NICHOLETTA
Pada genggam tangan Letta―kekasih Jevin, dititipkan rapalan doa agar sang tuan segera membuka matanya. Pada diri yang tertegun dititipkan harap agar sang tuan kembali bersamanya merajut asa, kepalanya tertunduk lalu mendekatkan wajahnya ke wajah sang suami yang masih terpejam lantas mendaratkan kecup di pipi yang tercinta. Jevin adalah satu diantara berjuta lelaki yang memenangkan hati Letta.
Hatinya yang hancur menjadi kepingan ingin kembali dibuat utuh. Matahari yang tenggelam terganti oleh dinginnya malam membawa Letta kepada ingatan satu tahun silam dimana kisahnya dan Mevin harus berakhir dan pada akhirnya ia harus menjatuhkan hati kepada Jevin.
Cukup lama Letta dan Mevin menjalin hubungan namun harus berakhir. Ia sebenarnya memiliki ketakutan sejak awal, bagaimana bisa ia berpisah dengan Mevin lalu menjalin hubungan dengan Jevin? Walaupun dengan jangka waktu dan selang waktu yang lama. Ketakutan memeluk diri Letta lebih erat, belum ada kemajuan kondisi Jevin, dadanya sesak hatinya pedih. Tak lama Letta dengar seseorang melangkah masuk kesana, Letta buru-buru bangkit berdiri dan menoleh. Didapatinya Mevin berjalan mendekati Letta. “Letta?”
“Mevin?”
“Kamu udah dari tadi? Papa suruh aku jagain Jevin, kamu pulang aja nggak a” Letta menghela napas dan memeluk anaknya itu sesaat lalu merenggangkannya.
“Iya, Mevin.”
Letta pun hendak meninggalkan ruangan itu namun Mevin meraih tangan mantan kekasihnya itu, sekilas beradu tatap lalu melepaskan genggamannya, “Jangan sampai sakit, ada Jevin yang harus kamu jaga. Dia nggak mau kamu sakit.”
“Kamu juga, ya. Jaga kesehatan, makasih udah jadi kembaran yang baik buat Jevin. Makasih banyak donor darahnya, kamu bener-bener―”
“Itu gunanya kembaran, right?” Mevin mengangkat alisnya dan tersenyum dibalas oleh Letta yang juga tersenyum.
Mevin menggigit bibirnya, seakan ingin berucap namun tertahan. Letta yang paham pun bertanya dengan nada teduh, “Kenapa, Vin?”
“I just feel bad to Jevin sometimes.” Letta mengelus pundak Mevin, “Kamu adalah versi terbaik sebagai kembaran buat dia, perselisihan itu wajar, namanya juga keluarga.”
Mevin merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah foto polaroid. Foto di air terjun yang diambil Mevin dengan kameranya saat masih menjadi sepasang kekasih dengan Letta. Dan di foto itu juga ada Jevin. Tangan Letta sedikit bergetar saat meraih foto itu. Melihatnya lamat-lamat dan foto itu membawa ingatannya kembali, ingatan saat masih memadu kasih bersama Mevin untuk waktu yang lama. Dengan kekasih pertamanya itu.
“In the end kamu berlayar sama Jevin. Aku harap kalian sama-sama jadi yang terakhir. Ya? Aku udah gagal jagain kamu.”
“Mevin...”
“Kamu dunianya Jevin.” Letta mengajak Mevin keluar dari ruangan itu untuk duduk di bangku panjang di depan ruangan Jevin dirawat. Keduanya duduk bersebelahan, Letta menggenggam tangan Mevin, dibawanya pandangannya menatap iris gelap yang menyiratkan keteduhan.
“Jevin sering cerita, dia banyak iri sama kamu. Tentang papa mama kalian yang dia anggap membedakan perlakuan, dan banyak lagi” Kalimat itu membawa Mevin menghela napas dan tersenyum.
“Aku tahu, aku paham. Tapi memang bener, aku kan cuma anak angkat, yang anak kandung kan Jevin.” Mendengar hal itu Letta menangkup pipi Mevin.
“Kamu lebih pantas sama Jevin daripada sama aku.” Lanjut Mevin.
Letta terisak disana, Mevin melepaskan tangan yang memegang pipinya dan melepaskannya namun membawanya dalam genggam.
“Maafin aku, kita pisah karena memang udah jalannya. Bukan karena faktor apapun, aku nggak peduli latar belakang kamu...” Bisik Letta lirih.
“Iya, makanya kamu harus bahagia sama Jevin, ya?” kata Mevin sekali lagi. Letta terisak tak ada yang lebih menyakitkan dari melihat keadaan Jevin dan mendengar perkataan Mevin saat ini. Sekali lagi Letta menatap jendela ruangan di depannya. Menitipkan doa agar Jevin lekas membuka matanya.