RAPUHNYA MEVIN

Denting jam selalu membawa Mevin mengingat Grace. Setiap ia membuka mata hanya ada bayang Grace yang terlintas di benaknya. Pada kenyataannya, Mevin berubah sikap menjadi dingin karena ia sendiri pun belum bisa menerima keadaan dirinya sekarang. Banyak kemungkinan yang susah untuk ditiadakan Mevin saat ini.

Bagaimana kalau Grace menjauh?

Bagaimana kalau Grace tidak bisa menerimanya?

Kalaupun Grace tetap tinggal, atas dasar cinta atau iba?

Bahkan jika Grace masih menerima Mevin, diri Mevin sendiri pun masih sulit menerima kenyataannya.

Sekarang Mevin paham bagaiamana rasanya menjadi Grace selama ini. Kali ini Mevin hanya duduk di ranjangnya bersandar pada headboard sambil memainkan ponselnya. Kembali memutar video kebersamaannya dengan Grace dan melihat beberapa foto mereka berdua. Mevin terbiasa memastikan Grace dalam keadaan baik, tapi kali ini ia tidak bisa memastikan itu, bahkan memastikan dirinya baik saja pun tidak bisa. Ia anggap keadaannya sekarang yang lumpuh adalah kekurangan dan sesuatu yang membuatnya malu. Bukankah wajar merasa seperti itu?

Kali ini Mevin kehilangan dirinya. Yang lebih menyedihkan dari tersiksa rindu dan lara di sekali waktu karena bentangan jarak yang membentang adalah keduanya tidak bisa saling mengetahui keadaan dan lara satu sama lain. Mengadakan segala pikiran yang semula tidak pernah ada, meniadakan suatu kepercayaan yang semula ada.

“Mevin...” Suara Jevin dari luar kamar Mevin membuyarkan lamunan Mevin.

Mevin mendengus kesal, rasanya ia tidak ingin bertemu siapapun, ia ingin menyendiri, entah sampai kapan. Jam makan ia abaikan, beberapa lecet di lengan dan sikunya juga tidak terhindar, karena kadang Mevin nekat menggerakkan dirinya dan membuat ia terjatuh hingga beberapa kali terluka. Untuk meminta tolong kepada anggota keluarganya ia enggan―malu dan merepotkan.

“Apa?” balas Mevin sedikit berteriak lalu menutup ponselnya dan menaruhnya di atas bantal.

“Kenapa lo kunci pintu?!”

“Biar nggak ada yang masuk!” Maka suara Jevin tidak terdengar lagi.

Sejenak berlalu, tapi kini yang terdengar adalah suara beberapa orang di depan pintu kamar Mevin, ia bingung tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Akhirnya pintu didobrak oleh Jeremy dan Jevin. Papa Mevin dan saudara kembar Mevin itu melihat Mevin yang nampak melayangkan tatapan malas kepada Papanya dan Jevin yang masuk ke sana kala itu.

“Makan dulu, ya? Belum makan dari siang, kan?” tanya Jeremy lembut.

“Nggak mau, nanti aja.” Mevin berkata dengan ketus.

“Mev, Mama udah masak buat lo. Ayo lah,” kata Jevin sambil mendorong kursi roda mendekat ke arah tempat tidur Mevin hingga kini kursi roda itu sudah ada tepat di sebelah Mevin.

BRAKKKK Mevin menghempaskan kursi roda itu dengan tangannya, Jevin dan Jeremy kaget melihat tingkah Mevin saat itu.

“Nak!” pekik Jeremy lalu membenarkan posisi kursi roda itu, sementara Jevin langsung mendekat ke arah Mevin, ia taruh tangan Mevin melingkar di leher dan pundaknya dan berniat ingin mengangkat tubuh saudara kembarnya itu, tapi Mevin malah memberontak melepaskan paksa tangannya dari Jevin.

“Lepasin gue nggak?!” sergah Mevin, hal itu diacuhkan Jevin. Ia masih berusaha mengangkat tubuh Mevin tapi Mevin sekali lagi berteriak, “LEPASIN GUE!” dengan napas yang memburu.

Jevin memejamkan mata sesaat dan mencoba mengatur napasnya sesaat, atmosfer di kamar itu terasa mencekam sesaat. Jeremy sudah tidak tahu harus mengatakan apa. Kini Jeremy meninggalkan kamar Mevin, meninggalkan kedua anak kembarnya disana.

“Keluar lo dari sini!” kata Mevin kepada Jevin. Tapi, Jevin masih disana berdiri mematung. Melihat Mevin sekarang, sangat hancur rasanya bagi Jevin. Sosok terkuat di keluarganya setelah Mama Lea kini rapuh bak diruntuhkan badai.

Ketabahan dan kesabaran Mevin gugur perlahan. Malam-malam setelah kejadian itu, setelah kelumpuhan Mevin adalah malam yang buruk bagi Mevin setiap harinya. Kini Mevin membuang pandangannya ke arah lain.

“Lo sama aja nyiksa diri sendiri dan orang-orang sekitar lo, keluarga lo!” Jevin menekankan kalimatnya.

“Gue nyiksa diri sendiri, bukan nyiksa keluarga.”

“TAPI KITA TERSIKSA LIHAT LO KAYA GINI!” Jevin berteriak nyaring yang membuat Mevin kaget dan membulatkan matanya, lalu Mevin mendengus dan terkekeh diatas kepedihan.

“Yang lumpuh gue, kalian nggak perlu tersiksa, gue yang tersiksa nggak bisa ngapa-ngapain.” Mevin masih berkata dengan ketus.

“Karena lo kaya gitu! Sikap lo itu yang bikin kita tersiksa! Lihat lo kaya gitu bikin kita tersiksa, lo nggak ngerti kan sesakit apa kita semua? Lo nggak pernah tahu kan seberapa Mama, Cici bahkan Letta nangis? Lo nggak pernah tahu gimana Papa batalin beberapa rencana bisnis ke luar kota cuma mau nemenin lo!”

“See? Gue kan nyusahin keluarga doang.” Mendengar perkataan Mevin itu, rahang Jevin mengeras ia tahan emosinya dengan kepalan tangannya. Ia mencoba mengatur napas karena ia paham betul bagaiamana posisi Mevin sekarang.

“Bukan gitu―”

“Keluar aja, Jev.” Mevin membuang pandangannya ke arah depan dengan tatapan kosong.

Jevin masih disana, berdiri mematung dan mengatur napas serta emosinya.

“GUE BILANG KELUAR, YA KELUAR!” pekik Mevin nyaring.

Jevin tidak bisa menahan emosinya lagi. Kini ia mengangkat tubuh Mevin sekuat tenaga, ia dudukkan Mevin di kursi roda dan mendorong Mevin keluar kamar menuju ruang tamu. Mevin terkejut disana ada Mamanya yang tengah menangis di pelukan Papanya. Lea tersedu dan terisak di pelukan Jeremy, tapi saat melihat Mevin dan Jevin, Lea buru-buru menghapus air matanya dan menegakkan posisi duduknya.

“Mevin maunya makan tapi disuapin Mama.” Jevin berbohong, saat itu juga Jevin beranjak meraih kunci mobilnya.

“Pa, Ma, Mev, pulang dulu ya.” Jevin mencium tangan kedua orang tuanya itu.

“Hati-hati, sayang, jangan ngebut.” Lea memeluk dan mencium kening anaknya itu. Jevin tersenyum lalu memeluk Jeremy sejenak. Mevin sedikit kesal dengan tindak nekat Jevin itu. Dan Jevin berlalu dari sana. Kini, Lea beranjak ke meja makan mengambilkan makanan untuk Mevin lalu kembali lagi ke sana. Jeremy duduk di sofa hanya memandangi Lea di sebelahnya yang dengan telaten dan sabar menyuapi Mevin.

“Udah, aja, Ma.” Mevin meminta Mamanya menghentikan suapan untuk dirinya.

“Baru tiga sendok, boy.” Jeremy mendekat memberikan gelas minuman kepada Mevin. Mevin menerimanya dan meneguk minuman itu sebelum Jeremy menaruh gelas di meja.

“Udah, Mevin nggak laper.”

“Mevin, anak Mama, lagi mau makan apa? Mama beliin sama Papa, ya?” Lea berlutut di depan Mevin sambil meraih tangan anaknya itu.

“Nggak mau apa-apa, Ma.”

“Atau kita mau keluar bertiga? Makan di luar mumpung jam segini?” tanya Jeremy sambil beranjak berdiri berniat ingin mengambil kunci mobil.

“Haha―” tawa Mevin menghentikan langkah Papanya itu.

“Mau ngajak anak yang nggak bisa jalan ini buat keluar? Cuma bikin repot aja,” kata Mevin sambil memundurkan kursi rodanya perlahan dan hendak masuk ke kamarnya. Lea yang tadinya hendak mendorong kursi roda Mevin itu juga menghentikan tindakannya karena Mevin sudah melayangkan tatapan tajam kepadanya.

“Mevin―” Lea menatap anaknya itu dengan mata berkaca-kaca.

“Jangan lihat Mevin kaya gitu, Ma. Mevin nggak mau dikasihani.”

“Mevin!” Jeremy berkata dengan nyaring. Mevin menghentikan pergerakannya.

“Siapa yang kasihan? Ini udah kewajiban Papa dan Mama rawat kamu, rawat anak Papa sama Mama.” Jeremy berkata dengan menahan amarah, ia kontrol dirinya sebisa mungkin.

“Maaf, Pa, Ma. Kalau Mevin jadi anak angkat yang bisanya ngerepotin Papa sama Mama aja.” Tanpa kata lagi, Mevin sudah mengerakkan kursi rodanya memasuki kamar dan menutup pintu kamarnya itu.

“Mevin!” panggil Jeremy dan hendak berjalan mengikuti Mevin tapi Lea menahannya.

“Jangan,” kata Lea sambil menangis. Jeremy yang melihat istrinya menangis itu langsung memeluk Lea erat. Membiarkan Lea menangis di pelukannya. Kalimat Mevin tadi benar-benar membuat Lea tersentuh, sedikit pilu.

“Aku sedih denger kata-kata Mevin, label anak angkat masih dia ingat disaat seperti ini, buatku, Jer―Lauren, Jevin dan Mevin itu sama-sama anakku. Aku paham posisi dan keadaan Mevin, tapi kalau dia ingat hal itu terus, bukannya itu juga nyiksa dia? Bahkan dia yang paling tersiksa dan ngerasa sakit, kan? Anak itu terlalu banyak nahan sakit bahkan sejak dia lahir.” Kalimat Lea nyatanya membuat Jeremy meneteskan air mata juga saat itu. Jeremy tidak bisa mengatakan apapun selain hanya bisa memberikan tepuakan dan kecupan penenang bagi Lea.

Everything gonna be okay, doain Mevin, ya?” bisik Jeremy saat itu, Lea mengangguk dan membenamkan wajah di pelukan Jeremy serta menumpahkan segala tangisannya disana. Sebenarnya Mevin masih ada di balik pintu kamarnya, ia mendengar suara Mamanya yang menangis terisak. Hal itu membuat Mevin yang tengah memegang figura fotonya bersama Papa Mamanya itu juga meneteskan air mata.

Lahir bukan dari rahim Lea nyatanya juga tidak membuat Mevin diperlakukan berbeda. Mevin merasa sesak di dadanya. Ia merasa sakit, ternyata keluarganya juga, belum lagi pikiran tentang penerimaan Grace terhadapnya yang masih ia sembunyikan rapat-rapat. Semua berkecamuk.

“Kenapa, Tuhan.... Kenapa aku?” isak Mevin perlahan. Ia tertunduk dan memejamkan matanya. Belum juga ia jumpai sebuah jawab atau sebuah titik terang, semua terasa gelap dan kalut. Mevin hancur, menerima dirinya sendiri saja tidak bisa, Mevin yang kuat kini ada di titik terlemahnya. Rapuh. Kehilangan dirinya.