PETRA & VEDRICK

Malam dingin kala itu membuat Petra harus buru-buru bergegas ke minimarket di dekat apartemennya tinggal. Kebiasaannya untuk makan roti di pagi hari dan juga kebiasaannya membuat bekal untuknya tidak bisa terhindarkan, Petra memang mandiri selepas ia menjadi dokter, ia tinggal di apartemen di dekat klinik yang ia buka.

Alih-alih tinggal bersama orang tua dan adiknya laki-lakinya ia memilih hidup mandiri. Petra masih asyik memilih beberapa roti dan kue yang akan ia beli, pada koridor minimarket itu berdiri seorang pria yang memperhatikan Petra sedari tadi. Ia berdiri di ujung dan sedikit bersembunyi di balik rak makanan, pandangannya tak lepas dari Petra. Ia pun berjalan mendekat ke arah Petra yang menenteng barang belanjaan pada sebuah keranjang. Tubuh mungil Petra sedikit menunduk meraih sebuah roti tawar kemasan. Hingga saat Petra menegakkan tubuhnya lagi ia merasakan menyenggol seseorang.

Matanya membulat melihat seseorang tepat di belakangnya,

“Hai, ibu dokter.” Sapa seorang pria yang sedari tadi memperhatikan Petra itu.

Oh my God, how can? Vedrick!”

Keduanya terkekeh setelah Petra mengatur napasnya dan mengelus dadanya saat terkejut.

“Udah beli rotinya?” tanya Vederick sambil tersenyum simpul. Petra mengangguk sambil menunjukkan keranjang yang tengah ia tenteng.

“Okay, sekalian curhat di sini mau? Atau mau kemana?” tanya Vedrick saat keduanya berjalan beriringan menuju kasir. Petra tersenyum dan menggeleng, “Disini aja, sama ngemil nih haha.” Balasnya. Vedrick mengangguk tanda setuju.


So, what kind of things that you want to share?” tanya Vedrick sambil membuka satu botol cola dan bersandari di kursi di depan Petra. Keduanya memilih menikmati udara malam yang sejuk kala itu di depan minimarket itu.

I’ll married soon,” kata Petra sambil bersandar di kursi dan melipat tangannya di depan dada.

Okay, I know, fotografer handal dan ternama, sounds great,” Vedrick mengangkat kedua bahunya lalu mengangkat satu alisnya dan tersenyum smirk. Mungkin Vedrick kagum tapi dalam hati Petra kini hanya merasa berserakan dalam hatinya.

Thank you, but you have to know one thing,” kata Petra, Vedrick mencondongkan tubuhnya dan mendengarkan Petra dengan seksama sambill melahap satu potong kecil tiramisu cakenya.

“*Jovian baru aja mutusin pacarnya akhir-akhir ini, gue jadi ngerasa bersalah, you know, seems like gue rebut Jovian nggak sih?” kata Petra.

“Gimana ceritanya mau nikah tapi dia ada pacar?” nada Vedrick meninggi.

“Gue ataupun Lea juga nggak tahu pasti alasan Jovian apa. Kita sama-sama nggak tahu.” Kata Petra lesu.

“Dan kalian sama-sama terluka, right?”

“Vedrick...”

It’s hurt for both of you.”

“Gue nggak punya kuasa lebih buat minta penjelasan Jovian.” Vedrick hanya mengangguk sambil tersenyum yang membuat lesung pipinya nampak jelas, “I see, so... does it matter for you? Jovian’s reason yang nggak diketahui siapapun itu?” Petra mengangguk cepat, “Hell yeah, it matters.

But how if the reason ...” Vedrick diam sejenak,

“Vedrick!” Petra sedikit kesal dan mencubit lengan sahabatnya itu.

“Haha, okay, gimana kalau ternyata alasannya adalah alasan yang terbaik buat kalian. Buat lo sama Lea?” Petra mengernyitkan alisnya.

“Nggak mungkin, dia pasti cuma mikirin Lea.” Petra terkekeh setelahnya. Vedrick menatap gadis di depannya tajam tanda serius. Petra menghadap ke pelataran minimarket, “Bisa aja Jovian tahu perasaan lo yang lo simpen rapet sejak SMA?”

Petra yang tengah minum menjadi tersedak, dan langsung mengatur napasnya. “Lo, ngaco!” Petra menepuk-nepuk lengan Vedrick setelahnya. Pria di depan Petra itu hanya tersenyum dan sedikit terkikik.

“Pokoknya happy wedding! Doa gue semoga lo bahagia, lo harus bahagia!” kata Vedrick tersenyum sebelum menunduk sedikit sambil mengaduk minumannya sambil menghela napas.