OUR FIRST DEEP HUG
Jovian tahu ia ada di persimpangan jalan―bahagia karena pernikahan pura-pura ini yang ia lakoni dengan Petra. Dalam hatinya masih sering memekikkan nama Lea namun semua perhatian yang Petra berikan juga kadang membuat Jovian terenyuh. Malam ini karena kedua orang tua Petra menginap di kediaman Jovian dan Petra maka tidak ada pilihan lain untuk mereka kecuali tidur di satu ranjang untuk dua malam ini. Petra memosisikan diri memunggungi Jovian, malam ini hujan deras mengguyur dan hawa menjadi lebih dingin dari biasanya. Gemuruh di langit menyapa keduanya, Petra yang memiliki ketakutan dan kekhawatiran akan hujan dan gelap menjadi was-was.
“Petra, udah tidur?” tanya Jovian yang hanya dibalas gelengan kepala dari Petra.
Tiba-tiba kilat menyambar dan diiringi gemuruh di langit, lampu mati seketika.
“Aaaaa!” Petra memekik nyaring dan refleks membalikkan badannya yang langsung disambut Jovian, keduanya kini ada dalam satu rengkuh.
“Nggak papa, jangan takut, ya?” kata Jovian, Petra tidak berkutik ia hanya mendekap Jovian dan meremas sedikit kaos Jovian. Wanita itu membenamkan wajahnya di dada bidang Jovian saat bunyi guntur kencang terdengar, digenggamnya lebih erat baju pria yang tengah dalam pelukannya itu Petra nampak ketakutan, Jovian menggeser tubuhnya hingga tidak berjarak dengan Petra.
“Kalau kaya gini anggep aku suami kamu beneran yang bisa lindungin kamu. Daripada ketakutan,” ujar Jovian sambil mengecup puncak kepala Petra lalu mengelus punggung wanita dalam dekapnya itu.
“Hangat,” batin Petra.
“It’s okay I’m here,” kata Jovian. Diluar sana bunyi gemuruh petir dan hujan deras serta angin kencang beradu memecah hening.
“Kalau takut harus dilawan, lama-lama juga terbiasa,” lanjut Jovian
“Kalau sendiri takut, kalau ada kamu enggak.”
“Kok gitu?”
“Ya karena ada kamu.”
“Kalau besok-besok nggak ada aku gimana?” tanya Jovian.
“Nggak tahu,” balas Petra lirih.
“Ra, harus dilawan rasa takutnya, come on, sini coba,” Jovian berkata dengan lembut dan meraih tangan Petra yang masih meremat kaosnya, ia membawa jemari lembut itu ke wajahnya.
“Coba sebutin mana mata, hidung, pipiku, bisa nggak?” bisik Jovian, Petra bingung dibuatnya.
“Hah?” tanya Petra lirih.
“Cepet cobain, raba wajahku, mata kamu jangan merem, buka mata aja, toh kamu mau tutup atau buka mata tetep gelap,” perintah Jovian.
“Nggak mau, takut!”
“Yaudah bentar aku nyalain lilin dulu.”
“Jangan tinggalin akunya!”
Jovian terkekeh, “Serba salah, terus gimana? Sebentar aja.” “Y…yaudah.” Akhirnya Jovian beranjak mengambil lilin aromaterapi dan menyalakannya, dua lilin itu dibiarkan menyala di meja sebelah ranjang mereka. “Buka mata, Petra.” Perintah Jovian, sedikit demi sedikit Petra membuka matanya. Dalam remangnya ia bisa melihat Jovian berdiri di sana.
“Kok nyalain scented candle?”
“Biar enak, biar kamunya nyaman,” kata Jovian sambil merangkak ke tempat tidur lagi. Ia menghampiri Petra lagi dan memeluknya
“My first hug from you as husband and wife.” Suara itu menusuk telinga Jovian dan membuatnya melihat mata Petra yang sedikit berkaca kaca. Jovian mendekapnya lagi, pria itu bisa merasakan detak jantung Petra yang tidak karuan. Jovian menghela nafas lalu mendekap istrinya dan menepuk nepuk pundak Petra. Sedikit tertohok dengan ucapan Petra membuat Jovian dan pikirannya berkelana. Memang benar selama menjalin hubungan ini memang Jovian bahkan tidak pernah memberikan physical touch kepada Petra.
“Walaupun pura-pura tapi ini nyaman, Jov,” kata Petra lembut.
“Harus banget ada kata pura-puranya?” tanya Jovian dengan nada sedikit kesal.
“Kalau kura-kura nanti keras soalnya ada cangkangnya,” celoteh Petra.
Jovian menjitak kepala Petra, “Akh! Sakit, Jopian!” rintih Petra sedikit merengek, Jovian terkekeh lalu kembali melayangkan peluk lagi, tubuh Petra terengkuh sempurna dalam dekap Jovian.
“Lucu,” ucap Jovian lembut. Tangannya tidak berhenti menepuk punggung Petra pelan dan membelai surai Petra juga.
“Tapi aku bukan komeng,” balas Petra lagi. Ternyata semenyenangkan ini percakapan sederhana mereka.
“Sini coba lihat aku sekarang.” Jovian menarik dagu Petra dan menatap mata teduh itu dalam remang.
“Nggak jelas muka kamunya,” kata Petra.
“Tapi kamu masih ngerti kan mana mataku, pipiku, man―” belum sempat Jovian menyelesaikan kalimatnya, Petra dengan mata terpejam melayangkan tangannya ke wajah Jovian dan mendarat dengan lembut.
“Ini matanya Jo, ini pipinya...” kata Petra sambil bergantian menyentuh mata dan pipi pria yang mendekapnya.
“Ini hidungnya, ini bibirnya,” katanya lagi. Jovian menahan pergelangan tangan Petra.
“Gelap nggak semenakutkan itu kan?” tanya Jovian menghela napas lalu menatap Petra dalam pelukannya.
“Aku kan udah bilang, as long as ada kamu, aku maunya ada kamu, Jovian.” Jovian bergeming lalu tersenyum setelahnya.
“Jov, peluk lagi boleh?” pertanyaan Petra dibalas rengkuh yang langsung diberikan Jovian pada wanita itu.
“Jovian, I understand that this relationship was wrong but I want to you know that I never feel any regret because of this situation, even I know that you’re still thinking about Lea.”
“I just feel bad to her.”
“Are you afraid to hurt her or to loose her?” Jovian menghela napas panjang, “Keduanya aku udah rasain.”
“But you should move on from her.”
“Still hurt and hard for me. Aku nyakitin kamu juga, Ra.” Tangan petra melingkar di perut Jovian dan sedikit menggeliatkan badannya lebih dekat dengan Jovian. “Yas, i know. We’d probably be just another stranger to each other after this.”
“Petra, aku juga lagi membiasakan diri tanpa Lea. Hubunganku sama Lea terjalin lama, and I leave her. And now I know dia juga udah punya pendamping hidup. Butuh waktu dan proses.”
“Yaudah aku bantu proses kamu lupain Lea.” Netra keduanya beradu disaat bersamaan Petra yang mendongak dan Jovian yang sedikit menunduk. Keduanya saling menatap mempertanyakan pertanyaan, kita memang tidak punya kuasa untuk menentukan kepada siapa hati ini berlabuh. Tubuh mungil Petra dalam pelukan Jovian sebenarnya meronta dalam hatinya, teriris batinnya, isi pikirannya berserakan. Sebuah senyum diberikan Jovian kepada Petra saat itu, tidak dengan gelengan ataupun anggukan kepala atas kalimat Petra sebelumnya. Rinai hujan di luar sana belum bisa menghapus bayang Lea nampaknya dari hati Jovian, akankah Petra menjadi bagian dari apa yang Jovian genggam?
“Jovian,” kata Petra lagi.
“Jangan pernah punya perasaan sama laki-laki brengsek kaya aku. Kalaupun harus punya perasaan, biar aku aja ke kamu, jangan habisin air mata dan perasaan kamu buat bajingan kayak aku, Ra.”
“Kamu nggak punya kuasa untuk larang kepada siapa aku menjatuhkan hati.” Petra membelai pipi Jovian. Karena memang Jovian tidak pernah tahu bagaimana berharganya ia untuk Petra. Namun jauh dari ketidakpedulian dan kecuekan Jovian terhadap Petra kadang Jovian merasa cemburu akan kehadiran Vedrick. Jauh di dalam diamnya kadang Jovian juga tidak bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan Petra. Lisan dan hati kadang memang tidak pernah berkesinambungan.
Akhirnya malam itu Jovian dan Petra hanya hanyut dalam dekap untuk pertama kali selama ini. Tak ada kata yang mencuat dari keduanya. Ada perasaan yang disimpan dengan baik hingga tak pernah pudar. Petra memang tahu Jovian masih ada disana bermukim dalam rasa sesalnya terhadap Lea namun Petra juga tidak mau menyiksa dirinya sendiri. Ia bukan tipikal yang mengemis untuk meminta hati Jovian, ia hanya melakoni peran dalam pernikahan pura-pura ini. Setelah itu jika Jovian tidak mencintainya dan berujung perpisahan pun bukan masalah untuknya.
“Lah dipeluk doang bisa tidur, ck.” decak Jovian yang menyadari Petra sudah terlelap dalam pelukannya, namun sesaat kemudian ia tertawa. Ia membelai pipi Petra dan menyingkapkan rambut Petra agar tidak menutupi paras ayunya. Tangan Jovian bergerak membenarkan posisi tidur Petra. Jovian membaringkan tubuh Petra yang masih dalam dekapannya dan menidurkan kepala Petra di bantal dan menyelimuti Petra. Lambat tapi pasti Jovian mendekatkan wajahnya kepada Petra sampai deru napas Petra bisa ia rasakan di sekujur wajahnya.
“Thank you for all of your effort, you deserve whole happiness.” Jovian bergumam dalam hatinya sebelum mendaratkan kecup di kening wanita dalam dekapannya itu. Iya, Jovian sadar melakukannya, Jovian juga mulai sadar ada debar aneh yang ia rasakan saat bersama Petra. Tanpa Jovian sadari, malam itu ia dekap hangat Petra dan berbagi hangat tubuh sampai pagi.