DI RUMAH OPA

Sudah sekitar setengah jam Yoel berada di rumah Opanya dan Omanya itu tapi belum juga anak lelaki itu menjawab pertanyaan Lea ataupun Jeremy mengapa ia nampak sedih. Pertanyaan lain di jawab, tapi tidak dengan pertanyaan, “Yoel kenapa sama orang rumah?” pasti Yoel langsung mengalihkan pembicaraan.

“Yoel mau makan nggak?” tanya Lea yang duduk di sofa tempat Yoel berbaring dan memainkan ponselnya, Yoel menatap Lea dan menggeleng.

“Mau ke timezone nggak?” timpal Jeremy yang sedang lewat membawa gelas hendak mengambil air.

“Mauuu!!” seru Yoel girang sambil mengangkat kedua tangannya.

“Tapi bulan depan, hehe,” tawa Jeremy sambil menuangkan air ke dalam gelas yang ia pegang. Yoel kembali mendengus kesal.

Lea pun mengusap kepala cucunya itu, menyisir rambut Yoel ke belakang dengan jarinya dan bertanya, “ini cucu oma kenapa sih mukanya ditekuk gitu? Bilang ke oma aja, nggak usah ke opa. Yoel kenapa?”

Sementara Jeremy pun mendekat ke sana duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa tempat Lea dan Yoel duduk. Jeremy menyandarkan tubuhnhya sambil memandang cucunya itu, sesekali Yoel menatap Jeremy dan Jeremy menggoda cucunya dengan meledek menaikkan alisnya sambil tersenyum smirk.

“Omaaa, itu opa ngeledekin Yoel.” Yoel mengadu kepada Lea.

Ishhh!” Lea melempar bantal ke arah Jeremy yang membuat Jeremy malah terkekeh.

“Yoel kenapa nak? Yoel ganteng kenapa ngambekan kayak Omanya, hm?” kata Jeremy yang membuat Letta semakin melotot menatap suaminya itu.

“Ampun baginda ratu, ampun!” balas Jeremy sambil mengatupkan kedua telapak tangannya dan menundukkan kepalanya seperti meminta ampun kepada Lea.

“Sebel aja, sebel dikit, segini sebelnya, envy exactly.” Yoel memosisikan jari telunjuk dan ibu jarinya menempel dan jarinya ia dekatkan ke depan matanya. Hal itu sedikit membuat Lea dan Jeremy terkekeh. Lea pun menarik lengan Yoel dan memintanya duduk di sebelahnya. Akhirnya Yoel duduk bersebelahan dengan Omanya itu dan Lea merangkul Yoel.

“Kenapa? Sebel kenapa? Envy sama siapa?” tanya Lea lembut.

“Udah punya cewek ya kamu? Envy karena cewek?” tanya Jeremy tiba-tiba.

Yoel menghela dan mengembuskan napas panjang dan memutar bola matanya, “bukan pacar, cemburu sama koko hehe.”

“Lah? Kenapa?” tanya Jeremy.

“Nggak cemburu yang gimana gimana sih, cuma tadi Papa upload foto berdua sama Ko Eugene terus captionnya manis banget, tapi Papa sama Koko bajunya hampir samaan gitu, Yoel nggak diajak. Nggak punya baju yang kayak gitu juga. Udah sih, itu aja, nggak penting kan, hehe.” Yoel berkata diakhiri senyumannya. Jeremy pun berpindah posisi di sebelah kiri Yoel, kini Yoel ditengah di antara Opa dan Omanya. Jeremy mencubit hidung Yoel pelan, “lucu amat cemburu sama kokonya sama papanya,” kata Jeremy.

“Ya Yoel belum pernah digituin,” kata Yoel cemberut.

“Haha, kemarin katanya Papa kembaran sepatu sama Yoel, kan? Yang jordan itu?” ujar Lea yang membuat Yoel memutar kembali memorinya.

“Minggu kemarin kan Yoel kesini sama Papa pake sepatu samaan, beli jordan samaan, kan? Koko dibeliin nggak? Enggak kan?” tanya Lea.

“Koko dibeliinnya sepatu basket, sih,” jawab Yoel.

“Nah itu, satu sama dong, kamu sama Papa kembaran jordan, Koko sama Papa kembaran baju, right?” Jeremy mengacak rambut Yoel pelan. Yoel mengangguk pelan, “iya sih, Opa.”

“Nah, nggak usah ngambek-ngambek.” Lea mencubit pelan pipi cucunya itu.

“Lupa kalau kemarin udah kembaran jordan sama Papa, hehe,” ujar Yoel sambil menggaruk kepalanya.

“Nggak perlu iri, nggak perlu kesel, setiap anak ada porsinya masing-masing. Status WhatsApp Papa kamu juga lebih banyak posting tingkah kamu daripada koko, jadi nggak papa kan kalau Papa upload foto sama koko? Hampir tiap hari itu muka kamu ada di story Papa kamu. Iya nggak?” kata Lea lagi yang membuat Yoel mengangguk.

“Iya, sih, Oma. Hehe… tadi cemburu dikit aja,” jawab Yoel sambil tersenyum lebar.

“Opa juga cemburu ah sama kamu,” ledek Jeremy. Yoel kembali memutar bola matanya lalu menyenggol lengan Opanya itu.

“Nggak usah cemburu cemburuan lagi, Papa sama Mama kamu tuh sayang sama semua anak-anaknya sama porsinya. Nggak ada yang lebih nggak ada yang kurang, Opa tahu gimana Papa sama Mama kamu mendidik kalian. Sifat setiap anak, karakter setiap anak, itu semua berbeda. Cara orang tua kamu menunjukkan bangganya mereka ke anak-anak juga beda. Eugene itu tipikal anak yang cuek kan kalau di rumah? Kalau kamu sama Icel cenderung lebih banyak aktifnya, Eugene nggak bisa yang diajak ngobrol terus dipuji di depannya atau di depan orang-orang gitu, jadi mungkin cara Papa kamu nunjukin bangganya ke Eugene ya begitu. Kalau Papa kamu banggain kamu di depan orang jangan ditanya, calon menpora yang bisa ranking satu kemarin waktu mid term, temen kantor kalau nanyain kamu diceritain semua tuh, gitu.” Perkataan Jeremy benar-benar membuat Yoel mengerti kalau cara orang tua menunjukkan rasa bangga terhadap setiap anak itu berbeda.

“Iya, ya, Opa…” Yoel mengangguk-angguk.

Saat ketiganya sedang lanjut mengobrol, tiba-tiba pintu rumah diketuk seseorang. Lea pun beranjak membukakan pintu sementara Jeremy dan Yoel masih di sana saling bercanda ringan. Tapi seseorang masuk bersama Lea, Yoel mengadahkan kepalanya melihat sosok yang datang, Papanya di sana.

“Papa?” Yoel kaget.

“Kenapa ngambek? Kata Opa mukanya ditekuk tadi?” tanya Jevin sambil duduk di sebelah Yoel.

“Tadi katanya cem⎯” Jeremy hendak berbicara tapi Yoel menatap Jeremy dan kontak mata yang dilakukan seakan memohon agar tidak mengatakannya.

“Nggak tau tuh, kalah mabar sama temen kali,” tukas Lea sambil menahan tawa.

“Mabar mulu, sekolah, cil.” Jevin berkata sambil mencubit pelan pipi Yoel, anaknya itu hanya meringis sambil terkekeh. Tapi, tiba-tiba Yoel memeluk Papanya itu sebentar, sepersekian detik lalu melepaskannya.

“Kenape nih, kenape nih? In a sudden banget?” ledek Jeremy.

Yoel menyandarkan kepalanya di pundak papanya itu lalu menjulurkan lidah ke arah Jeremy, “ayo opa kembaran jordan, hehe,” kata Yoel.

“Nggak ada beli jordan lagi buorroooss!” timpal Lea dari meja makan yang sedang membuatkan minum untuk Jevin.

Yoel, Jeremy dan Jevin tertawa setelahnya. Jevin merangkul anaknya itu, “kenapa tadi ngambek terus ngungsi kesini?” tanya Jevin berbisik. Yoel hanya menggeleng, Jeremy paham, ia pun beranjak dari sana meninggalkan Jevin dan Yoel agar bicara berdua.

“Ngambek ngungsi ke rumah Opa Oma adalah lagu wajib Christiano Yoel Geneva Adrian, ya?” ledek Jevin sambil menyandarkan tubuhnya di sofa diikuti Yoel.

“Pa,” panggil Yoel lirih sambil menoleh menatap Papanya itu.

“Apa? Minta duit?”

Yoel menggeleng, “Papa bangga nggak sama Yoel?” tanyanya.

Jevin sempat menatap heran anaknya ini, dan Jevin pun memberanikan diri menjawab, “bangga lah, udah bisa level up ke ranking satu, aktif ikut kegiatan sekolah, kepilih turnamen basket, ikut choir. Gimana papa nggak bangga sama kamu?”

Yoel tersenyum dan mengangguk, “makasih Papa,” katanya. Jevin pun merangkul anaknya itu setelahnya. Lea dan Jeremy yang melihat dari kejauhan pun saling berbisik betapa Jevin sangat berbeda saat masih remaja dan saat sudah berumah tangga. Jeremy dan Lea sangat bangga akan sikap anaknya itu. Meskipun tingkah Jevin di masa muda sangat membuat setiap orang mengelus dada dan meminta ampun kepada Tuhan, tapi perubahan sikap Jevin sekarang dan pola pikir Jevin serta bagaimana bijaknya Jevin sebagai seorang ayah memang patut diacungi jempol, Jeremy dan Lea bersyukur tiada terhingga. Senyum yang merekah di wajah Jeremy dan Lea adalah wujud kebanggaan orang tua terhadap anaknya juga, sama seperti senyum bangga Jevin kepada Yoel.