RUMAH


Selalu ada alasan mengapa manusia bertahan, selalu ada alasan mengapa Tuhan belum memanggil anakNya untuk pulang. Ada banyak alasan mengapa kita masih diberi kehidupan sampai sekarang. Pun dengan kisah yang dirangkaikan. Satu minggu setelah kepergian Mamanya, Grace mulai membiasakan diri dengan luka yang ada.

Meski untuk saat ini ia masih sering berkunjung ke pusara Mamanya ditemani Mevin, hal itu tidak mengganggunya. Kehidupan baru akan ia sambut setelah ini. Grace dan Mevin tengah berada di kosan Grace untuk mengemasi barang-barang dan membawanya ke rumah Papa Kevin, Grace akan tinggal di sana bersama kedua adiknya dan Papanya itu.

Meski bukan orang tua kandung, Grace merasa kasih sayang yang Kevin berikan itu tulus, ia juga bisa melihat dari bagaimana Rafer dan Florence dibesarkan selama ini. Begitulah fase kehidupan yang tidak selamanya menjumpai kebahagiaan, seiringan dengan kepergian dan penerimaan akan banyak hal.

Tangan Mevin bergerak memindahkan dan menumpuk barang lalu mengangkatnya dan memasukkan ke dalam mobilnya. Grace masih membereskan baju-bajunya dan ia masukkan ke dalam koper, sebentar lagi ia akan tinggal di rumah bersama dengan orang-orang yang pantas ia sebut keluarga.

Saat Grace tengah duduk di tepi ranjangnya, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh isi ruangan itu. Ruangan yang menemaninya selama beberapa tahun belakangan ini, menjadi saksi bagaimana perjuangannya seorang diri. Mevin yang baru saja masuk dari membereskan barang-barang di mobilnya tersenyum melihat raut wajah Grace yang nampak sedikit murung, ada sisi gemas tersendiri yang Mevin rasakan.

Ia pun berjalan mendekat dan duduk di sebelah Grace lalu mengacak pelan rambut Grace.

“Kenapa? Kok sedih?” tanya Mevin.

“Sedih aja, aku disini udah bertahun-tahun, tempat tidur ini jadi saksi gimana aku sering nangis sendiri, pulang kerja langsung rebahan sampai belum ganti seragam. Lantainya jadi saksi waktu aku nangis sendirian sama makan pop mie karena nggak ada uang buat beli makan, mau minta orang tua udah malu dan males duluan.” Kalimat itu sempat menusuk hati Mevin.

“Sampai kaya gitu? Kenapa ya kita nggak ketemu lebih cepet, sorry to hear that, kesayanganku kuat banget, ya? Hebat, anak baik, anak kuat.” Mevin menarik wajah Grace lalu mengecup kening kekasihnya itu. Grace tersenyum lebar yang membuat matanya menyipit.

“Biasa itu mah, kadang kalau udah krisis banget, dan lagi berantem sama Mama atau Mama nggak kirim uang gitu dan awal-awal kerja belum bisa manage uang gitu pernah satu hari aku sampai beli biskuit aja sama susu, pas aku lagi makan sama nonton gitu Ave dateng. Dia ajak aku makan di luar, suka tiba-tiba banget, deh. Kalau di Rumah Sakit baru makan sama Ave, nanti aku ganti. Tapi nggak lama sih kaya gitu, itu waktu awal ngekos harus beli perabotan gitu kan. Setelahnya ada Ave yang ngasih, aku udah bilang aku ganti dia nggak mau. Tapi se parah apapun keadaan kita tuh, Tuhan nggak pernah biarin yang sampai kelaparan nggak makan sama sekali. Ya, itu pengalaman kehidupan, hehe.” Grace dan penuturan panjangnya membuat Mevin kagum.

Hal seperti itu tidak akan mungkin terlupakan karena merupakan bagian perjalanan dari kehidupannya yang mendewasakan.

“Sayang, setelah ini mau keadaan sulit atau enggak, kita bareng terus, ya?” Mevin menggenggam tangan Grace, “kamu juga harus bersyukur ada Papa Kevin, Rafer sama Florence. Kamu nggak akan rasain kesepian itu lagi,” lanjutnya.

“Kamu juga, jangan bosen sama aku yang hidupnya banyak dilumuri masalah, kalau dilumuri gula halus aku jadi donat nanti, hehe,” kata Grace. Mevin terkekeh lalu memeluk Grace dengan gemas dan erat.

“Kalau dilumuri wijen kamu nanti jadi onde-onde,” kata Mevin sambil menghujam pipi Grace dengan kecupan bertubi-tubi. Grace terkekeh geli, ia menggeliatkan badannya mencoba melepas pelukan Mevin tapi ia malah terjatuh terlentang di tempat tidurnya. Saat ia hendak bangun, Mevin malah merebahkan dirinya di sebelah Grace dan memeluk Grace.

“Ini dalam rangka apa kaya gini, tuh?” tanya Grace sambil sedikit mendongak menatap Mevin yang memeluknya. Tangan Mevin melingkar di perut Grace, merangkul pinggang Grace dan mendekatkan tubuh Grace kepadanya. Mevin menyangga kepalanya dengan satu tangannya, ia bisa mengamati jelas wanita dalam pelukannya.

“Dalam rangka aku masih nggak percaya kita barengan lagi setelah perjalanan panjang,” segudang kalimat ingin Mevin katakan sebenarnya, tapi tidak bisa ia ungkapkan segalanya.

Hitungan hari makin berlalu, balasan rasa keduanya semakin menunjukkan bahwa keduanya akan mencintai sampai akhir nanti. Jarak yang membentang luas serta menjelma tembok pemisah kini dirubuhkan keduanya hingga mereka bisa saling merengkuh satu sama lain lagi.

“Kalau dipikir, kita gila juga,” kata Grace.

“Gila kenapa lagi? Kamu tuh ada-ada aja kata-katanya,” balas Mevin terkikik.

Tangan Grace membelai lembut pipi Mevin, “gila juga perjalanannya, kalau aku flashback suka nangis sendiri, waktu aku di Singapore tanpa kamu, sekalinya hubungin kamu aku dicuekin, berantem hebat, minta putus diiyain, minta break diiyain, ternyata kamu sakit, nggak bisa dijelasin sakitnya.” Grace berkata dengan nada lesu dan ia mengerucutkan bibirnya.

“Aduh, aduh, maaf buat waktu itu, nggak tahu sayang, aku pun nggak bisa berpikir apa-apa. Aku nggak mau ada siapapun di deketku waktu itu.” Mevin memberi satu kecupan lagi di kening Grace dan Grace pun menyelusupkan wajahnya di dada Mevin, menghirup aroma khas parfum dari kekasihnya itu dan memberi pelukan juga.

“Udah, udah lewat, Tuhan juga mau kita balik lagi, right?” kata Mevin. Grace mengangguk. Keduanya saling memeluk saja dan hening untuk beberapa saat. Mevin juga mengusap punggung Grace dan menciumi puncak kepala Grace beberapa kali. Tak ada kalimat yang dibagi karena keduanya hanya ingin berbagi perasaan dan keadaan.

“Sampai akhir sama aku, ya?” bisik Mevin dengan suara beratnya. Grace mengangguk. Mevin pun menjadikan lengannya sebagai bantalan Grace, maka keduanya saling bertatapan dan tersenyum.

Let me love you, forever, Bernadetta Gracelline Courtney.” Mevin tersenyum setelah mengucapkan kalimatnya. Asa Grace semakin menyeruak untuk hidup lebih lama bersama Mevin. Harap bersatu terpancar dengan binar mata Grace saat menatap kekasihnya itu, ia mengangguk, “I love you, Elleandru Mevinio Adrian, with all my heart,” balasnya. Mereka beradu tatap cukup lama sebelum Grace memantapkan hatinya, melawan semua pikiran buruk yang mengambil alih.

Wanita itu mengangguk yang membuat Mevin langsung menarik wanita itu ke dalam dekapannya. Keduanya sangat bahagia, semua perasaan lebur jadi satu. Rindu yang tak acuh kini jelma muara hati tempat keduanya berlabuh. Semua perasaan cinta saling beradu, segenap perasaan bahagia berpadu di antara mereka berdua.

Can I?” tanya Mevin sambil mengusap lembut dagu Grace.

What?” tanya Grace bingung.

Taste your lips, my lips miss yours.”

You don’t need any permission, I’m yours,” balas Grace dan saat Grace mengangguk ada senyum lebar dan cerah di wajah keduanya.

Mevin mengecup kening wanita itu sesaat. Keduanya saling menatap. Mevin menatap Grace lekat, Grace menyeringai lalu menutup matanya. Perlahan bibir Mevin mulai menyentuh bibir Grace, sentuhan lembut yang Mevin berikan membuat Grace merasa nyaman. Bibir keduanya saling menempel dan menyapa setelah untuk waktu yang lama berpisah.

Cerita keduanya mulai dibuai nikmat, membaca rasa yang ada diantara keduanya, yang dieja kini bukan duka tapi sorot rasa bahagia. Mevin mengunci kaki Grace dengan kakinya dan berkuasa atas birai Grace. Kini, lidah mereka saling bertaut. Grace membalas ciuman itu lalu Mevin menarik Grace lebih dekat ke pelukannya dan memperdalam ciumannya.

Tangan Grace bermain di antara surai hitam Mevin seiringan dengan tempo ciuman yang Mevin berikan. Mevin kembali mencium bibir Grace, kali ini dengan sedikit lebih dalam dari sebelumnya. Lagi, ia melumat bibir Grace lembut dan mesra, membiarkan Grace menguasai permainan dengan membiarkan Grace berada di atasnya. Tangan Mevin juga bergerak masuk ke dalam kaos Grace dan mengelus pelan bagian pinggang Grace.

Nghh―Mevin, geli ....” Grace melenguh sesaat. Tapi Mevin berikan lagi usapan bahkan dengan ujung jarinya ia menyentuh pinggang Grace perlahan.

Mevin juga sesekali mencubit pinggang ramping kekasihnya itu, maka melenguhlah Grace di sana dan membuat Mevin semakin terpancing. Mevin mengikuti tempo yang Grace mainkan saat ia harus mencium dengan sedikit brutal atau dengan lembut. Tak jarang Grace menggigit sedikit bibir bawah Mevin yang membuat pria itu meringis dan tertawa kecil.

“Jangan nakal,” celetuk Mevin yang membuat Grace tertawa kecil.

“Kalau kamu boleh, aku nggak boleh,” gerutu Grace tapi malah membuat Mevin gemas. Mevin pun memeluk tubuh Grace erat, ia gemas hingga memutar posisi dan berguling sesaat membuat Grace kini ada di bawahnya dan ia mengukung tubuh Grace sekarang. Hambar disingkap dihilangkan digantikan sebuah debar yang tak biasa.

Ribuan tanya terjawab mengapa mereka dipertemukan lagi. Karena memang keduanya diciptakan untuk melengkapi sama lain. Keduanya menyatukan belah bibir lagi meredam gemuruh yang sempat menggelegar dan mereka gantikan dengan bahagia yang setelah ini akan mereka jemput bersama. Kini Grace melingkarkan tangan di leher Mevin dan mencumbu Mevin sedikit lebih panas.

Grace juga memainkan lidahnya di dalam rongga mulut Mevin. Ciuman Grace mulai turun ke leher Mevin yang membuat Mevin juga hanyut dalam suasana penuh kenikmatan itu. Sesekali mereka merenggangkan ciuman mereka untuk mengambil napas sebelum akhirnya melanjutkan pagutan mereka.

Keduanya hanyut dalam permainan mereka yang pertama kali sekaligus tanda mereka resmi memiliki satu sama lain. Dari Grace, Mevin belajar banyak hal perihal kehidupan yang keras.

Mevin tidak bosan menghadapi dan menunggu Grace sampai ia pulang ke Indonesia. Rindu yang awalnya menyiksanya kini terasa sangat indah saat sudah terbayarkan. Kenyataan yang sempat membuat keduanya bersimpuh dan memohon kepada Tuhan dalam pejam doa serta tangis itu kini sudah bermuara dan temukan ujung jawabannya.

Senyuman Grace menjadi milik Mevin secara utuh, senyum itu yang akan menemani Mevin ke depannya. Semua rasanya terbalaskan. Banyak wanita di luar sana, tetapi tidak ada yang seunik, sekuat dan cara Grace membuat Mevin jatuh cinta berbeda dari kebanyakan wanita. Banyak pria di luar sana tetapi tidak ada yang setulus Mevin dan setabah Mevin menghadapi banyak hal yang menerpa.

“Capek, ah,” ujar Grace sambil merenggangkan ciuman dan mengambil napas. Ia membaringkan tubuhnya di samping Mevin menjadikan lengan pria itu sebagai bantalnya lagi. Mevin mendekap wanita itu erat dan hangat, “aku sayang Grace, aku sayang Grace, sayang banget!” kata Mevin bersemangat dan ia menggesekkan ujung hidungnya dengan Grace berkali-kali. Grace pun terkikik dan merasa geli, ia menggerakkan jarinya menggelitiki pinggang Mevin, hal itu dibalas Mevin dengan menggenggam pergelangan tangan Grace sehingga Grace tidak bisa menggelitiki Mevin lagi.

Satu tangan Mevin mengunci kedua pergelangan tangan Grace dan satu tangan lagi Mevin gunakan untuk menggelitiki pinggang Grace. Wanitanya itu terbahak dan meringis minta ampun, Mevin tertawa melihat tingkah kekasihnya itu.

“Ampun nggak?” tanya Mevin mencobai dan sambil tertawa.

“Ampun Mevin, koko Mevin yang baik, haha!” balas Grace sambil terus tertawa.

“Ampun, daddy, gitu,” kata Mevin yang langsung membuat Grace membulatkan matanya. Keduanya terdiam, Mevin melipat bibirnya menahan tawa.

“Siapa yang ngajarin kaya gitu?!” Grace melepaskan tangannya dan mencubit lengan Mevin keras.

“Aduh! Sakit! Bercanda, sayang!” rintih Mevin lalu ia menegakkan posisinya menjadi duduk.

Grace ikut duduk di sebelah Mevin lalu menyilangkan tangannya di depan dada, “kamu yang nakal, Mevin!” kata Grace ketus. Mevin malah mencubit kedua sisi pipi Grace pelan dan menggoyangkannya.

“Bercanda, mommy!” goda Mevin lagi.

“Mevinio Adrian!” Grace memekik nyaring dan mendelik. Mevin masih terkekeh kecil lalu ia merangkul Grace lagi dengan satu tangannya lalu seakan hendak menidurkan Grace di pahanya, tapi ia kecupi pipi Grace berkali-kali.

“Ngambek, ayo, aku suka,” goda Mevin. Grace hanya diam dan pasrah dengan perlakuan gemas kekasihnya itu.

Saat Mevin masih sibuk menghujam pipi Grace dengan kecupan, Grace menoleh membuat bibir Mevin berhasil mendarat di bibirnya sesaat.

“Kena, deh!” tawa Grace sambil terbahak lalu merenggangkan rangkulan Mevin dan bangkit berdiri.

“Ayok, aku mau pulang ke rumah Papa!” ujar Grace bersemangat sambil mengepalkan kedua tangannya dan tersenyum lebar bak anak kecil. Mevin terkekeh, ia bangkit berdiri lalu memegang kedua pundak Grace.

“Janji, jadi anak Papa Kevin yang baik, jadi kakak yang baik buat Rafer sama Florence, ya?” kata Mevin sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Grace pun menautkan jemarinya dengan Mevin dan mengangguk.

“Janji!”

Mevin mengecup bibir Grace sesaat lalu mengangguk, “Good girl!” katanya.

Detik selanjutnya pelukan yang mereka bagi sesaat terasa lebih hangat dari sebelumnya. Dua pelayar dalam perahu yang berbeda yang berlayar bersama dan sempat terpisah kini bertemu di satu dermaga lagi, berlabuh dan berdua menjadi utuh.

Kalau pun harus dipisahkan dan dijauhkan, nyatanya, keduaya kembali bisa menjalin ikatan. Kata cinta mereka sematkan satu sama lain sepanjang usia. Sepenggal kisah baru akan mulai terukir lagi, setelah perpisahan karena keadaan dan jarak, serta sakit yang memperantarai keduanya, kini keduanya berlabuh lagi, utuh, menjadi satu. Mevin dan Grace menjatuhkan hati secara bersamaan lagi kali ini dan berharap selamanya.

Bahkan, untuk Mevin, ia tidak tahu sudah kali ke berapa ia menjatuhkan hati kepada Grace. Saat kebersamaan keduanya adalah yang paling dinanti. Manusia berdalih semuanya diatur oleh takdir. Hubungan keduanya dipertemukan dengan segala perbedaan dan dalam arus pendewasaan lewat kejamnya kenyataan dan keadaan yang membungkam.

Keduanya menjadi kekasih yang bisa menjelma sebagai teman, kawan, sahabat serta support system bagi satu sama lain. Selagi berdua, Mevin menatap Grace lebih lama, lebih lekat kala mereka lebih dekat dalam sebuah dekap. Kata terkadang tak perlu diucap, dua raga yang bersama hanyut dalam hening tanpa kata. Rasa di antara mereka tumbuh tak terarah dan semakin merekah.

Keselarasan semakin mengiringi perjalanan. Kalimat-kalimat yang melegakan, bersenandung lagu kesukaan saat bersamaan, saling berusaha untuk sama-sama memantaskan. Harap dan asa untuk bersama semakin menyeruak saling menyempurnakan, bukan berlomba untuk menjadi sempurna.

“Udah siap ke rumah Papa Kevin?” tanya Mevin, Grace mengangguk, keduanya berjalan bersama beriringan, Grace menyeret kopernya dan Mevin membantu membawakan sisa barang Grace. Pintu kos penuh kenangan itu ditutup. Selamat datang rumah baru!


“Grace,” panggil Mevin lirih usai memarkirkan mobilnya di depan rumah Papa Kevin.

“Apa?” tanya Grace.

“Kering,” kata Mevin dengan suara beratnya sambil menunggingkan senyum.

“Apanya? Dompet?” tanya Grace sambil melepas seat beltnya. Mevin pun meraih jemari Grace lalu membawanya dalam genggaman dan ia melanjutkan penuturannya.

My lips.”

“Terus? Tadi kan udah,” cicit Grace, Mevin terkekeh, ia hanya ingin menggoda Grace sebenarnya.

Tanpa perkataan apapun saat itu juga Mevin melepaskan genggaman tangannya lalu menarik tubuh Grace dan mendekapnya erat.

“Nggak papa, peluk dulu, sini.” Mevin menyalurkan kehangatan lewat pelukannya sesaat lalu merenggangkannya. Saat Mevin hendak membuka pintu mobil, Grace menarik tangan Mevin hingga wajah keduanya berhadapan sangat dekat.

“Kenapa?” tanya Mevin dengan senyum manisnya.

“Katanya kering.” Grace menjulurkan lidahnya sesaat. Mevin mengangguk hingga akhirnya Mevin memegangi bagian rahang Grace dan mendekatkan wajahnya, Mevin memiringkan wajahnya lalu memberanikan diri mengecup pipi dan bibir Grace. Hingga kini bibir Mevin bermuara di birai Grace, lumatan lembut berangsur menjadi sesuatu yang berkuasa diantara mereka, hingga pagutan lembut berubah menjadi pagutan yang enggan dilepaskan.

Ciuman direnggangkan, Grace gantian menangkup wajah Mevin dengan kedua tangannya, ditariknya lagi wajah sang tuan, ia berikan kecupan singkat di bibir dua kali. Mevin terkekeh, kini Mevin menangkup pipi Grace juga lalu tarik wajah sang puan dan berikan beberapa kecupan singkat di bibir Grace.

“Mevin.” suara Grace tidak membuat Mevin menghentikan kegiatannya. Belah bibir Mevin seakan enggan hengkang dari tempat ternyamannya. Bibir ranum Grace adalah sebenar-benarnya tempat mengadu perasaan yang sesungguhnya.

Hingga detik selanjutnya Grace sedikit menahan dada Mevin, menghentikan kegiatan mereka.

“Bayangin, lagi begitu ada Papa,” katanya.

“Udah, yok keluar sekarang daripada digrebek.” Mevin membuka pintu mobil, Grace geleng-geleng dan sedikit merasa gemas dengan Mevin. Maka, saat Mevin membuka mobilnya, Rafer juga keluar dari rumah itu dan langsung berseru kegirangan, “Koko Mevin! Cece!” Rafer langsung menghampiri Mevin dan Grace memberi salam. Anak baik dan sopan itu senang bahwa Grace sudah ada di sana. Seseorang yang ia tunggu sejak tadi. “Sini aku bantu,” katanya menawarkan diri.

“Florence mana, dek?” tanya Grace.

“Tidur,” balas Rafer sambil meringis, Grace mengangguk-angguk paham.

“Bawain ini yang di dalam sini aja, yang di belakang biar koko yang bawa, oke?” ucap Mevin yang diiyakan oleh Rafer. Grace tersenyum melihat kerjasama orang-orang yang ia sayang itu. Rafer langsung menunjukkan dan mengarahkan agar Grace serta Mevin membawa barang-barang Grace ke kamar yang sudah disediakan untuk Grace. Satu kamar yang sangat berbeda dari kamar kos Grace. Kamar itu bahkan sudah memiliki foto Grace di figura yang tergantung di dindingnya.

“Dek, kok udah ada foto aku disini?” tanya Grace sambil menaruh kopernya di lantai, Rafer yang masih mengangkat kardus yang ia bawa mendekat ke arah Grace, “Mama Maureen yang pasang, kamar ini udah lama disiapin buat Cece sebenernya.” Maka kalimat Rafer itu membawa Grace menatap Rafer, sedikit sendu tatapan Grace saat itu, Rafer tersenyum dan berlalu, ia melanjutkan kegiatannya membantu Mevin. Grace mendekat ke figura yang tergantung itu, ada dua figura di sana.

Satu foto saat Grace sudah dewasa, foto yang sempat Grace upload di media sosialnya ternyata dicetak oleh Mamanya.

Satu foto masa kecil Grace juga ada di sana, tunggu .... ada dua foto sebenarnya. Satu foto Grace saat berusia dua tahun dan di bawahnya ada foto kecil yang ditempelkan juga di sana, foto saat Mama Grace menggendong bayi kecil Grace. Jemari tangan Grace menyentuhnya perlahan.

Ia kembali teringat saat keluarganya masih utuh, Grace meneteskan air matanya, sungguh jika bisa bersimpuh di kaki Mamanya mungkin akan ia lakukan saat ini. Grace yang tadinya mengira tidak pantas mendapatkan cinta dari orang tua, kini sadar bahwa Mamanya punya cinta dan kasih seorang ibu yang besar untuknya. Perlahan Grace menyeka air matanya tapi ia terus terisak. Cukup lama Grace berdiri mematung di depan figura itu dan mengenang dalam ingatannya tentang sosok mendiang Mamanya. Hingga sebuah pekikan kecil yang memanggil nama Grace membuyarkannya. Florence yang terbangun dari tidurnya ada di ambang pintu kamar Grace dan berdiri di sana sambil mengucek matanya.

“Cece!” katanya. Grace pun menoleh dan buru-buru menyeka air matanya, Florence berlari kecil menghampiri Grace, saat itu juga Grace merendahkan tubuhnya dan membuka dekap menyambut Florence dengan dekapan. Gadis kecil itu langsung menubrukkan dirinya dan memeluk Grace. “Adiknya Cece, kebangun ya?”

“Cece pulang? Cece disini terus kan? Nanti malem Flo boleh tidur disini? Flo mau sama Cece,” Florence berkata sambil merenggangkan pelukan dan menatap Grace penuh harap.

“Boleh banget!” Grace membelai rambut Florence. Grace mengamati lamat-lamat wajah Florence, memang garis wajah Mamanya diwarisi Florence, mata indah Florence berbinar saat keduanya bersinggungan dalam tatap sekali lagi.

“Eh, udah bangun adek?” ucap Rafer yang memasuki kamar Grace dengan menenteng beberapa bawaan diikuti Mevin. Florence mengangguk dan tersenyum, gadis kecil itu melihat Mevin di belakang Rafer, raut wajah sumringah Florence tidak terhindarkan. “Koko Mevin?” katanya dengan malu-malu. Mevin tersenyum, pria itu menaruh kotak yang ia bawa di lantai lalu menghampiri Grace dan Florence, bahkan Mevin langsung menggendong Florence. Grace tersenyum sambil merangkul Rafer yang melihat kedekatan Mevin dan Florence yang terjalin sejak di rumah duka beberapa waktu lalu. Aura dokter spesialis anak nyatanya memang membuat Mevin memang menyukai anak-anak. Jadi jangan heran kalau Enzi bahkan Florence sekalipun merasa betah berada di dekat Mevin.

“Nyariin Koko?” tanya Mevin kepada Florence, gadis kecil itu mengangguk antusias.

“Besok mau nggak main sama Koko nanti Ko Mevin kenalin sama temen Florence namanya Enzi, mau? Nanti kita ke timezone bareng,” kata Mevin.

“Oh, iya! Aku juga mau ketemu Enzi, ajak Flo sekalian aja ya sayang?” tanya Grace.

“Sama Rafer aja sekalian, mau nggak dek?” tanya Mevin sambil mengarahkan pandangannya kepada Rafer.

“Yah, besok nggak bisa, udah janji mau makan-makan ada temen ulang tahun. Aku ikut next aja, deh,” kata Rafer nyengir. Grace tersenyum dan mengangguk, “oke deh.” katanya.

Grace bisa tersenyum bahagia melihat kebersamaan orang-orang terdekatnya saat ini, masih seperti mimpi bahwa ia bisa benar-benar pulang ke tempat yang bisa ia sebut RUMAH. Nyatanya, rumah ini adalah tempat di mana segala kenangan tentang Mamanya terukir, semburat senyum kini merekah di wajah Grace saat melihat Rafer, Flo dan Mevin bercengkrama dan bercanda. Ia berharap hal seperti ini dapat ia rasakan sampai akhir waktunya.


Mevin masih di sana hingga Om Kevin pulang ke rumah. Benar saja, Om Kevin sudah membeli banyak makanan untuknya, Grace, Rafer, Flo dan Mevin makan malam bersama. Suasana bertambah hangat saat semuanya duduk di ruang makan dan menikmati family dinner bersama yang sudah disiapkan Kevin malam ini.

“Mevin, terima kasih sudah bantu Grace selama ini sampai saat ini. Terlebih waktu di rumah duka kemarin, kamu juga pasti kurang istirahat. Sekali lagi terima kasih atas kebaikan kamu sekeluarga, ya.” kalimat pembuka dilontarkan Kevin usai menikmati makanan. Mevin mengangguk, ia tersenyum.

“Sama-sama, Om, dengan senang hati,” kata Mevin.

“Grace juga, terima kasih sudah mau tinggal di rumah ini, kamu tanggung jawab Papa sekarang, oke?” Kevin tersenyum kepada Grace.

“Karena Cece tanggung jawabnya Papa mulai sekarang, jadi Ko Mevin harus minta ijin ke Papa Kevin kalau mau lamar Cece Grace,” kata Rafer sambil sedikit tertawa.

Grace yang tengah meneguk minuman tiba-tiba tersedak mendengar ucapan Rafer. “Grogi, salting, ya, Ce?” cibir Rafer yang disambut tawa Kevin dan Mevin. Sedangkan Florence kecil masih asyik menikmati makanannya tanpa menghiraukan obrolan orang dewasa di sana.

“Iya, Om. Nanti ada saatnya saya minta ijin ke Om untuk meminang Grace disaat saya sudah pantas dan waktunya tepat.” Mevin berkata dengan lugas.

Grace hanya melotot ke arah Mevin dan menahan malu. “Om tunggu, ya,” kata Kevin sambil tersenyum.

“Siap, om! Semoga saat itu Grace juga siap.” balas Mevin semangat.

“Siap apa?” tanya Grace bisik-bisik.

“Jadi istri aku, hidup sama aku selamanya,” balas Mevin berbisik, Grace yang duduk bersebelahan dengan Mevin hanya tersipu malu, namun perlahan Grace rasakan Mevin meraih sebelah tangannya, jemarinya diraih lembut dan mesra. Keduanya saling bertatapan sesaat sebelum diam-diam menautkan jemari mereka satu sama lain dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa lalu melanjutkan obrolan dengan keluarga Grace itu. Mevin semakin erat menggenggam tangan Grace seiringan dengan semakin eratnya ia menggenggam hati sang puan untuk selamanya.