Repeat again, please?
Jovian adalah lelaki yang tidak tahu menahu bagaimana rasanya memiliki seorang Petra. Begitu juga dengan Petra tidak tahu rasanya diperhatikan oleh seseorang yang memperlakukannya bak putri, ia ingin diperlakukan seperti itu oleh Jovian. Kerinduan Jovian akan celotehan Petra benar-benar menghinggapinya sekarang. Relung hatinya kosong setelah ia kehilangan Mamanya dan saat ini ia masih menunggu hasil keputusan sidang perceraiannya dengan Petra. Tidak bisa dipungkiri, ada rindu yang menyapa. Kebersamaan keduanya yang sempat terasa hangat, rindu yang menggebu dapat dengan mudah diwujudkan dalam sebuah temu. Jovian benar-benar merasa setengah waras saat ini, harusnya ia hirup lebih lama aroma tubuh Petra, harusnya ia dekap Petra lebih lama kala mereka berdua.
Keduanya bersepakat mengakhiri cerita dan berpisah menjadi masing-masing aksara yang berdiri sendiri. Ada yang pernah hilang namun ada lagi yang datang, ada yang menghempaskan ada yang menyambut dengan penu kasih sayang. Ada yang mencoba dipertahankan namun akan tetap dihempaskan. Bukankah kehidupan selalu seperti itu? Cinta bukan hanya saat merelakan pergi yang selalu menyakiti, semakin banyak menemui kehilangan dan penyesalan, Jovian tidak lagi bisa merasakan cinta yang sesungguhnya. Untuk rindu yang terselip Jovian titipkan dalam rapalan doa. Satu minggu setelah kepergian Mamanya, ia belum bertemu dengan Petra.
Terlebih keduanya sudah berpisah tidak dalam satu naungan atap lagi. Cinta bukan hanya sekedar perihal memberi bunga tanpa disadari bunga yang diberikan adalah mawar berduri. Pada malam ini Jovian hanya terduduk di ruangannya, ruangan yang awalnya tidak boleh dimasuki siapapun. Fotonya dan Lea sudah dibakar habis, kini tinggal foto dirinya dan Petra disana. Bahkan banyak foto-foto Petra seorang diri yang Jovian ambil secara diam-diam. Jovian ditemani beberapa botol alkohol, beberapa bungkus rokok yang sudah ia habiskan hari ini. Lebih dari tiga bungkus mungkin, ia tidak makan, hanya merutuki dirinya sendiri. tak henti menyalahkan dirinya dan membenci keadaan, menangis? Tentu. Matanya memerah dan sembab, tubuhnya lemas. Beberapa kali Jovian muntah namun tidak menghentikannya untuk tetap meminum beberapa botol alkohol lagi, ia mengunci rumahnya tidak membiarkan siapapun masuk kesana. Beberapa gelas kaca dan pecahannya ada di dekat Jovian, berserakan. Bahkan beberapa pecahan kaca itu sudah mendarat juga di kulit lengan tangannya.
Malam itu Jovian pikir ia akan menyusul Mamanya, ia sudah menorehkan goresan luka di lengannya sendiri. Amarahnya terjejal di rinai yang mengalir di pipinya. Namun tiba-tiba Jovian mendengar suara pintu yang terbuka. Ia tidak beranjak karena ia berpikir mungkin itu hanya halusinasinya saja. Hingga ia tersentak kaget mendengar suara nyaring yang menembus telinganya.
“Jovian!” Seorang wanita berdiri di ambang pintu dengan tatapan nanar. Sungguh? Bukan bayangan? Wanita itu berjalan perlahan menghampiri Jovian, perlahan berlutut dan meraih tangan Jovian, botol alkohol yang Jovian genggam diambilnya dan dibuang ke sembarang arah hingga terdengar bunyi nyaring pecahannya.
“Jov, kenapa kaya gini sih?” kata Petra perlahan. Iya, Petra disana.
“Petra, ini kamu?” tanya Jovian lirih.
“Jov, nggak gini caranya. Kamu jang―” belum usai Petra dengan kalimatnya, Jovian langsung mendekap wanita di depannya.
“Ra, kamu pulang? Kamu beneran pulang, Ra? Kita nggak jadi pisah? Aku bakalan bilang sama Mama kita nggak akan pisah!” dalam pelukan Jovian, Petra hanya bisa meneteskan air mata sambil membalas pelukan itu.
“Jov...”
“Makasih kamu udah dateng, Ra. Makasih, Ra...”
Tak ada yang bisa Petra jabarkan saat itu. Perlahan Petra merasakan Jovian mulai melemah dan kehilangan kesadarannya.
“Jovian!” ia berteriak panik.
Petra duduk di sebelah Jovian yang terbaring di ranjang, ia membasuh wajah dan tangan Jovian dengan air hangat. Hingga pandangan Petra terarah kepada goresan luka di lengan Jovian. Malam ini Petra biarkan dirinya datang ke rumah ini lagi karena kekhawatirannya terhadap keadaan Jovian. Rindu itu selalu menyelinap ke hati Petra, ia tidak bisa membendungnya. Namun luka masih tertenun apik di puncak hati dan perasaannya oleh karena Jovian. Hatinya memang pedih, tapi lebih pedih lagi melihat keadaan Jovian seperti sekarang.
Akhirnya Petra perlahan melonggarkan kancing baju Jovian. Namun, tangan Jovian malah sigap menggenggam tangan wanita itu, lalu menariknya mendekat membuat jarak wajah antara keduanya terkikis, napas Jovian yang berembus dapat Petra rasakan dengan jelas serta bau alkohol yang menyengat. Mata Jovian terbuka, mata yang memerah itu menatap Petra dengan sayu. “Kamu pulang? Disini aja ya? Jangan pergi.” Jovian berkata dengan suara beratnya.
“Jov.” Petra menjauhkan tubuhnya.
“Can you just stay here? Ra, aku kosong, hampa tanpa siapa-siapa. Aku bener-bener sendiri, Ra.”
“Kamu yang nggak pernah memperbolehkan aku masuk, akhirnya kamu tetap dengan kekosongan itu sampai sekarang.” Balas Petra sambil melepaskan genggaman tangan Jovia.
“Aku butuh kamu, aku butuh kamu...” kata Jovian sambil berusaha duduk,
“Apa? Butuh aku buat apa?” tanya Petra ketus.
“Aku mau kamu disini,” balas Jovian dengan tatapan nanar. Lalu ia menarik tangan Petra dan memeluknya.
“I know it’s too late but I need you.”
“You just need me, kamu bukan cinta sama aku.” Petra merenggangkan rengkuh, Jovian menangkup pipi Petra dan menatapnya dengan mata yang mulai panas sambil mengangkat satu alisnya.
“I’ll try!!” suara Jovian meninggi membuat Petra memejam dan hampir menangis.
“Jangan kaya gini, Jov. Jangan nyakitin diri kamu sendiri.” Petra tertunduk, ia terisak disana.
“Aku nggak pernah dapet kebahagiaan. Semuanya pergi, aku sendiri. pada akhirnya aku sendiri!” Jovian berkata dengan nada tinggi.
“Kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang minta aku stay? Kenapa dari kemarin nggak peduli? Kamu harusnya sad―” seketika itu juga, Jovian menarik pinggang Petra mendekat, satu tangannya menarik tengkuk leher Petra dan membungkam bibir Petra dengan bibirnya. Jovian menggunakan lidahnya untuk menyapu bibir Petra. Wanita itu belum membalasnya, Petra masih melipat bibirnya, tak mau memberi balasan. Bahkan ia memberontak namun tak kunjung dilepas oleh Jovian. Bau alkohol dan rokok tercium dari jarak dekat saat Petra menyatukan birai dengan Jovian.
Namun Petra kembali memberontak, ia mendorong tubuh Jovian menjauh dan menghempaskannya ke ranjang. Petra beranjak dari sana dengan langkah cepat namun, lagi dan lagi Jovian menarik pergelangan tangan Petra, membuat Petra dalam dekapannya dalam sedetik dan melumat bibir Petra lagi. Jovian benar-benar menunggu kedatangan sang puan, tidak semudah itu ia biarkan hadirnya Petra pergi dan berlalu begitu saja.
“Jovian!!” Petra sekali lagi menjauhkan tubuhnya namun tangan Jovian masih melingkar di pinggangnya.
“Aku datang kesini karena kamu terluka, kamu masih berduka. Bukan karena apa-apa. Sekarang lepasin aku!”
“Sebegitu nyakitinnya aku selama ini ya? Ra, maaf kalau aku Cuma bisa kasih luka, bahkan waktu peluk kamu, pasti rasanya sakit ya, Ra?” seketika mendengar ucapan Jovian itu Petra tersedu saat itu juga. Tak habis pikir dengan satu kalimat yang amat menusuk hatinya, tapi memang benar adanya.
Petra terduduk di ranjang, menangis terisak perlahan berangsur mengeras. Bahkan Jovian juga menyadari bahwa selama ini hanya luka yang diberikan. Sikap Jovian benar-benar berbeda hari ini. Jovian mengulur harap yang nyata. Namun hanya menimbulkan ragu lain dalam hati Petra. Kini tangan Jovian menarik dagu Petra lalu kembali menyatukan birai dengan wanita yang masih menangis itu. Namun kini, Petra melingkarkan tangan di tubuh Jovian juga. Jovian tak berhenti disana ia menekan tengkuk leher Petra lidahnya bergerak lembut yang akhirnya membuat Petra membalas ciuman itu, saat rongga dibiarkan terbuka, lidah Jovian melesat masuk menginvasi setiap inci bagian dalam rongga mulut Petra dan menautkan lidahnya disana membiarkan keduanya bertukar saliva dan saling membalasnya. Keduanya saling memainkan lidah dengan lihai tak hanya saliva yang ditukar mungkin juga isi perasaan.
Petra mulai hanyut begitu juga dengan Jovian yang mungkin masih terpengaruh alkohol, bibir mereka masih dibiarkan bertaut. Jovian menuntun dan mulai menidurkan Petra lagi di ranjang. Dengan lembut, dan dengan pancara mata yang sepenuhnya mengisyaratkan duka, pandangan Petra dan Jovian beradu. Keduanya sama-sama menitikan air mata.
“Aku terlambat ya, Ra? Nggak mungkin ada kesempatan buat aku?” tanya Jovian yang kini mengukung tubuh Petra di bawahnya.
“Mau kamu apa, sih?”
“Saat ini aku mau... kamu.”
Kokohnya hati Petra saat itu lebur juga, Jovian menahan beban tubuhnya dengan kedua siku dan lengan yang menjadi tumpuannya. Ia kembali menyatukan kedua belah bibirnya dengan bibir Petra. Perlahan ia rasakan tangan Petra melingkar di lehernya. Jovian langsung melesatkan lidahnya lagi guna menginvasi rongga mulut Petra. Lumatan dan pagutan berlangsung mesra―dan menyakitkan. Saat ciuman keduanya mulai saling menuntut lebih, perlahan tangan Jovian mulai melucuti semua yang menempel di tubuh Petra. Teringat Jelas di benak Petra saat ia melakukan itu pertama kali dengan Jovian. Nama Lea yang ia dengar, bukan namanya.
Apakah hari ini akan berakhir sama? Jovian mengukung tubuh Petra dibawah kendalinya, segala yang menempel di tubuhnya juga ia lucuti dengan bantuan tangan Petra yang bergerak secara sensual. Keduanya sudah ada dalam keadaan naked sekarang. Jovian belum melepaskan pagutan, Petra menjelma bak juwita malam dengan segala keindahannya dan luka yang setia menemaninya. Kenangan kala bersama lewat di benaknya beriringan dengan lumatan yang Jovian berikan. Selama ini rasanya tak berbalas, ia sibuk berjuang dan Jovian sibuk menghempaskan.
Pada menit selanjutnya sisi liar keduanya menyala saat cumbu dipagut lebih dalam oleh sang tuan yang memeluknya dan saat jemari Jovian menjalari seluruh bagian tubuh Petra, mereka pernah melewati masa yang mereka sebut indah walau hanya sesaat. Kini, jemari Jovian bergerak menuju pusat tubuh sang puan dan bermain disana. Sapaan lembut pertama untuk beberapa detik Jovian berikan, gerakan membuka lipatan lembab di bawah sana, hingga gerakan menekan yang ia berikan membuat Petra melenguh dan membusungkan dadanya sesaat.
“Ngh―Jovian, ahh...” lenguhnya hingga saat jari panjangnya ia biarkan melesat masuk dan memberikan gerakan memutar dan menekan clit milik Petra, lenguhan selanjutnya tidak bisa ditahan lagi.
“Ngh, Jovian.” Petra menggeliat kala bagian pusat tubuhnya disapa oleh jari Jovian yang memberikan banyak gerakan di bawah sana, Petra luluh seluruh. Bagian yang menjadi titik tumpu dan menyalanya sisi lain dari Petra berhasil dikuasai Jovian saat ini. Membuat Petra sedikit menggeliat, dan melenguh walau diatas hati yang rapuh. Kepala Petra sedikit mendongak saat pergerakan jemari Jovian dibawah sana semakin liar.
“Can you say my name? Again, please?.” Jovian berbisik dalam lirih. Tidak ada perlawanan dan penolakan.
“Jovian, mhh...”
Kini tubuh keduanya saling bersentuhan dan bergesekan menambah gelenyar nikmat yang memabukkan bagi keduanya. Jovian masih terus mencumbu bibir Petra, bahkan Petra juga memagutnya semakin dalam membiarkan lidahnya bertaut dan beradu. Membiarkan gigitan kecil Jovian berikan kepada Petra lewat penyatuan dua belah birai yang sudah lama tak bertemu itu. Jovian yang masih mabuk bertambah kepayang, sesekali memandang wajah Petra yang memejam di bawah kendalinya.
“I miss you,” batinnya. Kini Jari panjang Jovian kembali masuk dan melesat masuk serta mengobrak abrik milik Petra di bawah sana dengan gerakan cepat. Membuat sang puan kewalahan. Nama Jovian nyaring terdengar bak candu dalam setiap lenguhannya. Kepala Petra yang mendongak diambil Jovian untuk mengecup dan mencumbu mesra bagian leher sang puan. Bibir dan lidahnya lihai menjalari bagian leher Petra memanjakan dengan sentuhan sutra membuat sang puan seakan terbang ke awan-awan. Tangan Jovian yang satu lagi bergerilya memainkan payudara sang puan, gundukan kenyal dibiarkan Petra untuk dikuasai tangan gagah Jovian yang memanjakan dengan pijatan dan rematan lembut yang bisa membuatnya semakin sukarela dikuasai pria yang tengah bersamanya.
Kali ini kedua tangan Jovian menjalankan tugasnya masing-masing dan lidah serta bibirnya memanjakan sang puan dengan sentuhan sensual yang ia buat. Dikecup dan sedikit dihisapnya bagian leher dan berpindah ke puncak payudara membuat sang empu merasakan gelenyar dalam dirinya sedari tadi. Petra terpejam namun mengalir butir kristal dari mata wanita cantik itu. Sela rambut Jovian setelahnya menjadi media bagi Petra menyalurkan nikmat yang perlahan mulai ia rasakan, tak butuh waktu lama. Balasan lembut pagutan berangsur brutal untuk sang puan diberikan Jovian di detik selanjutnya, pagutan dan lumatan serta sapaan lembut di birai Petra dengan lidahnya yang lihai membuat Petra membuka mulutnya memberikan akses kepada Jovian untuk melakukan lebih.
Jovian kembali beraksi, Jovian mengukung tubuh Petra dan menyentuh lembut pipi Petra. Memberikan tatapan syahdu pengantar sembilu yang menyatu dengan tatapan sendunya, ia tahu tatapan dengan penuh harap agar sang puan tetap tinggal itu tidak akan terbalas, tanpa ada kata terucap hanya dua netra beradu dalam satu titik temu. Saling bertukar pilu dalam bulir air mata yang sempat jatuh.
“Jangan cerai, kita mulai dari awal, mau?” Jovian menawarkan suatu hal yang mustahil dikabulkan oleh Petra.
Petra hanya tersenyum diatas air matanya dan menggeleng, “Kosong, Ra. Bener-bener kosong.” Jovian membelai wajah Petra. Mata Petra berkaca-kaca saat menatap sang tuan dimana keduanya sempat menyematkan sebutan kepemilikan untuk satu sama lain. Jemari Jovianmentuh menyapu lembut bilah birai Petra lembut memberikan sapaan setelah lama tidak menjamah. Petra tersenyum dan menangkup pipi Jovian, dirapikannya rambut sang tuan dengan jemarinya.
“Kamu nggak seharusnya jadi seberantakan ini, aku hanya mengimbangi sikap kamu selama ini. Dan aku udah ada di puncaknya, Jovian.” Mungkin kalimat itu Petra rapalkan dengan berat hati karena sebenarnya masih ada waktu lima bulan yang tersisa namun ia tidak mau harga diri dan dirinya sendiri terluka.
“Sejahat itu ternyata aku buat kamu, ya?” tanya Jovian lagi dengan lirih. Petra membuang pandangannya ke samping. Jovian paham bahwa bukan sekarang saat yang tepat untuk menanyakan hal ini kepada Petra. “Sorry, jangan dijawab, sayang.” Petra mengembalikan pandangannya kepada Jovian.
“Apa kamu bilang?”
“Sayang.”
“Apa?”
“Jangan dijawab, sayang.” Pria itu tersenyum lalu mendaratkan kecup dan mulai memagut mesra bibir sang puan. Lumatan lembut perlahan brutal beradu dengan lidah yang saling berpadu di dalam rongga mulut dibarengi dengan gigitan kecil yang mereka berikan satu sama lain. Jovian tak henti mencium dan memainkan bibir Petra dengan bibirnya. Bertukar saliva satu sama lain, tangan Petra tidak bisa ia gerakkan karena Jovian menguncinya diatas sana. Petra masih tidak menyangka untuk pertama kalinya kata SAYANG keluar dari mulut pria itu. Hatinya berdesir tidak beraturan. Sungguh. Petra tak ingin beranjak rasanya. Selama ini Petra bak dihinggapi langit mendung saja, termangu meratapi diri. namun belakangan ini Jovian sibuk meminta dan memohon, bukankah itu terlambat?
“Jov mhh,” satu lenguhan lolos dari Petra. Jovian melepaskan pagutannya, ia berbisik di telinga Petra, “Aku sadar dengan ucapanku tadi. Asal kamu tahu, Ra.” Katanya berbisik di telinga Petra sebelum ia memainkan lidah dan bibirnya di bagian leher dan telinga Petra dengan seduktif. Menjilat bagian telinga Petra dan bagian belakangnya yang membuat sisi liar Petra menyala. Wanita dibawah kendali Jovian menggeliat saat lidah Jovian bermain di sela lehernya untuk menghisap dan menggigit sedikit walaupun tanpa meninggalkan bekas disana. Suasana panas, dan bergairah melingkupi keduanya, meraja di hati dan tubuh keduanya. Kini kegiatan itu berlangsung tanpa paksaan sama sekali.
Cumbuan dari Jovian turun ke setiap inchi tubuh Petra, “Jovian ahh,” Petra mendesah dan membusungkan badannya, tangan Petra meremas sprei yang ada disana menahan nikmat yang tidak bisa ia tahan lagi. Pusat tubuh Petra kembali mendapat jamahan yang semakin dalam dari Jovian. Petra langsung meraih rahang Jovian dan menariknya memagutnya dengan sensual, keduanya berbalas rasa.
Seluruh bagian bibir Petra dicecap dan dijamah oleh bibir Jovian hingga kini payudara Petra juga menjadi tempat yang didiami bibir Jovian untuk bermukim. Ada rasa haru yang mencuat di benak Petra, ada rasa tidak ingin kehilangan yang tiba-tiba hadir menghinggapi hati Jovian. Dan mungkin kebersamaan keduanya cukup menunjukkan bagaimana mereka tidak ingin kehilangan satu sama lain sebenarnya.
Sudah lama terhitung sejak pertama mereka melakukan ini pertama kali setelah pernikahan, kini leher dicecap, dada dijajah, payudara dipilin lalu dihisap dan diremas bergantian oleh Jovian. Pria itu menggunakan satu tangannya untuk memilin payudara sebelah Petra yang belum ia cecap dan satu tangannya ia gunakan untuk membelai dan memberikan sentuhan sensual di tubuh Petra hingga wanita itu menggeliat dibuatnya. Lidah Jovian juga tidak kalah diam, dibiarkan lidahnya menjilati bagian payudara Petra dengan rata, puncak payudara dijilat dan dimainkan dengan lihai tanpa henti. Kadang Petra juga memeluk erat kepala Jovian meminta sang tuan memperdalam dan merajainya. Gerakan lidah naik turun dan memutar, puncak payudara Petra diperlakukan begitu hati-hati oleh Jovian, lembut dan mesrra.
“Mmhh—Jov, again... I want it again,”
Tangan Petra menarik tubuh Jovian semakin dekat dengannya hingga payudaranya menempel dengan dada Jovian. Sang tuan menyentuh bagian paha Petra dengan sentuhan menggelikan dan memancing nafsu. Tubuh Petra menggelinjang kala bibir mereka bersatu Jovian menciumnya dengan sedikit lebih bernafsu dan dua jari Jovian berhasil memasuki pusat tubuh Petra dan bergerak liar dibawah sana lagi. Petra meracau tak henti mendesahkan nama Jovian. Petra menggelinjang kala ia merasakan perih dan satu kenikmatan saat Jovian melakukannya dengan cepat lalu menambah satu jari lagi untuk dimainkan di pusat tubuhnya dan memainkan clitnya. Petra menggigit bibirnya dan mengernyitkan keningnya menahan sensasi yang sudah lama tidak ia rasakan itu. Jovian meredamnya dengan kecupan bertubi tubi di pipi dan kening Petra kadang membuat sang puan merasa lebih nyaman.
“Jovian ahh,” Wanita itu mengerang dan mencengkram bahu Jovem ysesekali. Jovian melepaskan jarinya dari pusat tubuh Petra. Ia mulai mencumbu pusat tubuh Petra, lidah dan bibir ia mainkan disana, gerakan menusuk dan naik turun lihai Jovian berikan di bagian sensitive Petra. Ingin Petra ungkap pilu dalam hatinya yang sudah membiru namun terlalu terbuai dengan cumbu yang Jovian berikan. Peluh mulai membasahi keduanya. Mereka melakukan ini tanpa paksaan dan dalam kesadaran penuh. Membagi rasa dan rindu yang saling beradu karena sudah lama terpisah. Bagaimana mungkin yang pernah berbagi ranjang menjadi musuh yang saling berperang? “Mhh, Jov, ahh,” desahan dan lenguhan Petra menjadi pemandangan yang indah bagi Jovian. Badan yang menggelinjang, kepala yang mendongak, mata yang terpejam membuat Jovian juga mabuk kepayang. Sungguh, ia ingin meraja dan memiliki wanita dibawah kendalinya ini tanpa terlewat satu detik pun.
Jovian yang mengukung Petra pun semakin hanyut dalam permainan yang ia buat. Petra mengalungkan tangannya di leher Jovian.
“Ahh,” desahan lolos lagi dari mulut Petra membuat Jovian semakin bergairah. Jari Jovian masih sibuk bermain dibawah sana dan ia melepaskan pagutannya untuk melihat pemandangan paras ayu Petra dibawah kendalinya.
Kini dirasa pusat tubuh Petra telah siap, Jovian menghentikan gerakan jarinya disana. Kini bagian dari pusat tubuh Petra diisi oleh milik Jovian dalam dua kali hentakan yang menghantarkan Petra melenguhkan nama Jovian nyaring dan juga Jovian yang mengerang. “Jovian―akhh!” Petra benar-benar memejamkan mata dan keningnya mengernyit. Jovian mengecupi bibir dan pipi Petra bergantian.
“Relax, sayang.” Pintanya.
Apa? Sayang? Untuk kedua kalinya Petra kaget dengan ucapan Jovian. Namun belum sempat Petra meminta Jovian untuk mengulang ucapanya detik selanjutnya Jovian sudah mulai menggoyangkan pinggulnya dengan perlahan membuat Petra mulai menikmatinya. Keduanya hanyut dalam gelenyar buaian renjana guna membasuh rindu dan menunda perpisahan yang sebenar-benarnya ada. Lisan mengumandangkan nama masing-masing.
“Petra ahh,” Jovian bergerak pelan memastikan sang puan tidak merasa kesakitan sama sekali. Ia benar-benar ingin saling menikmati. Rasanya berbeda seperti yang pertama kali mereka lakukan. Gerakan pinggul Jovian diimbangi geliat tubuh Petra dan juga lumatan antar bibir mereka bagi satu sama lain.
“Petra ngh, can you just stay here, can you?” Mata Jovian memejam namun ia mengerang dengan kalimatnya yang terdengar sangat pilu itu. Keduanya menyatu dalam keindahan buaian malam, merebakkan perasaan yang sudah lama ingin dipadu dengan asa bersama bukan pilu yang dibiarkan melebam di hati masing-masing.
Lidah dan lumatan saling beradu dengan bunyi decitan ranjang yang ditimbulkan keduanya. “Ahh, mhh,” “Jovian―ngh”
“Can I move faster?” tanya Jovian, pandangan keduanya bertaut. Petra menggeleng,
“Slowly please, aku kangen, aku kangen kamu.” Petra mengucapkan kalimatnya dengan kesungguhan. Hati Jovian berdesir nyeri. Nikmat senggama tubuh keduanya tidak hanya menghadirkan rasa nikmat saat diraja namun juga sendu saat kedua netra bersua.
“Ra, aku lebih. Aku lebih kangen kehadiran kamu disini.” Balas Jovian, untuk sesaat Jovian mengecup kening Petra untuk waktu yang lama.
Sial! Air mata lolos dari ekor mata Petra saat ini. Jovian yang merasakannya pun kembali menyangga tubuhnya lagi, menatap wanita dalam dekap dan dibawah kendali tubuh kekarnya.
“Jangan nangis, Ra. Jangan nangisin bajingan dan orang brengsek kaya aku.” Katanya sambil membelai lembut pipi Petra berulang kali guna menenangkan jiwa yang rapuh itu. Tangan Petra bergerak meraih pipi dan satu tangannya meraih rahang Jovian, ditatapnya lekat pria itu. Dipandanginya seluruh bagian detail wajah Jovian saat itu.
“Jovian, untuk sekalipun aku nggak pernah menyesal pernah menjatuhkan hati sama kamu.” Dibawanya wajahnya mendekat dan disatukan bibirnya dengan bibir Jovian saat itu. Pagutan menyayat hati dirasakan keduanya namun pagutan itu semakin enggan dilepas. Dibawah sana Jovian kembali memberi gerakan pelan mengimbangi tempo pagutan yang bertaut. Petra dan Jovian curahkan segala resah dan segala yang ada di hati mereka lewat penyatuan kali ini.
Keduanya masih bergantian meracau dan mendesahkan nama satu sama lain. “Jovian, you can do it,” kata Petra lirih. Petra memeluk leher Jovian, membiarkan suaminya menelusupkan wajahnya di sela leher Petra. Ia rasakan Jovian mengangguk. Ketidaktahuan Jovian tentang orang-orang yang menyakiti dan merendahkan Petra membawanya kepada senya yang merambat kala itu padahal ia tahu ada luka yang tersayat lebar di hati istrinya. “Petra mhh,” Jovian mendesah saat merasakan kejantanannya dijepit oleh pusat tubuh Petra saat itu yang semakin bertambah ketat. “Move Jovian, you can do it right now,” bisik Petra lirih. Hal itu diindahkan Jovian dengan menggerakkan pinggulnya pelan namun pasti. Segala kenikmatan menyatu dan menjalar di dalam diri mereka. Menyatu dalam sebuah senggama yang membuai keduanya dibarengi libido yang kian memuncak meletupkan suasana berbeda dari sebelumnya.
Napas Petra dan gerakan pinggul Jovian yang semakin bergerak cepat tidak bisa seimbang dan beriringan dan saling berlomba saling mendahului. Jovian kembali melahap payudara Petra sesaat sebelum naik lagi ke bibir Petra. Menahan dan membungkam Petra yang mendesah.
“Petra mhh, this is so.. ahh..” Lenguhan Jovian bertambah nyaring saat ia sendiri menggerakkan pinggulnya dengan gerakan maju mundur sesekali memutar membuat keduanya sama-sama gila. Senggama nikmat dan syahdu membelenggu keduanya saat ini. Mereka sudah hampir mencapai puncaknya lagi. Beberapa pergerakan pinggul Jovian membuat keduanya hampir mencapai puncaknya.
“Petra, can we do it together?” Jovian berbisik mesra dan sensuual di telinga Petra dan setelah itu mengecupi telinga Petra. Wanita itu memejamkan mata saat merasakan sesuatu yang berkedut dibawah sana. Jovian yang merasakan miliknya semakin menegang pun menggerakkan pinggulnya lebih cepat hingga tubuh Petra bergetar merasa sesuatu hendak keluar dari dalam tubuhnya. Keduanya sama-sama disanjung lewat desahan merdu yang menjelma candu.
“Can you repeat it again? Can you say and moan my name, Jov?” perkataan Petra dibalas gerakan pinggul yang sedikit lebih cepat.
“Petra mhh... don’t leave me alone, I beg you hmpph” detik selanjutnya Jovian meraup payudara Petra, menghisapnya dalam dan menciumi bagian puncaknya. Hisapan yang dalam dan lekat itu membuat Petra merasakan nikmat bertubi-tubi. “Petra ngh.” “Jovian mhh,” “It is almost Jov sshhh” Jovian yang mendengar hal itu pun tak tinggal diam, ia jemput kenikmatan bersama sang puan. “Together, babe,” pinta Jovian, rintihan dan lenguhan keduanya beradu memecah hening melawan bunyi denting jam. Perlakuan Jovian kali ini adalah sebaik-baiknya perlakuan suami yang memberikan hak sebenar-benarnya kepada Petra yang masih menjadi istrinya. Nama Petra dikumandangkan dalam lenguh. Bukan nama wanita lain.
“Petra―ahh,” kini gerakan Jovian semakin cepat hingga tubuh sang puan bergetar, dan keduanya merasakan surga bersama dalam satu penyatuan intens malam itu.
“Ahhhh―” keduanya mendesah bersama saat tubuh Petra bergetar beberapa kali saat menerima curahan cairan penuh kasih dan saat Jovian berhasil mengeluarkannya disana.
“Petra mhh..” Jovian mengerang untuk kali terakhir saat ia berhasil melepaskan seluruhnya di dalam milik Petra, Jovian tak berhenti disana, ia berikan kecupan lama di bibir Petra sembari Petra masih bergelut mengatur napasnya yang terengah.
Petra tersenyum haru, Jovian merenggangkan lumatannya. Ditatapnya wanita di bawahnya yang masih berkaca-kaca.
“*I call out your name, wholeheartedly, Petra. Valerie Petra Alexa.”
Petra tersenyum dan mengangguk. Jovian mencium kening Petra lagi. Tanpa sadar tangan Petra memeluk Jovian erat. Kini keduanya merebahkan diri bersamaan dan bersebelahan lalu memeluk satu sama lain untuk terakhir kali dan melayangkan kecup untuk satu sama lain. Bergulung dalam satu selimut sembari masih belum bisa memercayai apa yang baru saja terjadi. “Semua yang kamu ajarin ke aku, bermakna. Kecuali perpisahan yang akan kita hadapi sebentar lagi.” kata Jovian yang memastikan tubuh mungil Petra itu sempurna dalam pelukannya Tak ada kata yang mencuat dari keduanya setelahnya, Petra bak langit temaram yang selalu terhantam dan karam. Keduanya saling menatap kala Petra mendongakkan kepalanya, bibir Petra bergetar melihat suaminya yang memejam. Saat itu juga air mata Petra menetes dan ia melipat bibirnya, entah angin apa yang merasuki Jovian, seakan bisa merasakan sang puan menangis, Jovian menepuk-nepuk punggung Petra lembut dan mengecup kening Petra, tak dibiarkan bibirnya lekang dari sana. Mereka bergulung dalam satu selimut, kegelisahan perihal perpisahan belum reda, terlebih bagi Jovian. Pelukan Jovian bertambah erat saat merasakan Petra yang memeluknya lebih dalam lagi dan menelusupkan wajahnya di dada bidang Jovian. Pria itu sadar tidak mungkin baginya untuk membuat sang puan tinggal disana sebab terlalu dalam luka yang ia goreskan. Terlalu banyak duka yang ia berikan kala bersama. Demi apapun, Jovian tenggelam dalam lautan penyesalan terdalamnya.
“Dua minggu lagi keputusan sidang keluar, would you stay here for the rest of our time?” tanya Jovian.
“Jovian..”
Pria itu menunduk menatap wanita dalam dekapannya.
“Boleh, Ra? Dua minggu aja.”
“Iya. Boleh.”
Segelintir lega dan selaksa ketakutan bersamaan hinggapi hati Jovian. Ia tidak menyangka kebersamaan yang awalnya palsu itu membawanya merasakan pilu yang sebenar-benarnya ada. Tak ada guna menghapus segala jejak yang terukir, hati Jovian lantang menyerukan kegagalannya sebagai seorang pria yang dianugerahi sosok wanita hebat yang sang empunya hadirkan. Dua minggu dari saat mereka saling memeluk kali ini. Apakah membawa keduanya kembali dalam dekap atau perpisahan yang hanya akan menghasilkan kenangan yang pernah hinggap?