PLEASE BE STRONG

Hari ini adalah hari dimana operasi Letta dilakukan. Jevin masih setia menunggui Letta di ruang rawatnya sebelum melakukan operasi. Keduanya kini saling genggam tangan, Jevin yang duduk di sebelah Letta yang terbaring di tempat tidur tak henti memberikan guyonan kecil agar istrinya itu tidak terlalu takut.

“Lett, do you know the word LOVE?” tanya Jevin sambil menaruh punggung tangan yang ia genggam itu di pipinya. Letta mengernyit heran, “in a sudden? Haha,” tawanya.

“Jawab aja, ish.”

“Yas, I know.” Letta terkekeh kecil.

“The word Love start with ...?”

“L?”

“Yas, end with...?”

Letta memutar bola matanya, “E.”

“Salah, Lett,” kata Jevin.

“Kok salah?”

“End with you.” Jevin berhasil membuat rona merah di pipi istrinya itu. Letta terbahak dan Jevin tersenyum sambil mencium punggung tangan Letta. Sedikit tenang dalam hati Jevin melihat senyum istrinya kali ini, meski ia juga gugup Letta akan melakukan operasi hari ini.

“Tatakan gelas aku, semangat ya, semua bakalan baik-baik aja.” Jevin mengusap lembut punggung tangan Letta dengan ibu jarinya.

“Iya ganjel pintu, doain ya,” balasnya. Jevin terkekeh lalu mencium pipi Letta sejenak. Pandangan keduanya bertaut, tak ada suara yang menggema, hanya ada dua insan yang hatinya mungkin sedang saling berdesir untuk kali ini, Jevin mengerjapkan matanya lalu duduk di tempat tidur, Letta mengikuti Jevin dan bersandar di tubuh gagah suaminya itu, saling memeluk untuk sesaat nampaknya bukan hal buruk.

“Jev...” lirih Letta.

“Iya, sayang?”

“Kalau setelah operasi tetap nggak bisa punya anak, nggak papa, ya?”

Jevin mencium puncak kepala Letta, “In the name of God, biar yang terjadi kehendak Tuhan aja, manusia cuma bisa diagnosa dan berencana, semua ada di dalam kendali Tuhan. Yang penting kamu nggak sakit lagi, udah.”

“I love you, Jev.” Letta berbisik lirih. Maka pelukan keduanya kala itu membawa Jevin dan Letta saling mengucapkan doa bersama.


Beberapa jam terlewati, Jevin menunggu dengan cemas ditemani Lea, dan Jeremy. Saat dokter keluar dari ruang operasi, Jevin langsung bangkit berdiri dan menghampiri dokter itu guna menanyakan keadaan istrinya.

“Operasinya berjalan lancar, kistanya sudah diangkat.” Ucapan sang dokter dibubuhi senyuman tenang. Mengucap syukurlah Jevin dan kedua orang tuanya saat itu. Jevin langsung memeluk Mamanya, “Thank God semua lancar, Ma.” Ucapnya terharu. Jeremy yang ada di sebelahnya juga mengusap lembut punggung Jevin, “semua bakalan baik-baik aja, nak. Asalkan berserah, ya?” kata Jeremy. Jevin mengangguk dan tersenyum menatap Papanya itu.

Setelah menunggui Letta dan Jevin, saat hari mulai petang, Jeremy dan Lea pun berpamitan pulang. Mereka sudah memastikan anak dan menantunya dalam keadaan baik. Maka tinggallah hanya Jevin dan Letta di sana.

Jevin duduk di sebelah Letta lagi, mengusap pipi dan dahi istrinya. Letta yang terbaring menatap Jevin dan tersenyum, “makasih doanya,” kata Letta.

Jevin mengangguk, “setelah ini jangan takut tentang apa apa lagi, ya?” Maka kalimat Jevin dibalas dengan anggukan kepala Letta.

Jevin pun menunduk mendekatkan wajahnya ke wajah Letta, ia beranikan diti mengecup bibir istrinya itu sejenak. Tak ada bising yang menyeruak, bibir istrinya dilumat sejenak dan Jevin usap pipi Letta dengan ibu jarinya dengan lembut. Sejenak bertaut lalu cecapan dilepaskan, keduanya saling menatap dan teesenyum karena ponsel Jevin yang berdering.

“Ganggu aja, ah elah.” Jevin menggerutu.

“Haha, angkat dulu, telepon atau chat?” Tanya Letta. Jevin membuka ponselnya sebuah pesan dari Papanya terpampang di sana. Jevin kaget bukan main, matanya langsung memerah, ia panik bukan main.

Nak…Mevin kecelakaan pulang dari Singapore

Tak henti sampai disitu, pesan kedua masuk lagi ke ponsel Jevin. Bukan dari keluarganya melainkan nomor yang tidak ia kenal.

Jevin, aku di Indonesia. Aku mau ketemu kamu sebentar, bisa? -Stella