PANIC

Sesampainya di kediaman mereka, usai Jevin menjemput Letta di studio. Jevin menunggu istrinya itu mandi Jevin pun berjalan dan duduk di kursi piano yang ada di rumahnya itu, menghela napas lalu jarinya mulai menari di tuts piano yang ada disana, kini alunan nada merdu menggema di sana. Sebuah instrumen yang Jevin mainkan, menusuk rungu Letta yang baru saja usai membasuh tubuhnya. Akhirnya dengan langkah gontai, ia hanya mengenakan bathrobe, karena mendengar instrumen piano, Letta keluar dari kamarnya. Benar saja, ia melihat Jevin disana tengah memainkan pianonya.

Dengan langkah perlahan ia hampiri sang tuan dan duduk di sebelah Jevin. Pria itu menoleh mengecup pipi Letta lalu melanjutkan lagi instrumennya, nada teduh namun terdengar manis di telinga. Membuat siapa saja yang mendengarnya hanyut dalam setiap irama. Sampai pada penghabisannya, Jevin hanya beradu tatap dengan Letta saja.

Such a sweet and great instrument,” kata Letta sambil tersenyum diiringi kagum tak berkesudahan. Iramanya sudah habis tapi hangatnya masih tersisa di jantung Letta. Membuat degup yang tidak biasa. Sebenarnya ada satu hal yang Letta sembunyikan, ada suatu hal yang sebenarnya Letta tahan untuk katakan. Karena pasti akan menyakitkan dan membuat khawatir bagi Jevin. Pada senyuman indah paras Jevin, Letta tenggelam.

I want to give you this,” balas Jevin lalu meraih sebuah benda di sebelahnya, setangkai bunga mawar putih untuk sang puan. Letta membelalak kaget dan tangannya bergerak menerima bunga itu perlahan.

In a sudden?” tanya Letta.

Yas, haha. Enggak sih, tadi kan udah jawab pertanyaan teka teki aku haha, yang candi borobudur itu,” balas Jevin.

“Jevin?”

“Ya?”

“Jevin, I love you so much,” kata Letta dengan nada lesu. Sedikit aneh rasa hati Letta, hingga kerutan dahi hiasi wajah Letta.

Don’t take it too much, I just want to tell you what’s inside my heart.

Keduanya sempat hening karena Letta masih larut dalam kekagumannya akan setangkai bunga mawar itu.

“Ke balkon yuk?” tanya Letta menawarkan, maka Jevin mengangguk lalu menuruti ajakan sang puan. Letta menaruh bunga mawar tadi diatas piano, keduanya berjalan menuju balkon kediaman mereka itu. Mungkin Jevin ingin teriakkan betapa ia mencintai sang puan, mungkin juga Jevin ingin teriakkan betapa ia ingin Letta untuk tinggal bersamanya selamanya. Maka saat hening melanda, Jevin tautkan jari mereka dengan sengaja. Membuat sang pemilik raga saling menatap satu sama lain.

“Jevin―”

You okay? Kalau ada apa-apa ngomong, aku lihat kamu beberapa kali suka bengong sendirian. Kamu tuh punya suami, jangan dipendem sendiri,” balas Jevin dengan nada memohon walaupun awalnya ia tidak percaya diri.

Ada harap yang dititipkan dalam setiap ruas jari yang bertaut diantara mereka, tak ada sanggahan dari sang puan, Letta balas genggaman itu erat. Jevin kaget, dadanya berdebar tapi ia berusaha kontrol dirinya.

Letta tidak membalas ucapan Jevin, ia hanya menaruh kepalanya di dada bidang Jevin sehingga debar dada Jevin bisa ia dengar.

“Kenapa deg-degan?” tanya Letta lagi dengan tangan yang perlahan melingkar di perut Jevin.

“Nggak tahu, rasanya beda, aku kayak sedih aja, tapi bukan karena aku ... kayak aku ngerasa ada sesuatu sama kamu tapi kamu bilang kamu baik-baik aja.” Jevin membalas pelukan itu dan mendaratkan kecupan di puncak kepala Letta untuk beberapa detik. Kemudian Jevin di selimuti oleh hampir seluruh memorinya bersama Letta. Tiba-tiba Letta mendongakkan kepala yang membuat keduanya saling bertatapan.

Jevin menyalurkan perasaan lewat usapan halus dari jempol yang kini mengusap pipi Letta, keduanya masih rasa nyaman dalam sebuah rengkuh yang sudah lama tidak mereka bagi berdua. Mata keduanya masih bertaut, Jevin menatap dengan tatapan yang sendu, sama dengan sang juwita.

Kemudian tautan tatapan itu membawa birai Jevin yang berlabuh pada birai Letta saat itu juga. Letta tinggalkan segala ketakutan, satukan pagut dengan sang adam, tapi ditengah pagutan mesranya, Letta melepaskan pagutan tiba-tiba. Letta langsung memegangi perutnya dan membungkuk kesakitan.

“Arghh... sakit ...” rintih Letta. Jevin langsung sigap memegangi tangan dan tubuh Letta.

“Sayang, kamu kenapa? Letta?”

“Perut aku sakit, sakit banget ... ...” Letta hampir ambruk tapi Jevin sigap menahan, Jevin langsung membopong tubuh istrinya itu lalu ia bawa dan tidurkan di tempat tidur mereka. Jevin mengambilkan secangkir minuman hangat dan juga beberapa obat yang ada di kotak obat.

“Minum anget dulu, atau mau minum obat? Yang mana sayang obat kamu?” tanya Jevin panik, Letta yang sudah terbaring hanya meringkuk memegangi perutnya dan menggeleng.

“Enggak, bentar, sakit banget.” Sudah jelas Letta tahu kenapa ia merasa sakit, tapi Jevin masih bermukim dalam ketidaktahuannya karena Letta yang belum mengatakan yang sebenarnya kepada Jevin. Akhirnya Jevin menaruh semua yang ia bawa, ia berlutut di lantai dan mengusap lembut pipi istrinya itu, satu tangannya digenggam Letta untuk menahan rasa sakit. Satu tangan Jevin bergantian mengusap perut dan lengan Letta.

“Lett, ke rumah sakit, yuk? Aku gantiin baju ya. Aku takut kamu kenapa-kenapa ...” kata Jevin. Letta sudah tidak ada tenaga untuk menjawab, akhirnya Jevin menggantikan baju istrinya itu lalu membopong Letta lagi ke dalam mobil dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Sepanjang jalan, Jevin kadang genggam tangan istrinya yang semakin dingin. Letta sesekali masih merintih kesakitan, hingga saat berhenti di lampu merah genggaman tangan Letta terlepas, Jevin menoleh, wajah Letta sudah pucat dan mata Letta memejam.

“Letta!”