PELUKAN YANG LAMA HILANG
Malam ini, Mevin datang ke ruang rawat Grace karena lusa Grace akan berangkat ke Singapore. James sudah membantu menemukan ahli untuk pengobatan dan membantu Grace kembali pulih. Mount Elizabeth Singapore akan jadi tempat Grace menjalani pengobatan.
Dengan pelan, Mevin membuka pintu ruangan itu, dilihatnya Grace sedang tertidur pulas. Ia berjalan mendekat dan duduk di samping ranjang Grace. Wajah Grace yang masih tetap dengan paras ayunya, mesi kini bekas cakaran sudah menghiasi pipinya, lehernya dan masih di beberapa bagian lengan.
Dibelainya pelan pipi dan pundak Grace. Jauh dalam hati Mevin, tidak ada niatan berpisah sama sekali.
“Sayang, aku tahu kamu kuat. Aku tahu kamu bisa bertahan lewatin ini semua, kan? Sampai kapanpun aku nggak akan ninggalin kamu, Tuhan udah kasih kamu buat aku, tugasku jagain kamu, walaupun dari jauh, yang kuat ya sayang. Nanti balik Indonesia kita jadi Mevin dan Grace yang dulu, kamu yang ceria, kamu yang suka salting, ya, sayang?” Kalimat yang dirapalkan Mevin memang terdengar menyedihkan.
Grace bergerak berbalik badan, memunggungi Mevin. Ia langsung menggigit bibir kuat-kuat dan berusaha menahan air matanya meski percuma karena air mata itu langsung tumpah ruah.
“Grace, tau, nggak? Aku pernah nangis waktu tahu aku bukan anak kandung Papa Jeremy sama Mama Lea, aku nangis waktu kecelakaan menimpa Papa Jeremy waktu aku nggak disini, aku juga nangis waktu Mama Lea sakit nggak sadar beberapa lama. Dan aku lagi sering nangis karena berdoa sama Tuhan, aku nangis di hadapan Tuhan, Papa bahkan Mama. Bahkan juga di hadapan James sama Ave, setakut itu aku kehilangan kamu, serapuh itu aku di depan semua orang.” Seketika itu juga Mevin terisak, ia benar-benar meluapkan seluruh perasaannya.
Begitu juga dengan Grace. Sekuat apa pun Grace menahan tangis, tetap saja punggungnya bergetar. Mevin paham akan keadaan itu, ia pun mencoba duduk di tepi tempat tidur, melihat punggung Grace yang bergetar pelan, bahkan jika bertaruh, mata Grace sudah basah sekarang.
“Grace, do you hear me?” lanjut Mevin. Tubuh keduanya masih belum dibiarkan merengkuh satu sama lain. Mevin ikut tertunduk dan menahan air matanya. Ia berusaha menyentuh tangan Grace, berniat untuk menarik kekasihnya itu dalam rengkuh, tetapi Grace menepisnya.
Grace malah menarik selimut sampai ke dadanya dan tidak mengucapkan apa pun.
“Aku pastikan kamu setelah ini dapet pengobatan yang memadai,” ujar Mevin lalu mendaratkan satu kecupan di pipi Grace yang Mevin sadari juga sudah karena air mata.
Mevin menyentuh pundak Grace dan menggerakkan badan kekasihnya agar menghadapnya. Sekarang, tubuh Grace sudah terlentang, pandangan keduanya bertaut lagi. “Mevin...”
Mevin membantu kekasihnya untuk duduk, lalu digenggamnya tangan Grace erat dan dikecupnya punggung tangan Grace.
“Kamu tahu, kan, kamu berharga. Jangan disakitin lagi tangannya, lehernya, wajah cantiknya, jangan lagi, ya?” kata Mevin sambil mengusahakan senyuman terbaik.
Mevin memosisikan dirinya di sebelah Grace, pria itu menarik Grace dan membiarkan Grace bersandar di dada bidangnya. Tangan Grace melingkar di pinggang Mevin, tangisnya pecah.
“Tuhan masih kasih kesempatan aku hidup nggak, ya? Dunia terlalu kejam, aku takut, aku takut nggak kuat, aku takut semua berakhir sebelum Tuhan minta aku pulang” ujar Grace yang membuat Mevin sesak, dadanya sakit bukan main mendengar pembicaraan Grace itu.
Tangan Grace mengepal dan memukul pelan dada Mevin, tetapi pria itu membiarkannya. Ia malah mengecup puncak kepala Grace berkali-kali dan memeluk Grace lebih dalam lagi, Merengkuh tubuh satu sama lain kali adalah pilihan yang paling nyaman. Di antara dinginnya malam, kenangan indah milik keduanya terlintas di benak Mevin.
Keduanya pun merenggangkan pelukan. Mevin memegang bahu Grace dengan satu tangannya, sementara satu lagi tangannya ia gunakan untuk menyeka air mata Grace yang masih mengalir.
“Kalau belum waktunya pulang, Tuhan nggak akan biarin itu, Tuhan sayang sama kamu, sayang banget. Aku yakin Tuhan selalu nemenin kamu bahkan saat aku nggak disamping kamu, Dia paling mengerti kamu jauh melebihi siapapun, dokter dari segala dokter.” Satu kecupan mendarat di bibir dan kening Grace.
“Kenapa Tuhan kasih ini semua kalau sayang sama aku?”
“Wujud sayangnya Tuhan, naikin level iman kamu. Dan kamu special, nggak semua orang mengalami ini, Tuhan mau kamu jadi lebih kuat dari siapapun. Sayang, listen, nggak ada yang tahu rencana Tuhan buat hidup kita. Satu detik ke depan kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi, tapi yang harus jadi pegangan kamu, Tuhan itu lebih hebat dari segala dokter yang ada, yang akan menyediakan tepat pada waktunya, yang akan menguatkan lebih dari siapapun.”
“Mevin, aku takut―bahkan saat aku berdoa aku tutup mata, bayangan kejadian Brandon yang lewat, aku nggak bisa berdoa. Aku takut―”
Mevin pun mengubah posisinya menghadap Grace dan digenggamnya tangan sang puan, digenggam erat dan hangat. Mevin tersenyum dan berkata, “tutup mata kamu, sayang,” katanya. Grace bingung, Mevin memberi anggukan pelan, Grace menutup matanya.
“God, we thank you for your blessings through our life, we thank you for bring peace in our relationship, bless us with Your love that we may love each other. Bless us with your peace that we may bring calmness instead of confidence. We pray and put all of our trust to you because we believe that You will heal all of pain and wound in our heart, please strength our love, we will always lean on you hour by hour, day by day. And we pray for Grace that will through a treatment for herself in Singapore soon, may You bless her and take all of sickness from her. We believe that Your blessings and grace is like a river, may that river flow between us, You will wipe all of Grace’s fear, and she will get a complete recovery. You know how much I love her, and I want the best for her. We surrender all of our life to you and please forgive our sins, thank you God, Amen.”
Saat keduanya membuka mata, Mevin melihat jelas mata Grace merah dan sembab, maka Mevin usap air mata yang berjatuhan itu, Grace mengarahkan pandangannya ke depan, bukan ke arah Mevin―kosong, tapi air matanya terus mengalir, punggung tangan Grace kembali dikecup oleh Mevin lalu Mevin usap lembut.
“Jangan nangis, cantiknya Mevin.” Mevin tersenyum diatas hatinya yang pedih walau Grace pun tidak menatapnya sama sekali.
“Nggak usah pengobatan, bakalan percuma, lagian aku bakalan―” belum usai Grace mengucapkan kalimatnya, bibir Mevin sudah mendarat pipi Grace, maka mata Grace membulat saat itu. Tubuh Mevin perlahan memeluk Grace lagi sebelum menidurkan Grace perlahan.
Diusapnya kening dan pipi Grace perlahan, “Selamat tidur, sayang.” Mevin menutup malam itu dengan menyelimuti Grace dan tersenyum. Grace tidak menjawab apapun, Mevin perlahan keluar dari ruangan itu, sungguh ia tidak tahan melihat Grace yang putus asa. Kalau bisa Mevin ingin merengkuh tubuh Grace semalaman, menjaganya aman dalam dekap, tapi kenyataan berkata lain.