PECUNDANG

Lea melangkahkan kakinya cepat mengejar waktu sebelum Jovian boarding. Seperti apa yang Jovian katakan bahwa pria itu sudah hendak kembali ke Australia dan Lea sudah mengetahui semua yang Jovian ucapkan kepada Mevin. Jovian tidak mengetahui Lea yang akan menyusulnya jadi kali ini Jovian masih berada di sebuah coffeeshop yang ada di bandara.

Lea mencari keberadaan Jovian seorang diri, tanpa didampingi Jeremy. Jovian adalah ayah kandung Mevin, iya, anak yang dibesarkan Lea dan Jeremy sejak lahir. Pernikahan Jovian dan Petra mendiang istrinya⎯Ibu kandung Mevin memang hanya berdasarkan perjodohan sampai akhirnya hanya menemui kata pisah. Petra harus pergi selamanya setelah melahirkan Mevin, Petra yang memberi mandat kepada Jovian agar menyerahkan anak yang ia lahirkan kepada Jeremy dan Lea. Tidak ada hal lain yang bisa Jovian lakukan saat itu, persalinan darurat karena satu insiden . (Kira-kira gitu aja, selebihnya baca di novel aja hehe)

Lea menghentikan langkahnya saat melihat seorang pria yang tengah duduk di sebuah coffee shop, tangan Lea mengepal menahan emosi, Lea menelan ludah sebelum melangkahkan kakinya lagi menghampiri pria itu dengan segala emosi yang sudah berkecamuk di dalam hatinya.

Jovian menyadari kehadiran seseorang, ia yang tadinya menunduk pun perlahan mengangkat wajahnya melihat ujung kaki hingga ujung kepala orang di hadapannya. Mata Jovian membulat saat melihat Lea ada di sana.

“Lea?” Jovian bangkit berdiri.

PLAK! Satu tamparan langsung mendarat mulus di pipi Jovian dari tangan Lea.

“Ini untuk kamu yang udah jadi pecundang buat mendiang Petra!”

PLAK! Tamparan kedua mendarat, “ini untuk kamu yang nggak pantas disebut Ayah buat Mevin!”

Jovian kaget bukan main tapi ia hanya bisa memegangi pipinya, bahkan sebelum Jovian membuka mulutnya, Lea sudah terlebih dahulu mengatakan kalimatnya, “aku sekarang ngerti kenapa di masa lalu Tuhan pisahin aku sama kamu bahkan pisahin kamu sama Petra juga. Wanita sebaik mendiang Petra memang nggak pantas dapat pendamping seperti kamu! Aku nggak nyangka kamu sejahat itu sama darah daging kamu sendiri. Jangan temui Mevin lagi! Dia anakku!” Lea berkata dengan bibir yang sudah bergetar hebat dan napas yang memburu.

“Jovian, Mevin berhak dapetin kasih sayang orang tua. Seharusnya kamu bersyukur kamu masih diberi umur panjang dan bisa melihat anak kandung kamu yang udah dewasa! Bersyukur waktu itu Mevin selamat! Bukan jadi pecundang kayak gini!” pekik Lea nyaring, air matanya mengalir deras di pipinya tapi Lea sebisa mungkin menahan diri agar tidak terisak di hadapan pria pecundang di depannya ini. Jovian terdiam tidak merespon barang dengan satu kalimat pun.

“Aku nggak akan ketemu Mevin lagi apalagi ngambil dia dari kamu.” Jovian menetralkan nada bicaranya, lalu ia meraih gagang kopernya dan berbalik badan hendak meninggalkan Lea.

“Lebih baik kayak gitu untuk selamanya!” kata Lea sampai tenggorokannya tercekat. Lea juga berbalik badan lalu melangkah cepat meninggalkan Jovian dengan segala penyesalannya.

Tangan Jovian mengerat menggenggam pegangan kopernya, matanya terasa panas, ia mengatur napasnya dan memejamkan mata sesaat, Jovian masih sempat menoleh melihat wanita yang sempat mengisi relung hatinya sebelum diisi oleh Petra itu berjalan sambil menyeka air matanya. Jovian tidak bisa berpikir jernih lagi ia melangkah cepat menyeret kopernya dan berjalan menuju gate yang ia tuju.

Lea merasakan lututnya lemas, ia terhuyung dan memilih untuk duduk di sebuah bangku panjang yang ada di bandara itu, Lea menunduk dan membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya, dalam hitungan detik Lea menangis di sana seorang diri. Tangisannya menjadi isakan hebat sampai ia kesusahan bernapas. Lea merasa sakit bukan main dalam hatinya, sampai ia merasakan seseorang merangkulnya, mengusap punggungnya pelan. Lea menoleh mengangkat wajahnya, ia menjumpai Jeremy di sana, suaminya ada di sana.

“Jer…” bibir Lea bergetar saat memanggil lirih nama suaminya itu.

“Udah dibilang jangan pergi sendiri, nggak usah ketemu Jovian, biarin dia pergi biar aj⎯”

Lea terisak lagi tiba-tiba, hal itu membuat hati Jeremy juga sakit, Jeremy tidak melanjutkan penuturannya, ia langsung memeluk istrinya itu. Lea membalas pelukan itu erat, Lea membenamkan wajah di pelukan Jeremy, meluapkan semua tangisnya di sana.

“Udah, sayang… udah… istri aku hebat, Mevin anak kita juga hebat. Nggak akan ada yang bisa nyakitin Mevin.” Jeremy berkata sambil mengusap punggung istrinya terus menerus.

“Jovian bangsat memang!”

“Heh, nangis kok masih sempet misuh,” kata Jeremy. Tapi Lea menangis lagi, Jeremy tidak melepaskan pelukan itu. Jeremy paham bagaimana perasaan Lea. Hal ini membuat Jeremy semakin bersungguh-sungguh dalam menjaga keluarganya. Tidak ada yang boleh menyakiti siapapun di keluarganya, pun juga tidak ada yang boleh mengambil Mevin.

Saat Lea sudah sedikit lebih tenang, Jeremy menangkup kedua pipi istrinya itu lalu ia menyeka air mata Lea sambil berkata, “makasih udah jadi istri yang hebat, makasih udah jadi sosok ibu yang hebat dan kuat buat anak anak, makasih udah ada sampai saat ini. Aku sayang kamu. Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi, nggak ada yang bisa nyakitin siapapun di keluarga kita, aku janji. Tapi lain kali jangan main pergi sendiri gitu aja, aku khawatir, ya?” kata Jeremy dengan nada teduh sambil menyingkapkan rambut Lea ke belakang telinga dan mengusap dahi Lea yang berpeluh juga.

Lea mengangguk dan menyeka air matanya, “tapi jangan bilang Mevin tentang kejadian ini ya.”

Jeremy mengangguk sambil tersenyum lalu mengecup kening Lea sejenak. Mereka memeluk lagi untuk sejenak, garis takdir memang mempertemukan Lea dengan Jovian dahulu sebelum dengan Jeremy tapi pada akhirnya Jeremy lah pemenangnya, Jeremy lah yang cakap dalam menjaga Lea dan menunjukkan betapa ia mencintai Lea dengan segala yang bisa ia lakukan. Kini, Lea dan Jeremy tidak akan membiarkan siapapun menyakiti hati anak-anaknya. Lauren, Jevin dan Mevin adalah anak Lea dan Jeremy, tanpa embel-embel apapun, mereka bertiga anak Jeremy dan Lea, selamanya.