Pisah Tanpa Kisah?

Seorang wanita siang itu tengah berada di halaman rumahnya, tangannya dan tubuhnya bergerak memindahkan pot-pot yang ada di sana, menata dan merapikannya dengan telaten. Sudah hampir satu minggu ini Petra berada di kediaman kedua orang tuanya mengingat perselisihan yang terjadi antara ia dan Jovian. Walaupun bibirnya tersenyum namun, tak bisa dipungkiri aura sedih terpancar dari dirinya. Hingga ia menyadari sebuah mobil berhenti di depan gerbang yang masih terbuka itu. Petra menegakkan badannya dan melihat ke arah sang pengemudi yang datang melangkah masuk. Mata Petra terbelalak melihat Jovian berjalan cepat menghampirinya. Sesegera mungkin Petra langsung berlari dan menutup pintu rumahnya.

“Petra!” Jovian mengetuk pintu rumah itu.

“Petra bukain pintunya!” pekik Jovian lagi, namun tidak dihiraukan Petra. Rasa hati Petra seakan tak bertuan lagi, sakit masih merajai hatinya yang rapuh. Setelah beberapa kali pekikan dari Jovian, akhirnya Petra membuka pintu itu, matanya menatap Jovian dengan nanar.

“Kenapa?” suara Petra datar.

“Ra, pulang, ya?”

“Nggak, kamu silahkan pulang sendiri!” Petra geram meninggikan suaranya.

“Aku butuh kamu, semuanya lagi nggak baik-baik aja.” Petra berkata dengan suaranya yang parau, Jovian terdiam melihat Petra yang sudah hampir menangis. Diraihnya jemari Petra namun wanita itu menepisnya pelan.

You think I’m in a good condition selama ini? Kam―”

“Please dengerin aku, sebentar.” Pinta Jovian.

“Kalau memang Lea yang ada di hidup kamu, go and get her, jangan bertahan sama aku. Cerai sekarang juga!” mendengar ucapan Petra itu, Jovian memegang kedua pundak wanita di depannya dan menundukkan kepalanya sedikit agar pandangannya sejajar dengan pandangan Petra. Jejak air mata terbentuk di wajah ayu Petra, sungai air mata itu mengalir deras tanpa henti, mata Petra sudah basah.

“Nggak gitu, waktu itu aku bener-bener nggak sadar, Ra. Please forgive me.” Namun Petra memaksa melepaskan tangan Jovian dari pundaknya,

“It is too hurt, really hurt. Jovian... aku capek.” Jovian tidak menjawab malah ia menarik Petra kedalam pelukannya.

“Lepas!“ ucapnya lirih. Jovian tidak melepasnya,

“Kali ini aku mohon kamu ngertiin aku, ya?” Jovian dengan suaranya yang memelan menghantarkan jarak yang membatasi tubuh keduanya namun kening mereka dibiarkan bertaut, Jovian memejamkan mata, sesaat kemudian ia memberanikan diri menatap Petra dan menjauhkan wajahnya sedikit.

“Gimana aku mau ngertiin kamu kalau kamu nggak pernah ngomong apa apa ke aku! Nama Lea, Jo yang keluar dari mulut kamu. That was our first time!” nada Petra sedikit meninggi, wanita itu melayangkan satu pukulan pelan di dada Jovian sebelum ia menangis terisak sambil meremas baju lelaki di depannya itu.

“Nangis aja, Ra nggak papa.”

“Sakit Jovian... sakit ...” Lelaki itu membiarkan Petra meluapkan seluruh perasaannya dan menumpahkan air matanya.

“Ra, mamaku koma.” Suara itu masuk di telinga Petra dan menghantarkan Petra mendongakkan kepalanya. Lidahnya kelu sesaat, tenggorokan Petra tercekat. Ia memandang wajah Jovian yang memerah dan mata yang mulai basah. Bola mata Petra membesar mendengar perkataan Jovian. Bagaimana bisa, dunia Jovian pasti sudah hancur lebur namun begitu juga dengan hatinya yang belum sembuh.

Betapa bodohnya sikapnya yang baru saja ia tunjukkan. Tanpa aba-aba, melihat Jovian yang mulai berkaca-kaca, Petra langsung menarik Jovian ke dalam pelukannya. Jovian menangis sejadi-jadinya dan memeluk Petra erat, sangat erat. Sekarang Jovian yang meluapkan semua kesedihannya. Mendung yang menggantung membawa rinai hujan turun saat itu. Ada sebuah cerita yang mudah untuk disampaikan, ada juga cerita yang harus disimpan untuk disampaikan. Petra dan Jovian sama-sama dihadapkan pada kehancuran saat ini, namun bagi Petra, dunia Jovian pasti sudah runtuh.

“Ra, maafin aku ...” tangis Jovian tak bisa dibendung. Petra tidak sanggup berkata, air mata tumpah ruah, hawa dingin menyeruak kalah dengan tangis yang berderu. Punggung Jovian bergetar hebat merapalkan kalimat yang sama. Ketangguhan keduanya teruji saat ini. Jika ada kata yang mengungkapkan perasaan yang lebih dari hancur itulah perasaan Jovian saat ini. Tak butuh kata-kata pereda, hanya butuh peluk dan sebuah dekap, sudah lebih dari cukup untuk menuangkan semua perasaannya. Hal-hal yang sudah digariskan juga bukan tanpa alasan. Rapalan pilu dari keduanya membuat Jovian dan Petra justru saling menguatkan, dalam luka yang sedalam palung.

“Ra, semuanya bertubi-tubi. Aku minta maaf, pulang ya, Ra? Aku butuh kamu di rumah.” Sang tuan memohon dalam pelukan Petra, perlahan Petra mulai mengesampingkan kesalahan yang Jovian buat, kini Jovian luruh ke lantai, memeluk kaki Petra. Dengan sigap Petra menahan tubuh pria di depannya, ia berlutut di hadapan Jovian dan memeluk tubuh yan bergetar karena tangis itu. Jovian adalah sebenar-benarnya seseorang yang bisa menenangkan dan menyenangkan dalam asa sebelum ada kehancuran dan perpisahan yang harus dihadapi.


Petra gelisah tatkala ia mengajak Jovian masuk ke rumah itu, Petra juga membuatkan secangkir minuman hangat untuk pria yang masih ia sematkan sebutan SUAMI itu. Jovian nampak hancur, namun hati Petra juga tidak kalah hancur. Jovian yang semula tertunduk, kini angkat bicara setelah menaruh cangkir dalam genggamannya di meja. “Petra..” Jovian menoleh lamat-lamat istrinya itu, Petra membuang pandangan enggan menatap Jovian.

Pria itu tidak siap untuk melewatkan malam-malam yang berbeda tanpa Petra dan entah mengapa ia tidak siap menghadapi hari dengan cerita baru tapi tidak ada Petra di dalamnya. Petra tidak menggubris namun Jovian menarik tangan Petra dan mendekapnya dalam peluk.

“Maafin aku, pulang, ya?” bisik Jovian lirih. Petra hanya menghela napas pelan dan panjang. Jovian merenggangkan rengkuhnya, merapikan rambut Petra dengan jemarinya, netra keduanya bertemu dalam satu titik tumpu, sembari Jovian menangkup pipi Petra.

“Aku maafin, tapi aku nggak lupa.” Jovian menangkup kedua pipi Petra lalu berkata, “Aku akan perbaiki semuanya, Ra ...”

“Apa? Yang mau diperbaiki itu apa?” Petra menggeleng, dan melepaskan tangan Jovian dari pipinya.

“Sifat dan perlakuanku,” kata Jovian, namun Petra terkekeh setelahnya.

“Nggak akan bisa, kamu belum mau.”

“Lima bulan lagi, aku masih bisa perbaiki semua.”

“Nggak perlu karena aku mau kit―” belum sempat Petra menyelesaikan kalimatnya, sepersekian detik kemudian Jovian malah mendaratkan kecup di bibir istrinya. Air mata mengalir dari ujung mata Petra yang bisa Jovian rasakan. Ciuman kala itu terasa menyakitkan dan menyayat hati. Setelah ini tugas besar Jovian menanti di depan―menyisihkan selisih dan memohon agar Petra kembali. Entah mengapa, Jovian ingin Petra kembali ke rumah mereka. Bahkan sebenarnya Jovian sudah membakar semua foto yang ada di ruangannya, fotonya bersama Lea. Entah apa yang menggerakkannya, ia mengganti semua dengan foto Petra yang ia ambil secara diam-diam.

Air mata mereka jatuh dalam rengkuh yang bersatu karena kekecewaan kepada masing-masing dari mereka berdua air mata kepedihan itu mengalir karena keadaan yang belum berpihak kepada mereka berdua. Perselisihan yang bukan murni dari keinginan hati mereka menjelma menjadi bentangan jarak antara mereka berdua. Petra juga sadar betul dengan Jovian selama ini ia menjalin hubungan tidak seindah cerita yang terukir seperti yang ada di bayangannya. Kini pagutan itu bertambah dalam bahkan tangan Petra sudah berada melingkar di pinggang Jovian. Tangan Jovian menekan tengkuk leher Petra dan satu tangannya lagi meraih pinggang wanita itu dan mengikis jarak diantara mereka. Jovian merasakan pipinya ikut basah, ia melumat bahkan menyapa bibir Petra dengan lidahnya yang membuat wanita itu membuka rongga mulutnya dan lidah Jovian berhasil menginvasi di dalam sana. Bergerak liar, cumbuan semakin menuntut hingga akhirnya Petra menjauhkan wajahnya, duduk menjauh dari Jovian dan menghapus air matanya dengan buru-buru.

“Petra...” cegah Jovian, namun Petra beranjak berdiri dan mengambil sesuatu di rak buku di ruang tamu itu dan mengambil sebuah map yang selanjutnya ia berikan kepada Jovian. Petra membanting map itu di depan Jovian. Pria itu bingung setengah mati, ia meraih map itu dan menatap Petra dengan tatapan bingung dan melanjutkan membaca isi map tersebut.

“Jovian, aku udah gugat kamu. Aku penggugatnya, aku mau cerai lebih cepat dari satu tahun yang kita sepakati.”