ada di susah maupun senang. Bahkan, yang bener-bener tulus itu akan ada di titik terendah hidup kita, masih ada gue sama James, kan? Walaupun kelas kita beda semua tapi lo masih punya gue sama James, tenang aja, Jev. Dunia nggak berhenti saat temen-temen lo ninggalin lo, kok. Mereka yang dipengaruhi orang itu juga ada kan, pasti?”
“Iya, bahkan gue pernah denger waktu di toilet ada yang ngomongin gue, ada yang nanya kenapa kok ikut nggak suka sama Jevin. Katanya karena sirkel dia nggak suka sama gue jadi dia ikutan aja nggak suka, padahal mah sama gue ngobrol juga enggak, tapi ikut benci gue,” balas Jevin sambil mencoba tersenyum, “Jevin si musuh masyarakat kayaknya,” katanya sambil tertawa pedih.
“Nggak papa, kadang orang gitu, ikut benci sesuatu atau seseorang tanpa punya alasan, Cuma ikutan, padahal nggak ada masalah secara personal, bagus deh orang kayak gitu dijauhin dari hidup lo.” Mevin mencoba mencairkan suasana, tapi memang apa yang dikatakan oleh Mevin ada benarnya. Saat itu juga Jevin menoleh menatap saudara kembarnya itu.
“Bro, makasih ya. Buat semuanya, walaupun gue secara personal pun banyak salah sama lo tapi lo selalu jadi saudara gue yang bener-bener saudara.”
Mevin terkekeh pelan, “walaupun nggak kandung?”
“Bukan gitu, semprul!” Jevin meninju pelan lengan Mevin.
“Haha, iya.. iya ...” Mevin tertawa lalu merangkul Jevin.
“Jadi, lo masih mau pusingin orang-orang nggak jelas apa mau mabar sama gue sama James?” tanya Mevin lagi.
“Join sama lo sama James, lah!” ujar Jevin bersemangat.
“Inget ya, Jev... yang bener-bvener sahabat itu mereka yang menaruh kasih setiap waktu. Apalagi di titik terendah, gue sama James pun nggak menormalisasi kesalahan yang lo bikin, kan? Gue sama James marah juga sama lo, kan? Tapi kita nggak menghakimi, karena sadar kalau sama-sama makhluk ciptaan, yang nggak luput dari salah. Tuhan aja maafin anak-anakNya, masa kita yang anak nggak, sih?” ucapan Mevin membuat Jevin tanpa gengsi memeluk saudara kembarnya itu.
“Mev, I can see God’s love through your life and your good words, ingetin gue ya kalau gue salah,” kata Jevin terharu, Jevin bisa merasakan saudara laki-lakinya itu mengangguk.
Tanpa Jevin dan Mevin sadari, Lea yang baru saja pulang, melihat moment kedua anaknya itu. Lea tersenyum haru bahkan hampir menitikan air mata karena mendengar beberapa percakapan terakhir antara Jevin dan Mevin.
Lea tidak bisa membayangkan apa jadinya setelah ini, apakah ada yang berbeda dari keluarganya? Karena Lea mengingat pesan yang ia terima dari Jeremy bahwa Jovian, Ayah kandung Mevin ingin mengajak Mevin bertemu keluarga dair Mama kandung Mevin, hal itu membuat Lea sedikit takut akan hal-hal yang mungkin akan terjadi. Tapi Lea tepiskan itu sejenak.
Lea pun membuka pintu kamar anaknya itu, membuat kedua anaknya menoleh, Lea merentangkan tangan membuka lengannya, “peluk Mama dong, pengen dipeluk kembar juga, nih.” Jevin dan Mevin langsung bangkit berdiri dan berlari kecil memeluk Mamanya itu. “Nggak hanya sahabat yang menaruh kasih di suka ataupun duka, tapi saudara dan keluarga juga. Kompak terus ya kembarnya Mama. I love you,” kata Lea sambil bergantiann mencium pipi Jevin dan Mevin.