PARENTS

Hari terakhir Mevin di Rumah Sakit masih ditemani oleh Jovian dan Jovian masih telaten mengurus Mevin dengan sepenuh hatinya, memaksimalkan hari terakhirnya di Indonesia. Kali ini sebelum pulang, Mevin menjalani terapi terlebih dahulu. Jovian dengan sabar menemani dan menuntun serta kadang mendorong kursi roda Mevin.

Jovian juga kadang menyuapi Mevin walaupun kadang Mevin segan karena ia merasa sudah cukup dewasa tapi di mata Jovian, Mevin tetap anak lelakinya yang menjadi kesayangannya.

“Pa, nggak usah disuapin.” Mevin menjauhkan wajahnya sedikit kala Jovian menyuapinya.

“Aduh, emang kenapa?” tanya Jovian.

“Udah gede.” Mevin terkikik.

“Biarin,” kata Jovian sambil mengedikkan bahu.

“Makasih, Pa. Maaf kalau keputusan Mevin mengecewakan Papa.”

“Nggak papa, semua kan hak Mevin, sebenernya juga Papa pengen rawat Mevin. Tapi even Mevin Papa bawa ke Aussie pun, nggak menjamin suasana hati Mevin membaik juga. Gimanapun, suasana hati itu juga penting, kan? Kemauan Papa kesini murni dari Papa sendiri, kemauan Papa untuk rawat Mevin disini, sebagai seorang Ayah, pasti juga merasa khawatir dan sedih. Tapi kebahagiaan Mevin yang utama, bukan ego Papa.” Mevin berhenti berucap sebentar, ia masih menelaah perkataan ayahnya, memang ada benarnya yang dikatakan Papanya memang benar.

“Pa, terima kasih, ya, udah berkorban buat kebahagiaan Mevin. Terima kasih, ya, Pa. Mevin beruntung punya dua Papa dan dua Mama yang semuanya sayang sama Mevin walaupun Mevin belum sempat ketemu mama kandung Mevin. Kata Mama Lea, malaikat baik yang melahirkan Mevin itu cantik dan hebat, bahkan sekalupun nyawa mama terenggut, semua itu bagian supaya mama Lea selamat.” Mevin mendaratkan pernyataan yang menyentuh hati Jovian lagi.

“Nak, terima kasih, ya, sudah jadi anak yang baik. Please be a good son for mama Lea sama papa Jeremy. Both of them love you so much, so do I. Mevin, cepet sembuh ya, Nak. Cepet sembuh juga buat Grace, perjuangan kalian nggak boleh berakhir kaya Papa Jo dan Mama Petra.” Pandangan mata Jovian belum berpindah dari paras anak lelakinya. Ia belum beranjak, mata Jovian berkaca-kaca.

“Papa sama Mama Petra itu nggak gagal.”

“Kenapa Mevin bisa bilang gitu?”

“Karena Mevin bukti nyata keberhasilan kalian, hidup Papa sekarang wujud perjuangan Papa berjuang walaupun setelah kepergian Mama, gimana Papa bertahan, gimana Papa ikhlas sama semua keputusan yang Mevin kasih, Papa juga sadar Papa nggak secakap Mama Lea dan PapaJeremy dalam mendidik kamu. Yang penting, apa yang bisa Papa Jo lakukan buat Mevin pasti Papa lakukan, semua untuk kebahagiaan Mevin.”

“Papa bahagia dengan kaya gitu?”

“Sure, justru Papa sedih kalau misalkan Mevin ikut Papa dan Mevin nggak bahagia dan nggak nyaman.”

“Papa terbaik.” Mevin memberikan senyum terbaiknya setelah berucap. Jovian mengangguk, menaruh piring berisi makanan Mevin di sebelahnya lalu tangannya bergerak mengusap kedua lutut Mevin, Jovian memejamkan matanya, menunduk.

“Tuhan sembuhkan anakku―” kalimat itu terucap lirih nyaris tak terdengar tapi masih bisa ditangkap oleh rungu Mevin. Kalimat itu berulang kali diucapkan Jovian, lalu ia membawa pandangannya ke wajah Mevin. Sungguh, ia jumpai senyum hangat mendiang istrinya pada paras tampan anak lelakinya itu. Selama menunggui Mevin di rumah sakit, Jovian memang telaten dan sabar, mengangkat tubuh Mevin, mendorong kursi rodanya, memapah Mevin, menyuapi bahkan menunggui Mevin sampai anaknya benar-benar terlelap.

“Anak Papa pasti sembuh,” kata Jovian lagi. Mevin mengangguk menahan haru. Sejuk dan tenangnya pembicaraan kala itu menyuarakan kebahagiaan di hati masing-masing dari Mevin dan Jovian. Mevin merogoh saku jaketnya, ia mengeluarkan sebuah kotak lalu memberikannya kepada Jovian.

“Ini apa, Vin?” Jovian mengernyitkan dahinya seraya tangannya menerima pemberian Mevin itu. Mevin hanya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum, ia memberi isyarat agar Jovian membuka kotak tersebut. Jovian mulai bergerak membuka kotak kecil itu, wajahnya berbinar kala melihat sebuah jam tangan ada di sana dengan secarik kertas.

“Papa Jo, selama ini hari ayah berkali-kali dan bertahun-tahun, juga ulang tahun Papa, Mevin nggak bisa ucapin ke Papa Jo secara langsung. Now let me paid it all, this is a small gift from me. thank you for being my father.” Mevin berkata mengiringi ayahnya yang memasang jam tangan itu di pergelangan kirinya.

The more I know you, the more I feel how great and how thankful I am to be your son. Thanks for being a great person who always encourage me to do my best in everthing. I wonder sometimes how can be a person be so patient and dealing with a lot of hard condition. I know you still care with mama Lea and of course you love mama Petra so much. I never imagine that someone who was once a stranger to me could have a vey big impact in my life. I love you, thank yu for hold me as my father. Papa Jo!” Mevin menyelesaikan kalimat yang sangat ingin ia ucapkan kepada ayahnya itu selama ini.

“Papa bangga sama Mevin. Papa nggak tahu hidup Papa akan jadi seperti apa kalau saat itu kamu sama Mama kamu pergi dari Papa. Mevin, ingat nak, semua hal yang kamu alami udah diatur sama Tuhan, semua air mata yang kamu keluarkan akan digantikan bahagia yang nggak ternilai nanti, jangan lupa kita masih dan akan selalu butuh Tuhan, ya? Lebih dari segalanya, lebih dari apapun, taruh Tuhan diatas segalanya. Semua ketakutan dan kecemasan kamu serahkan sama Tuhan, Papa terbatas, Mama Lea terbatas, Papa Jeremy, Jevin, Lauren, semuanya terbatas dalam mengerti kamu dan apa yang kamu alami atau sembunyikan. Tapi Tuhan enggak, nak. Ingat itu, ya? Berjuang sama Grace ya, Papa tahu kamu bahagia sama dia.” Tanpa ada kecanggungan lagi dan untuk sekali lagi Jovian memeluk Mevin erat.

Keduanya lebur dalam perasaan haru kala itu, sebagai seorang ayah dan anak yang saling membagi duka dan saling menguatkan. Berbagai kerapuhan sudah Jovian jajal selama ini, berbagai kesakitan dan kehilangan sudah Jovian alami selama hidupnya. Jovian mengerti dan paham apa yang dirasakan Mevin kali ini, Jovian hanya ingin kebahagiaan untuk Mevin sebagai caranya menebus semua kesalahannya terhadap Petra selama ini.

Tiba-tiba terdengar suara kaki yang melangkah mendekati mereka bersamaan dengan Mevin serta Jovian yang merenggangkan rengkuh. Benar saja, itu adalah Jeremy dan Lea.

“Halo Jo!” seru Jeremy yang berjalan mendekat sembari merangkul Lea. Mevin tersenyum kepada kedua orang tuanya itu.

“Eh, Jer! Halo Lea!” sahut Jovian lalu berdiri dan menyambut kedatangan keduanya. Jovian dan Jeremy berdiri bersebelahan seraya Lea menghampiri Mevin dan mengecup puncak kepala anaknya itu, lalu mengobrol dengan Mevin.

“Jo, pulang hari ini?” tanya Jeremy.

“Iya, next kesini lagi sama Auryn sama Mikayla, deh.”

“Iya, harus, makasih ya, Jo udah kesini.” Jovian menepuk pundak Jeremy, “my pleasure and my responsibility karena menyangkut Mevin.” Jeremy mengangguk dan tersenyum, ia sadar Jovian memang sudah sangat berbeda, jauh berbeda dengan Jovian yang ia kenal di masa berpacaran dengan Lea dahulu.

“Ditemenin Papa Jo, ya, terapinya?” ujar Lea sambil membelai rambut Mevin. Anak lelaki itu mengangguk tanda mengiyakan.

“Are you sure that you want to stay here?” tanya Jeremy sambil mendekati Mevin. Mevin mencium tangan dan tersenyum kepada Jeremy, ia mengangguk dan berkata, “iya.”

“Mevin baik-baik sama mama Lea dan Papa Jeremy. Yang nurut, ya, nak.” Jovian mendekat juga ke arah Mevin.

“Iya, pasti,” balas Mevin.

“Makasih ya Papa Jo, Mama Lea, Papa Jeremy, pasti sekarang Mama Petra lagi senyum lihat kita semua ada di sini, masih bisa lihat satu sama lain sampai sekarang.” Nyatanya, ucapan Mevin saat itu membawa ketiga orang tuanya ke dalam rasa haru dan sedih di saat yang bersamaan.