Please Stay, Grace

Grace selama ini menjadi wanita mandiri dan menangis adalah sebuah pantangan untuknya. Tapi setelah kejadian ia dijual oleh Ayahnya, tangis menjadi temannya, rasa sakit menjadi kawannya, kesepian adalah nama tengahnya. Ia tidak memiliki siapapun untuk berbagi. Tidak ada kakak ataupun adik, menjadi anak tunggal tidak selamanya indah. Kadang rasa sepi datang menghampiri dan entah harus berbagi kepada siapa, tidak ada telinga untuk membagikan kisah, ditambah disaat keadaan keluarga tidak baik. Seperti Grace saat ini.

Namun, hidup harus terus berjalan. Grace tidak memikirkan kebahagiaan, ia hanya memikirkan kesembuhan. Ia hanya ingin sembuh, hanya itu saja. Ia ingin dimanusiakan, tidak meminta hidup dalam kemewahan. Selama ini bahu Grace sudah sekuat baja dan hatinya setegar karang, apapun ia hadapi sendiri. Untuk mengeluh pun ia urungkan, karena tidak ada yang mau mendengar, kecuali Mevin dan kedua sahabatnya, James dan Aveline. Kali ini, Grace duduk bersandar di tembok dan memeluk kakinya yang terlipat itu sangat erat.

Grace yang tadinya pribadi yang ceria mulai diam-diam sering menangis sendiri di kamarnya. Ia harus menanggung semua beban sendiri. Kuat dan tawa bahagianya pun entah ia persembahkan untuk siapa. Entah ia harus membahagiakan siapa. Setiap anak memiliki bebannya sendiri-sendiri. Anak pertama, anak kedua, anak ketiga, anak keempat bahkan anak tunggal yang tidak memiliki siapapun untuk berbagi keluh kesah dan lelah.

Grace sudah sering mengenyampingkan ego demi kebahagiaan orang sekitar, bahkan demi orang tua yang menjual dan memperlakukannya tidak seperti manusia. Luka ia dipendam, susah untuk temukan seseorang untuk berbagi tawa serta luka. Tahun-tahun penuh luka itu entah kapan akan terbayar dengan tawa dan bahagia, namun Grace selalu mengingat perkataan Mama Mevin, bahwa Tuhan tidak menjawab semua doa kita, tapi Ia akan berikan hal yang kita butuhkan di waktu yang tepat.

Hidup ke depannya selalu menuntut lebih, menuntut lebih kuat, menuntut lebih tangguh dari sebelumnya. Grace lepaskan tangis yang sedari tadi ia tahan bahkan saat ia memeluk bantal dan gulingnya. Grace menangis dan langsung menuju ke kamar mandi, ia menangis ketika menyalakan shower dan membasahi tubuhnya yang masih terbalut pakaian di bawah aliran air itu. Yang Grace butuhkan saat ini hanya sebuah peluk dan telinga yang mau mendengar.

Perkataan Mamanya yang melabeli Grace adalah Anak tidak tahu diri, ungreatful daughter, memilih keluarga lain daripada keluarga sendiri, aib, durhaka dan lain sebagainya membuat Grace kembali merasa tertrigger oleh ucapan-ucapan Mamanya. Ia menangis bersandar di tembok kamar mandi, ia menangis keras-keras, ia merasa cemas, jantungnya kembali berdegup kencang, napasnya sesak, dadanya sakit, kaki dan tangannya gemetar.

ARRGHHHH!” teriaknya di kamar mandi itu.

“Mama jahat! Grace nggak minta dilahirkan! Grace nggak minta!!” teriaknya dengan frustrasi dan menghantamkan kepalanya ke tembok beberapa kali.

“Kenapa harus aku, ya Tuhan? Kenapa?!!” Grace mematikan shower, ia berjalan gontai keluar dari kamar mandi, Grace mengatur napasnya yang mulai tidak stabil, Grace menuju ke laci yang ada di kamarnya, kakinya terlalu gemetar, ia sampai terjatuh dan tersungkur. Kepalanya mulai terasa berputar, ia mencari obatnya, obat yang bisa menenangkannya, apa lagi kalau bukan Benzodiazepine.

Grace memejamkan matanya. bahkan ia menyeret dirinya sendiri karena sudah tidak sanggup berjalan, beberapa kali tersungkur karena licin akibat tubuhnya yang basah. Grace meraih laci yang ada di sebelah tempat tidurnya. Grace membuka dan langsung meraih obat yang ia cari. Grace langsung meneguknya beberapa butir, bukan satu butir seperti dosis yang ditentukan. Grace meneguknya dengan paksa. Ia memejamkan mata dan menjambak rambutnya sendiri, bersamaan dengan itu, bel apartemennya berbunyi beberapa kali, Grace tidak menghiraukannya lagi.

Saat Grace memejam, bayangan wajah Mamanya muncul dan membuatnya semakin ketakutan, dalam sadar maupun pejamnya, bayangan dan suara Mamanya jelas tergambar di pikirannya. Grace tidak bisa mengontrol dirinya, ia merasa dunianya berputar, tangannya dingin dan gemetar, kakinya pun sama. Sesuatu di dalam tubuhnya mengoyak perutnya, keringat mulai membasahi wajahnya. Ia ingin menjerit tapi tidak bisa, ia ingin berteriak sekeras-kerasnya tapi sangat sulit. Grace mulai merasakan matanya berkunang-kunang. Bel apartemen masih berbunyi, bahkan ia mendengar suara beberapa orang memanggil namanya.

“To ... long ....” Bahkan ucapan Grace nyaris tidak bisa terdengar, Grace menahan sakit di dalam tubuhnya dengan menggigit lengannya sendiri, ia mengeluarkan air mata dan dadanya semakin sesak. Dalam kesakitannya, ia hanya berteriak dalam hatinya, “ambil aku Tuhan, ambil aku ... ambil ....” Karena bahkan saat ia ada di titik terendahnya bahkan ia pergi selamanya sekalipun mungkin kedua orang tuanya tidak akan pernah peduli atau merasa kehilangan. Untuk apa juga ia dilahirkan, bahkan ia tidak pernah meminta dilahirkan jika hanya akan dijual oleh orang tuanya dan dianggap sampah serta aib. Grace mengatur napasnya, ia berusaha meraih gelas yang bertengger di atas nakas. Ia meraihnya tapi tangannya terlalu gemetar, ia menjatuhkan gelas itu ke lantai dan membuatnya jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping. Nyatanya suara pecahan gelas itu terdengar dan membuat beberapa orang yang ada di luar tadi menjadi mengetuk pintu apartemen Grace lagi dan meneriakkan nama Grace panik.

Grace berusaha beranjak dan bangkit, tapi kakinya malah menginjak pecahan kaca itu. Ia terjatuh lagi dan menangis, ia meringkuk, memegangi perutnya, rasa sakit di kakinya bercampur rasa perih di perutnya membuat Grace menangis sejadinya tapi tidak bisa bangkit lagi, ia berusaha meraih meja kecil di sebelahnya untuk tumpuan tapi yang terjadi meja kecil itu mengguling membuat beberapa barang dan figura yang ada di atasnya jatuh berserakan. Beberapa barang juga malah mengenai kepalanya. Grace semakin tersungkur, Grace semakin sesak dan memejam erat-erat saat sesuatu dari dalam tubuhnya terasa hendak keluar lagi.

Saat itu bersamaan dengan dua orang yang masuk karena mendobrak pintu apartemen Grace. Mevin dan Tela ada di sana! “Grace!” teriak Tela dan Mevin yang hampir bersamaan. Keduanya terkejut melihat Grace yang sudah tersungkur di lantai. Mevin yang berjalan dengan satu tongkat masih sedikit kesusahan dibantu Tela untuk langsung menghampiri Grace, bercak darah ada di lantai karena kaki Grace yang terkena pecahan kaca. Keringat dingin keluar dari tubuh Grace, Mevin langsung duduk di lantai, membuang tongkatnya ke sembarang arah lalu menyandarkan tubuh Grace di pangkuannya lagi. Ini kedua kalinya, Grace overdosis di pangkuan Mevin. Padahal Mevin datang kesini untuk memberi kejutan kepada Grace dan mengajaknya kembali menjalin hubungan meski diperantarai banyak kekurangan. Tela yang panik langsung menelfon ambulans. Tangan Mevin bergetar menyentuh permukaan wajah kekasihnya yang memucat itu.

“Grace, ini aku, Mevin. Ini aku―” kata Mevin parau. Grace sudah dalam keadaan kejang-kejang dan matanya memejam, tubuhnya didekap Mevin yang menangis. Tak peduli berapa kali Mevin bisikkan dan panggil nama Grace, kekasihnya itu tidak mendengarnya. Mevin hanya bisa menangis sambil memeluk tubuh kekasihnya itu. Untuk menggendong tubuh Grace ia sudah tidak bisa lagi, keterbatasannya mempengaruhi gerak tubuhnya dan kekuatannya. Tidak peduli cairan yang keluar dari mulut Grace membasahi baju Mevin, ia tetap jaga kekasihnya di dekapannya. Beberapa kali Tela mencoba menenangkan Mevin tapi pria itu menepisnya.

“Grace, jangan ... jangan, sayang ....” Mevin masih memeluk raga yang mengejang beberapa kali itu. Mevin rapuh dan menangis sejadinya, hatinya sakit, penuh sesak, hancur luruh seluruh melihat keadaan kekasihnya yang tengah ia dekap itu. Mevin sudah memimpikan memeluk Grace berbagi rengkuh dan rindu yang sudah ia racik penuh cinta. Pada kenyataannya yang ia dapatkan duka untuk kesekian kalinya. Satu malam yang lalu Mevin masih membayangkan raut wajah sumringah Grace jika ia ada di hadapannya. Mevin sudah memikirkan hendak memeluk Grace dengan perasaan rindu yang beradu. Tapi yang ia dapatkan hanyalah luka dan duka saat memeluk kekasihnya sekarang. Kedua kalinya Mevin mendapati Grace overdosis, rasa sakit dan sesaknya semakin menjadi lebih dari yang pertama kali. Dibungkam waktu, Mevin hanya bisa menangis dan memejam, setiap hela napasnya ia titipkan doa kepada Tuhan agar Grace masih bisa diselamatkan kali ini.


Semua hal yang terjadi sudah digariskan oleh Sang Empunya kehidupan. Segala hal yang terjadi pasti akan ada hulu yang dituju, hanya aliran yang kadang deras dan kadang tenang membuat kita kadang enggan melawan arus dan membiarkan diri kita tenggelam. Mevin masih berada di Rumah Sakit Mount Elizabeth di sebuah ruang rawat, Mevin menggenggam tangan kekasihnya itu. Grace masih terpejam, Mevin masih terjaga. Tela masih mencoba mencari Alicia untuk ia bawa ke sana. Sekarang, hanya ada Mevin dan Grace di sana.

Mevin mempertanyakan banyak hal, mengapa harus ia? Mengapa harus wanita yang ia cintai? Mengapa harus mereka berdua yang mendapatkan duka sebesar ini? Hati dan kekuatan keduanya tidak hanya retak tapi sudah roboh dan rapuh. Mevin kecup untuk beberapa saat punggung tangan kekasihnya itu.

I’m here, Grace.” Mevin merapalkan kalimat pilunya. Ia melihat lengan kekasihnya dimana masih ada bekas cakaran, entah itu sayatan atau cakaran, bekas gigitan yang menimbulkan bekas darah, sungguh Mevin tidak menyangka ia harus kembali melihat keadaan kekasihnya seperti ini lagi. Mevin masih belum mengerti mengapa semesta membuat kisahnya dan Grace seperti ini, yang ia tahu, ia mau sampai akhir dengan Grace. Ia mau selamanya, sampai akhir usia.

Ketidakmampuan dan keterbatasan Mevin saat ini kadang ia sesali juga. Harusnya ia ada di sana, harusnya ia tidak membiarkan Grace sendirian, harusnya ia datang lebih awal. Air mata Mevin tumpah ruah saat itu.

“Jaga Grace, ya Tuhan, kembalikan dia, aku mohon. We know that You create the world, take and pick your children up into your everlasting home, but for now, I pray to You for Grace, please safe her. Into your mighty hand we surrender all things, please God ... please―” Kalimat penuh harap Mevin sampaikan dalam pejamnya sambil menempelkan punggung tangan Grace di pipinya. Beberapa kali ponsel Mevin berbunyi, beberapa panggilan dari Mama dan Papanya ia abaikan. Mevin menyeka air matanya lalu mencium lagi punggung tangan Grace. Lama ia menangis di sana, perlahan jemari Grace mulai bergerak dalam genggamannya, Mevin membulatkan matanya.

“Grace?” ucapnya seakan tak percaya. Ia melihat Grace yang mulai mengerjapkan matanya, Mevin melihat Grace yang mulai sadar dan membuka matanya. “Grace ini aku,” kata Mevin.

Grace menoleh ke arah Mevin, perlahan ia mengerjap beberapa kali seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat, sang tuan pemilik hati ada di sana. Masih ada sepi dan duka yang disorotkan oleh binar mata Grace yang sayu, Grace seakan tak percaya, ia gerakkan perlahan jemari yang ada digenggaman Mevin, ia perlahan menyentuh pipi Mevin, tanpa pikir panjang, Mevin raih jemari Grace dan tempelkan di pipinya.

“Ini aku, Mevin, aku disini.”

“Mevin?” Suara lirih Grace membuat Mevin mengangguk cepat.

“Bukan mimpi?” tanya Grace lagi, Mevin menggeleng, Mevin pun bangkit dengan bantuan tongkatnya, ia mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah Grace.

“Bukan, sayang. Ini aku, maaf aku datang terlambat,” kata Mevin dengan mata yang berkaca-kaca. Grace menggeleng, ia langsung meneteskan air matanya saat itu juga. Mevin langsung memeluk kekasihnya itu. Awalnya hening hingga suara Grace menusuk telinga Mevin, “aku kira Tuhan minta aku pulang, aku dikasih kesempatan kedua, dan ada kamu disini. Ternyata, lagi dan lagi, belum waktunya pulang. Aku takut, Mevin, aku takut ....”

“Nggak perlu takut, aku disini, aku ada disini sama kamu sekarang.” Mevin tidak bisa bereaksi lagi, hatinya juga sakit mendengar penuturan Grace itu. Keduanya saling memeluk, dibalut luka dan elegi duka. Sajak yang mereka senandungkan menyayat hati satu sama lain. Harapan untuk hidup ke depannya lahir bersama air mata yang tercurah saat itu.

“Sakit, Mevin. Sakit .... takut ....” Suara Grace yang gemetar sukses membuat Mevin kehilangan kata-kata. Ia tidak bisa lagi mengucapkan apapun, hanya peluk yang bisa ia berikan, Grace terisak di pelukan Mevin, kerinduan dan kehancuran lebur jadi satu. Keduanya tidak bisa menolong diri mereka sendiri-sendiri, tapi keduanya bisa untuk meyakinkan bahwa keduanya akan tetap bersama seterusnya.

“Jangan takut, aku disini, aku temenin beberapa hari ke depan.” Mevin berkata sambil merenggangkan pelukan dan membelai surai panjang Grace dan menyeka air mata yang membasahi pipi kekasihnya itu.

“Kamu disini sebagai apa?” pertanyaan Grace membuat Mevin terhentak, mengingat terakhir kali memang hubungan mereka tidak bisa dikatakan sebagai sebuah hubungan kekasih, ajakan dan kesepakatan untuk break cukup menyiksa dan membuat keduanya bertanya-tanya.

Mevin genggam tangan Grace, ia melihat gelang yang ia berikan kepada Grace saat mengutarakan perasaannya dulu masih Grace kenakan di lengan yang penuh luka itu. Mevin tertunduk dan menyeka air matanya.

“Kamu nanya aku disini sebagai apa? Sebagai siapanya kamu?” tanya Mevin, Grace mengangguk ragu, tatapan mata Grace bak lautan luas yang selalu siap untuk Mevin selami.

“Aku disini sebagai Mevin. Mevinmu, yang sayang sama kamu, punya kamu, yang selalu nunggu pulang ke pelukan kamu. Maaf untuk semua yang udah aku lakuin, maaf udah ninggalin kamu, aku sadar kalau kita bareng saat-saat ini sama-sama sakit, ternyata berjalan masing-masing lebih sakit dari dugaanku. Jauh lebih sakit, sayang. Aku mau buang tembok pembatas antara kita, kalau memang sakit harus bersama, nggak papa, tapi aku bakalan pastikan kamu baik-baik aja. Sehancur itu aku tanpa kamu, dan sehancur itu aku lihat kamu rapuh. Maaf kalau aku terbatas dalam segala hal sekarang. I’m still yours, wanna be mine again?” kalimat bak mantra teduh dari Mevin sukses membuat dada Grace seakan dilepaskan dari belenggu. Air mata terharu dan anggukan dari Grace dibalas pelukan dan kecupan di dahi, pipi dan bibir Grace sesaat.

“Kita lewatin ini bareng, ya? Janji nggak kaya tadi lagi? Jangan, ya?” ucapan Mevin berhasil membuat Grace terisak sejadi-jadinya. Tuhan dan segala cara serta rencanaNya yang ajaib memang kadang tidak sampai di nalar manusia. Hujan air mata digantikan senyum bahagia. Sang tuan dan puan kembali merengkuh dalam dekap bersama. Keduanya kembali pada kata utuh. Mevin merenggangkan pelukan, ia dekatkan wajahnya dengan wajah Grace, Mevin satukan birai mereka berdua, lembut, hanya disatukan tanpa lumatan, pipi keduanya basah dan mereka sama-sama bisa merasakannya. Sakit dan bahagia menjadi satu, Mevin tangkup pipi Grace dengan satu tangannya lalu perlahan ia lumat bibir kekasihnya itu, sejenak namun penuh arti. Keduanya kembali memiliki satu sama lain. Atmosfer haru terasa pekat disana, keduanya kembali menjadi sepasang kekasih. Keduanya kembali saling memeluk walaupun dengan keadaan terpuruk. Waktu yang tepat memang Tuhan sediakan. Tak banyak yang bisa diucapkan karena sudah diwakili pelukan dan air mata yang tumpah ruah bersama. Saat pagutan direnggangkan, Mevin memegang lengan Grace dan mengecupnya di beberapa bagian yang terdapat luka.

“Jangan dilukain lagi, ya?” katanya.

“Jelek ya? Fisikku nggak sempurna, bagian manapun itu.”

“Kamu sempurna, kamu cantik. Grace cantik, punya Mevin. Kamu sempurna dan menyempurnakan aku.” Kalimat penutup dari Mevin memang sebenar-benarnya isi hati Mevin kepada kekasihnya itu.

Special untuk update malam ini narasinya agak panjang karena nggak nyangka bisa ada di tahap ini and thank you for 10k likes, still crying and sobbing, nggak percaya ada di sini sampai saat ini. 10k mungkin bagi sebagian orang nggak ada apa-apanya, but the process, my process to get 10k and to be here with you guys. Nggak gampang nulis cerita ini dan nggak gampang diterima masyarakat. Banyak yang masih menganggap tabu dll Terima kasih kalian sudah bertahan bahkan mempercayakan untuk berbagi kisah sama aku. Kisah Mevin dan Grace banyak yang nggak suka dan nggak bisa baca, karena nggak cocok, nggak kuat dan lain-lain. Terima kasih buat kalian yang masih mau baca sampai saat ini. Nemenin Grace dan Mevin sampai saat ini, kisah mereka belum berakhir, masih ada perjalanan dan babak baru. Semoga masih pada kuat, sampai end, sampai novel mereka bisa dipeluk bisa sampai di pelukan kalian. Peluk dan sayangku serta doa terbaikku selalu untuk kalian, grace di luaran sana atau Mevin di luaran sana yang senasib dan sepenanggungan. Kalian nggak sendiri, ada aku dan yang lain. Jangan putus asa, perjalanan kalian masih panjang. Aku mau kalian kuat sampai pada akhirnya, aku mau lihat kalian bahagia pada akhirnya, nikmati prosesnya, Tuhan nggak tidur, ingat, ya? Selalu baik kalian semua! with <3, Caroline