PELUKAN MAMA

Sudah beberapa hari berlalu, hubungan Jeremy sebagai ayah dengan Jevin anaknya sejak perdebatan terakhir kali masih belum membaik. Jeremy masih tidak mau mengajak Jevin berbicara begitu juga sebaliknya. Hanya Lea yang mau mengajak Jevin berbicara.

Padahal Jeremy menunjukkan sikap yang biasa saja terhadap Lauren dan Mevin tapi kali ini tidak dengan Jevin. Kebijaksanaan dan kelembutan hati Lea membawa hubungannya dan Jevin kembali menjadi hangat seperti biasanya bahkan Lea memberi perhatian khusus untuk Jevin saat ini.

Karena sejak saat itu terakhir kali Jeremy marah kepada Jevin, anaknya itu tidak mau makan, ditambah keadaan Jevin yang di skors membuat Jevin sebenarnya juga tertekan. Bak tersesat di belantara kabut menemukan secercah sinar yang membuat pandangan kabur menjadi larut. Lea dengan mata yang basah tersenyum memandangi pemandangan di depan matanya dimana Jevin, Lauren dan Mevin saling memeluk satu sama lain, Lea mengintip dari balik pintu kamar Jevin karena mendengar sepertinya Lauren dan kedua adiknya sedang berbicara serius. Akhirnya Lea berinisiatif untuk mengetuk pintu dan menghapus air matanya.

“Mama!” seru Lauren, Lea memasuki kamar anaknya itu dan duduk di sebelah mereka. Walaupun duduk beralas karpet namun suasana kehangatan diantara ketiganya bisa Lea rasakan. Tidak ada yang memaksa untuk saling bersalah, tidak ada yang saling membantah untuk meluapkan amarah.

“Mama mau ngomong sama Mevin, sama kalian juga deh Cici sama Jevin,” kata Lea.

“Apa, Ma?” tanya Mevin. Lea menggeser badannya mendekat ke arah Mevin dan merangkulnya dengan tangan kanannya namun mata Lea bergantian menatap Jevin dan Lauren.

“Kalian kalau lihat sosok Mama gimana sih? Mama masih banyak kekurangannya ya?” ujar Lea lembut.

“Loh kenapa Mama nanya kaya gitu?” tanya Lauren. Lea menatap Jevin sekilas yang seakan kaget mendengar ucapannya itu,

“Jawab aja, coba Mama mau denger dari Lauren, Jevin sama Mevin.” satu tangan Lea membelai rambut Lauren. Jevin dan Lauren mengangguk mengiyakan perkataan mamanya itu.

“Mama walaupun sangar, dengan tatto dan penampilan mama yang kadang bikin orang takut lihatnya, tapi buat Lauren, Mama segalanya, mama itu udah jadi versi terbaik dari diri Mama sendiri. Mama itu bukti kebaikan Tuhan ditengah dunia yang menyakitkan. Waktu Mama cerita gimana hidup Mama selama Lauren kecil atau bahkan Lauren masih di kandungan bikin hati Lauren hancur banget, kenapa orang-orang sejahat itu sama Mama? Tapi mama bisa bertahan sampai sekarang, Mama bukti nyata malaikat baik yang ada di dunia yang Tuhan kirim, Mama harus ada di ambang perceraian sama Papa waktu Lauren baru lahir, dengan segala kecelakaan dan omongan orang, Ma.. nggak ada kata yang bisa ungkapin gimana beruntungnya Lauren lahir di keluarga ini.”

Sedikit perasaan haru menyeruak di dalam hati Lea kala mendengar perkataan Lauren.

“Mevin?”

“Mevin nggak pinter merangkai kata, tapi kalau saat itu Mevin nggak dibesarkan di keluarga ini mungkin keberadaan Mevin juga masih dipertanyakan di dunia ini. Walaupun Mevin lahir bukan dari rahim Mama, kalau setiap ditanya siapa Mama Mevin Cuma wajah Mama Lea yang Mevin ingat. Mevin bahkan nggak pernah tahu muka dan wajah Mama Petra, Mama adalah sebenar-benarnya kasih Tuhan buat Mevin.” Mendengar perkataan Mevin dan melihat kebersamaan ketiga anaknya ini tidak bisa Lea bayangkan jika suatu saat Mevin hilang dari tengah-tengah Jevin dan Lauren, ia menahan air matanya sekuat tenaga.

“Maafin mama ya sayang―mama belum bisa jadi mama yang baik buat kalian,” ujar Lea memecah hening.

“Mama itu mama terbaik di dunia, tapi Jevin anak terbangsat di dunia. Maafin Jevin...” suara Jevin memelan dan ia perlahan tertunduk.

“Jevin, mama mnta maaf, mama nggak cukup cakap dalam merawat, sebisa mungkin Mama udah memberikan semua perhatian secara adil. Maaf sayang, mama belum sempurna,” ujar Lea sambil terisak, air matanya tumpah tanpa komando.

“Kesalahan besar yang Jevin buat bukan salah Mama, karena itu Jevin lakukan sendiri. bukan karena Mama, nggak pernah sekalipun Mama nyuruh Jevin lakuin suatu hal yang diluar batas. Ini murni kesalahan Jevin, bukan salah Mama. Bukan salah Mama...”

“Aku sama Cici udah tahu apa yang terjadi,” sela Mevin.

“Mama stop minta maaf, mama nggak salah,” lanjut Lauren.

“Mama sadar, banyak hal dari masa lalu mama yang nggak bisa diterima orang biasa. Mama tahu juga itu menyulitkan Cici, Jevin sama Mevin. Pandangan tentang seorang ibu yang masa lalunya kelam. Mama pengen kalian lebih baik dan jauh lebih baik dari mama. Ya?” kalimat itu seketika menembus hati ketiga anaknya dan membuat mereka menahan rasa sedih.

“Jev, Mev.. maafin gue juga kalau kadang sebagai kakak nggak peka, nggak inisiatif nanya mau kalian atau apa yang kalian rasain.” Lauren menahan kuat-kuat air mata yang hampir keluar.

“Jujur, gue juga sakit dan sedih kalau kalian kenapa-kenapa atau ada hal yang terjadi sama kalian. Sedih dan ngerasa gagal jadi kakak,” lanjutnya.

Tangan Jevin bergerak menepuk pelan pundak Lauren. Lauren menunduk sedih, Jevin juga ikut tertunduk menyesali perbuatannya. Bahkan secara tidak sadar apa yang ia lakukan sudah menyakiti hati anggota keluarganya.

“Jevin minta maaf, sebenernya disini yang paling salah Jevin apalagi sampai bikin papa semarah itu, Jevin udah hancurin perasaan papa sama mama.. Jevin juga sedih karena sampai sekarang papa belum mau ngomong sama Jevin.” Kali ini Jevin yang berkata-kata dengan sekuat tenaga menahan emosinya agar tidak meledak dalam tangis.

“Maafin Jevin, Ma,” katanya berulang-ulang, ia menunduk lesu tak lama punggung Jevin bergetar hebat. Lea langsung sigap memeluk anaknya itu, Jevin menangis sejadinya di pelukan Lea. Air matanya membasahi lengan Lea. Mevin dan Lauren yang melihat kejadian itu juga ikut menitikan air mata.

“Jangan pernah diulang ya? Mau bagaimanapun anak apapun yang dilakukan Jevin tetap anak mama sama papa dan seburuk apapun masa lalu mama, tetap mama ini mamanya Jevin. Yang perlu kita lakukan hanya berdamai dengan diri sendiri dan jangan mengulangi kesalahan. Ya sayang? Mama sayang Je..vin. mama sayang kalian..” Lea yang tengah memeluk Jevin itu juga menangis,

“Maafin Jevin..”

“Jangan diulang ya sayang? Janji sama Mama?” Jevin mengangguk, anggukannya nyaris tersamarkan karena tubuhnya yang berguncang hebat karena isak tangisnya.

“Besok kalau kamu udah siap Jevin mau coba minta maaf sama papa? Nanti mama coba bujuk papa juga.” ujar Lea sambil membantu Jevin duduk dengan tegak. Perlahan Jevin mengangguk. Lauren dan Mevin tidak bisa mengatakan apapun selain air mata yang keluar dari pelupuk mata mereka. Memang takdir tak pernah berjanji seusai hujan ada pelangi, tapi setidaknya hujan selalu menemukan reda, bukan?