PERJALANAN YANG HARUS BERAKHIR KARENA LUKA MASING-MASING
Benar saja, saat itu Grace mendengar suara ketukan pintu apartemennya, ia tidak sabar membukanya, ia sudah mengumpulkan dan memupuk banyak kerinduan kepada sang tuan pemilik hati. Grace membuka pintu perlahan, dilihatnya Mevin dan Lea ada di sana. Lea ada di belakang Mevin yang duduk di kursi roda. Grace tidak bisa lagi membendung air matanya saat ia menatap Lea dan Mevin bergantian, Lea pertama kali langsung menghampiri Grace dan memeluknya.
“Grace apa kabar, nak?” tanya Lea sambil memeluk Grace dan mengusap pundak Grace.
“Baik, harus selalu baik, Tante.” Lea merenggangkan pelukan, lalu menatap Grace sambil memegangi kedua pundak anak perempuan itu.
“Tante tinggal sama Mevin ya, nanti tante kesini lagi. Mevin minta waktu berdua sama kamu.” Grace mengangguk, Lea pun memeluk Mevin sejenak dan mengecup puncak kepala anaknya dan berkata, “Mama tinggal dulu, ya.” Mevin membalas dengan anggukan dan senyuman. Maka berlalulah Lea dari sana dan Grace langsung mendorong kursi roda Mevin untuk masuk ke apartemennya.
“Mevin,” Grace bergumam lirih, ia gigit bibirnya menahan tangis yang sebenarnya percuma karena air mata sudah membasahi pipinya, Grace kuat-kuat menyeret langkah dan berlutut di hadapan Mevin. Mevin menyambut Grace dengan lengan terbuka. Sebuah dekap ditawarkan Mevin kepada kekasihnya itu. Grace dengan kaki dan bibir yang bergetar pun langsung berlutut di depan Mevin. Grace juga langsung membenamkan wajah di pangkuan Mevin, lalu perlahan, Mevin mengusap punggung kekasihnya itu.
Dalam sekejap, menggemalah isak tangis Grace setelahnya. Pedih, menyayat hati. Grace meraung dalam tangis, sakitnya bisa dirasakan siapapun yang mendengarnya, termasuk Mevin. Ia memegangi kedua pundak Grace dan membuat Grace tegak menghadap Mevin setelahnya. Tapi Grace tidak bisa berkata-kata lagi, ia langsung menghempaskan dirinya ke dalam pelukan Mevin dan menangis disana.
“Maaf, karena kamu kesini semua jadi kejadian, harusnya kamu nggak kecelakaan, Mevin maafin aku,” kata Grace yang masih menangis di pelukan Mevin.
“Bukan salah kamu.”
“Maafin aku.” suara Grace bertambah berat. Ia membenamkan dirinya di ceruk leher Mevin, Grace tidak bisa menahan tangisnya, saat itu bulir air mata juga jatuh dari pelupuk mata Mevin.
“Grace, listen ...” Mevin merenggangkan pelukan. Kini Mevin mulai mengatur napasnya, Grace masih berlutut di depan Mevin. Maka Mevin membawa tangan Grace untuk ia genggam, Mevin mulai menyeka air mata yang jatuh di pipi Grace dan berkata, “Grace, maaf, untuk semuanya, maaf udah nggak jujur dari awal setelah aku kecelakaan, maaf udah bikin kamu nunggu. Grace... meeting you will never be my regret. But, we just can’t be together, I gave up on us. I’m sorry for all the pain. I’m tired of seeing you hurt. I really love you with everything I got. But now, all things were not good enough for us. You can’t expect anything from me right now with my condition, we’re enough ... kita putus aja, ya?” perkataan Mevin membuat Grace terperangah bukan main serta merasa sesak.
“Mevin ...”
“Sorry, I can’t believe this but I think this is the best thing for us right now, buat menerima diriku sendiri aja aku nggak bisa, gimana sekitar, kita sama-sama sakit dan butuh sembuh, fokus sama luka dan trauma masing-masing. Kita jalan masing-masing.”
Suara tangisan Grace menggema, mereka adalah sepasang yang merasakan kehilangan, kehancuran, kerapuhan serta mencandu pilu seumur perjalanan hubungan mereka. Grace tertunduk di depan Mevin, memohon berkali-kali agar Mevin menarik lagi ucapannya.
“Jangan bercanda, jangan bohong, aku nggak mau, aku terima kamu apa adanya ...” Grace mencoba meraih tangan Mevin tapi kali ini Mevin menepisnya pelan.
“Mev ....” Tangis Grace kala itu, hingga detik ini, Grace masih tak percaya dengan apa yang terjadi.
“It’s enough ... it’s enough, Grace.”
“We’re enough, Vin?” Napas Grace semakin tersengal dan dadanya sesak, jujur saja, tangannya bergetar, sekujur tubuhnya seakan mengalami henti laju darah, bibir Mevin juga ikut bergetar, Mevin meneteskan air mata juga. Diatas apapun, bahkan diatas hari kepergian seseorang, yang lebih mengerikan adalah hari setelah kepergian dan perpisahan itu sendiri.
“Kita coba bareng-bareng, ya? Bisa kok, pasti bisa,” kata Grace sambil memaksakan senyum di atas tangis.
“Nggak bisa.”
“Bisa, Mev ... bisa ...” nada Grace memelan setelahnya.
“Nggak bisa, Grace! Nggak akan pernah bisa! Aku aja nggak bisa terima keadaan diriku sendiri, we’re enough! Sampai disini, aku pamit.” Mevin langsung cepat-cepat memutar posisi kursi rodanya.
“Nggak kuat, Mevin. Nggak kuat ....” Grace berkata lirih yang hanya bisa didengar oleh Mevin dan membuat Mevin menghentikan laju kursi rodanya. Grace menghampiri Mevin dan kembali berlutut di depan Mevin lalu mengelus lutut Mevin. Mevin masih acuh hingga saat Grace memekik satu kalimat yang menyakitkan, “Mevin stop there! You said that you want to through the rest of your life together, kenapa sekarang kayak gini?! Am I a joke to you?”
“Kamu nggak ngerti, Grace!” balas Mevin tidak kalah nyaring.
“Iya, aku emang nggak ngerti sama sikap kamu yang―”
“―Aku udah nggak sayang kamu!” teriak Mevin nyaring saat memotong pembicaraan Grace. Tenggorokan Grace tercekat bukan main, air matanya tumpah tanpa komando saat itu juga.
“Udah! Kita sampai disini aja!” pekik Mevin sekali lagi. Grace terkekeh di atas tangisannya, “kamu bukan kayak Mevin yang aku kenal, kamu berubah, Vin.”
“Iya, aku bukan Mevin yang kamu kenal setelah semua insiden ini!”
Grace menghela napas panjang, memasang senyum pedihnya lalu ia berkata, “nanti akan ada saatnya kamu bisa jalan lagi, tapi kalau emang itu mau kamu, untuk pisah ... iya, aku juga sadar aku sebagai pasangan kamu juga nggak ada gunanya, kan? Apa yang mau diharepin dari aku, cewek yang dijual Papanya sendiri. Kita sampai disini, kita selesai. Selesai, Mevin,” kata Grace setelahnya lalu memaksakan diri tersenyum.
Keduanya masih saling menatap tapi mata mereka sama-sama basah oleh air mata. Dunia kita akan berubah, ada banyak hal-hal yang hilang. Tidak bisa kita jumpai lagi sosok itu, tidak bisa lagi kita sentuh raganya, kita hanya akan bisa melihat mereka dalam terawang jauh pikiran, bertemu dalam setiap pejam doa, merasakan kehangatan dan kenangan masa lalu itu sebatas saat menyebutkan namanya, tak ada lengan yang memeluk dan merengkuh, semua keadaan akan berubah, maupun dari hal kecil sekalipun. Kisah Mevin dan Grace berakhir hari ini.