PADA AKHIRNYA
Beberapa hari terakhir Cathlyn kehilangan 2 angka dari berat badannya pasca putus dengan Dominic, rencananya membina hubungan lebih serius hanya menjadi angan belaka. Kehilangan berat badan karena tertekan perihal keadaan sudah menjadi hal yang biasa di kalangan kawula muda. Kehilangan barang barang juga kadang karena kita lupa meletakkan dimana, ditempat yang seharusnya atau tidak seharusnya. Cathlyn sudah meletakkan kepercayaannya di tempat yang ia anggap SEHARUSNYA. Untuk pertama kali Cathlyn tidak bergairah melakukan apapun selain menatap danau buatan di depannya, taman ini kosong langit mendung, hanya ada Cathlyn dan motor yang ia parkirkan tak jauh darinya. Ia mencabut rerumputan di tempat ia duduk sekarang lalu membuangnya ke sembarang arah.
Ia mengambil beberapa kerikil dan melemparkannya ke air danau yang tenang itu. Sampai saat ini Dominic memang masih terus menghubungi Cathlyn namun ia membiarkannya, tidak menggubris pesan dan panggilan dari Dominic. Kosong―hampa, penuh sesal dan sesak. Cinta tulusnya selama ini dibayar dengan pengkhianatan dari orang yang sudah menjanjikan kehidupan pernikahan untuknya. Namun, hati gadis ini belum pulih sepenuhnya. Dominic orang yang membuatnya jatuh cinta dengan sangat dalam dan menggoreskan luka yang amat dalam juga. Keadaan sore ini sempat gerimis, Cathlyn masih bertahan disana membiarkan tubuhnya dihujam rinai dari langit. Rindu dan penyesalan berkecamuk dalam hatinya kala mengingat Dominic.
Rinai yang berjatuhan semakin bertambah sedikit deras, tubuh gadis itu sudah setengah kuyup. Sampai ia merasakan ada seseorang yang memayunginya, ia mendongakkan kepala, tangan seorang lelaki yang ia kenal sudah mengulur memayunginya dan lelaki itu membiarkan tubuhnya dibasahi hujan.
“Theo,” kata Cathlyn lalu bangkit berdiri,
“Hujan, pulang yuk?” ajak Theo sambil menarik tangan Cathlyn pelan.
“Lo kenapa tahu gue disini?”
“Jangan tanya kenapa gue bisa tahu tapi tanya kenapa gue mau tahu.” Cathlyn menatap heran mendengar perkataan Theo.
“Udah nggak usah heran, pulang yuk? Hujan, nih.”
“Nggak mau.” Tolak Cathlyn.
“Mau disini?” Gadis itu mengangguk, lalu menjauh dari Theo yang memayunginya.
“Biarin gue basah aja udah terlanjur basah payungnya lo aja yang pakai,” kata Cathlyn kembali duduk di tepi danau itu. Namun Theo membuang payung itu ke sebelahnya lalu ia duduk bersebelahan dengan Cathlyn.
“Kenapa ikut basah basahan sama gue? Pakai payungnya sana,” gerutu Cathlyn
“Biar kalau lo sakit gue juga sakit.” senyum simpul terbentuk di wajah Theo.
“Apaan sih,”
“Lo yang apaan kaya bocah aja nyiksa diri sendiri, sakit oon kalau hujan hujanan gini. Dominic peduli emangnya kalau lo sakit?”
“Theo ....” gadis itu menatap Theo nanar seakan tersirat keputusasaan di sorot matanya.
“Kenapa lo yang selalu ada kenapa lo yang selalu dateng saat gue butuh Dominic?”
“Karena gue mau.”
“Kenapa lo mau?” pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut Cathlyn. Dengan lugas Theo selalu menjawabnya,
“Karena gue suka.”
“Suka apa?” tanya Cathlyn lagi.
“Lo,” jawab Theo singkat lalu menoleh, keduanya saling beradu tatap, “Tapi suka sama lo peduli sama lo itu urusan gue,” lanjut Theo.
Cathlyn tidak bergeming, keduanya hanyut dalam tatap sorot mata Cathlyn penuh tanya. “Gue udah terperangkap di perasaan ini lima tahun, nggak enak rasanya. Lo nggak usah mikirin gue, pikirin dulu luka lo yang baru itu, kalau gue bisa bantu sembuhin, gue bakalan lakuin. Setiap gue coba tepis malah hati gue yang makin keiris. Nggak lucu kan gue confess disaat kaya gini? Sorry ya, Lyn, gue cuma―”
“Theo, gue―”
“Nggak perlu dijawab, cukup tahu aja ya Lyn. Gue berharap juga lo akan berakhir di kata Lupa sama pengakuan gue ini, gue cuma nggak mau lihat lo terpuruk terus Lyn.”
Diantara turunnya hujan, terlihat jelas mata Cathlyn yang berkaca kaca meski ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Theo ... sakit, Theo,” kata Cathlyn dengan suaranya yang parau. Theo meraih tubuh gadis di sebelahnya, menariknya kedalam pelukannya, gadis itu langsung terisak punggungnya bergetar kala tiba di pelukan Theo.
“Nangis aja sepuas lo, luapin semua kebencian lo sama Dominic di pelukan gue, Lyn.”
Cathlyn membenamkan wajahnya di sela leher Theo, dan ia terisak keras di sana.
“Maafin gue yo maafin gue nggak tahu apa apa tentang lo selama ini.”
“Gue nggak minta lo tahu apa apa tentang gue Lyn, you don’t need to say sorry.”
Sebuah perasaan bersalah dan risalah menyelinap di hati Cathlyn, bagaimana bisa ia mendapat pengakuan dari Theo disaat ia tersakiti oleh Dominic dan kecewa namun juga semua ingatan tentang Theo yang selalu ada selama ini berseliweran di kepala Cathlyn.
“Sakit banget rasanya, udah booking semuanya ... udah sebar undangan ....” mendengar ucapan itu ada desiran nyeri di hati Theo, orang yang ia jaga dan ia kagumi merasakan sakit yang amat dalam karena perlakuan Dominic sahabatnya sendiri. Tangan Theo menepuk pelan punggung Cathlyn.
“Lyn, setiap lo ngerasa sakit dateng ke gue ya Lyn. Kapanpun lo ngerasa sakit dan sedih.”
Cathlyn merenggangkan pelukan, Theo menggenggam jemari Cathlyn dalam genggamannya, dilihatnya gadis di depannya masih terisak dan tersedu-sedu. “Dominic jahat, Yo. Kadang gue Cuma minta waktunya yang sedikit tapi yang dia kasih malah pengkhianatan nggak berujung. Dan secara nggak langsung gue juga nyakitin lo.”
“Gue nggak ngerasa disakitin, Lyn. Gue Cuma ngerasa lagi lewatin proses, entah ujungnya ngelepasin lo atau gimana yang gue tahu pasti gue lagi ngelewatin proses. Gue juga nggak mau jadi perantara antara lo sama Dominic.” Cathlyn mendongakkan kepalanya menatap lelaki di depannya ini, satu tangannya mengusap pipi Theo.
“Dengan siapapun lo bahagia nantinya lo berperan besar dalam hidup gue Theo. Thanks juga you know me better than Domi.” langit abu yang menggulung menyaksikan dua insan itu kembali memeluk satu sama lain. Cathlyn tidak menuntut sebuah penerimaan kembali oleh Dominic bahkan ia sudah jelas jelas diabaikan dengan cara main Dominic yang begitu rapih selama ini.
Tak peduli berapa kali Dominic memohon agar Cathlyn tetap tinggal, gadis itu tetap pada pendiriannya untuk tidak kembali ke luka yang sama. Diluar sana banyak orang yang memilih tetap tinggal dengan berbagai luka yang ditorehkan, memang itu kehendak bebas setiap insan. Ada pula diantara mereka yang memilih pergi dan menemukan lembaran baru tak peduli sudah sekian lama mereka mengukir cerita, mereka relakan karena sadar jika dipertahankan hanya menyiksa. Penerimaan, merelakan, melepaskan serta mengikhlaskan berjalan seiringan dengan setiap goresan luka yang kita terima.
“Boleh, Lyn gue jagain lo untuk ke depannya? Jangan mikirin apa-apa dulu, gue cuma mau lihat lo senyum, nggak ada seorang pun yang nyakitin. Gue nggak minta lo bales perasaan gue, anggep gue Theo yang sebagaimana lo kenal. Boleh, Lyn?”
Sebuah anggukan diberikan Cathlyn, maka Theo tersenyum dan menyeka air mata di pipi Cathlyn dan keduanya tersenyum sesaat, Theo masih sibuk menyelami iris mata Cathlyn dan sampaikan harap agar sang puan pujaannya selalu dilingkupi kebahagiaan untuk kehidupan ke depannya.