RUMAH YANG SESUNGGUHNYA
Kali ini rintik gerimis setelah hujan deras mengalun merdu mengiringi perjalanan Lea, Jeremy, dan Mevin. Hari ini Lea dan Jeremy sengaja mengajak Mevin pergi ke suatu tempat tanpa Mevin tahu rencana apa yang akan kedua orang tuanya lakukan.
“Pa, Ma, mau ke mana, sih?” tanya Mevin yang duduk di jok belakang mobil.
Lea dan Jeremy saling menatap kikuk. Lea menoleh ke arah anaknya dan berkata, “Ketemu seseorang,” katanya.
Mevin dibiarkan tenggelam dalam tanya. Ia membuka kaca jendela mobil untuk melihat sapuan warna hijau sepanjang jalan dan bau khas setelah hujan. Langit keabuan mulai pudar, semua pemandangan indah memanjakan mata Mevin dan membawa sebuah perasaan hangat di hati Mevin. Tak lama mereka tiba di suatu Villa.
“Sebentar, ya, Nak,” ucap Jeremy sembari melepas sabuk pengamannya, diikuti oleh Lea. Mevin masih heran. “Kita mau staycation? Cici sama Jevin gimana?”
“Enggak, Sayang, nggak staycation. Mevin tunggu di sini, ya. Mevin lihat-lihat di situ dulu, nanti kalau Mama udah telepon, Mevin baru Mevin masuk, ya?” Perintah Lea tidak seperti biasanya. Mevin merasa aneh, tetapi ia tidak terlalu banyak bertanya.
“Ya udah, Mevin lihat-lihat di depan situ dulu ya.”
“Iya, Sayang. Handphone jangan off, ya!” Lea mengingatkan.
Mendengar hal itu, Mevin bergegas keluar dari Mobil. Mevin sempat terperangah melihat keadaan sekitarnya yang asri.
Sebuah private villa di daerah puncak dengan halaman luas dikelilingi pemandangan indah dengan hawa sejuk. Tidak begitu mewah, tetapi bergaya klasik ini mempunyai tiga lantai. Dengan nuansa warna putih, sebuah kolam ikan di halaman depan. Mevin tidak sabar ingin melihat lebih detail lagi vila ini walaupun Mevin masih belum mengerti maksud dan tujuan kedua orang tuanya membawanya ke sini.
Jeremy dan Lea sudah masuk ke dalam villa itu disambut seorang pekerja dari vila tersebut. Mevin masih di luar dan mengabadikan pemandangan yang ia lihat, mengirimkan foto-foto indah yang ia ambil dengan ponselnya kepada Jevin dan Lauren.
Sekitar sepuluh menit berlalu, tiba-tiba Mevin menyadari ponselnya bergetar, sebuah pesan dari Lea bertuliskan “Mevin, masuk sini, Nak.” Tidak dibalas Mevin, tetapi ia langsung melangkah masuk ke dalam villa tersebut. Pintu masuk yang terbuka lebar membawa Mevin masuk ke dalamnya. Suasana agak sunyi, tetapi dengan cahaya lampu terang yang ada membuat beberapa koleksi perabotan antik dan furniture yang modern tampak jelas di sana. Beberapa koleksi vinyl terpajang dibingkai yang ditempelkan di dinding. Mevin terperangah kagum bukan main.
Mata Mevin tertuju pada sebuah jalan menuju halaman belakang yang menyediakan pemandangan kolam renang dan hamparan halaman yang hijau rindang. Tampak Jeremy dan Lea sedang berbincang dengan seorang pria di sana, tetapi Mevin tidak bisa melihat wajah pria itu. Dengan langkah pasti, Mevin melangkah ke sana.
“Eh, Sayang, sini lihat siapa yang mau ketemu kamu!” seru Lea sambil tersenyum sumringah, ia melambaikan tangan kepada Mevin.
Mevin berjalan dengan langkah pasti menghampiri kedua orang tuanya. Cahaya yang datang taklukan silau yang menghampiri, hati memekik terjamah rasa teduh saat netra bersua. Langkah Mevin yang terpijak berjalan menghampiri papa dan mamanya, terhenti sesaat kala sampai di sana, seorang pria menoleh memandang Mevin.
Langkahnya terhenti bersamaan dengan detak jantung yang tidak karuan saat melihat seseorang menyambutnya.
“Mevin,” kata pria itu yang membawa wajahnya memandang Mevin dan bangkit berdiri.
Selanjutnya Mevin maju satu langkah walaupun dengan sedikit gemetar. Mevin seakan tak percaya, sosok itu Mevin temui lagi tapi dengan perasaan yang berbeda kali ini. Mevin mengerjapkan matanya menahan air mata, matanya terasa panas, maka Mevin berkata, “Pa ... Papa Jovian?” Suara Mevin terdengar gemetar.
Sebuah senyum hangat menyambut Mevin. Benar saja, Jovian―ayah kandung Mevin ada di sana. Jovian menatap senyuman yang terlihat di depannya, air matanya seakan ingin tumpah saat ia merapalkan kalimat, “Mevin? Kamu panggil apa tadi, Nak?” kata Jovian sambil berjalan mendekati Mevin. Sekarang, keduanya sudah saling berhadapan.
“Papa Jovian,” lafal anak lelaki itu lirih sekali lagi. Jovian memandang Mevin tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia menahan air mata bahagianya dan memegang kedua sisi bahu Mevin. Anak lelaki itu malah langsung memeluk Jovian.
Hati Jovian berdesir haru, penuh sesak dengan rasa bahagia.
“Papa,” ujar Mevin sekali lagi.
“Iya, Nak, ini Papa, ini Papa,” kata Jovian, ia membalas erat pelukan Mevin.
Mevin juga tidak bisa membendung beberapa butiran kristal yang sudah tumpah tanpa komando begitu memeluk ayah kandungnya. Jeremy dan Lea pun merasa terharu menyaksikan pertemuan keduanya merengkuh nestapa karena lama tak bersua, melebur dalam satu peluk bersama. Hanya air mata yang berbicara.
Air mata lolos juga dari pelupuk mata Lea, ia berada di dalam rangkulan Jeremy dan berusaha menahan tangisnya dengan membenamkan wajah di dada bidang Jeremy, tetapi akhirnya terisak juga.
Hujan belasan tahun lalu membawa sosok yang melahirkan Mevin pergi selamanya, tetapi hujan kali ini membawa Mevin ke pelukan ayah kandungnya. Pada binar mata Jovian tersirat kerinduan dan kasih sayang seorang ayah yang lebur dalam dekap dan derai air mata.
Sepenuh-penuhnya cinta yang Lea dan Jeremy berikan tak bisa dipungkiri cinta dari Jovian sebagai ayah kandung Mevin juga tak terhingga. Kehidupan Jovian semakin bernyawa setelah pertemuan dengan anak lelakinya ini. Hari itu, Jovian bertemu anak kandungnya yang sudah genap berusia tujuh belas tahun, Elleandru Mevinio Adrian.
—-
Jeremy dan Lea membiarkan Mevin dan Jovian untuk tinggal di sana selama beberapa jam. Hari ini adalah hari terakhir Jovian ada di sini sebelum ia bergegas esok hari ke Bali untuk mengurus bisnisnya. Nanti malam Jeremy dan Lea akan kembali menjemput Mevin kembali.
Jovian dan Mevin menghabiskan waktu yang ada dengan kegiatan sederhana, tetapi berkesan untuk keduanya. Membeli makanan di restoran cepat saji kesukaan Mevin serta berbelanja sepatu dan baju untuk Mevin lalu kembali lagi ke Villa.
Keduanya kini sedang duduk berdua. Kala hari kembali menemui malam berhias rembulan dan hawa dingin yang menyeruak, Mevin dan Jovian duduk bersebelahan di bangku tepi kolam renang di vila. Mevin menunjukkan kepiawaiannya memetik gitar yang menghasilkan melodi indah yang membuat sebuah lengkung senyum tergambar di wajah Jovian.
“Pa, mau denger lagu pertama yang Papa Jeremy ajarin ke Mevin waktu awal belajar gitar?” tanya Mevin. Pertanyaan itu disambut anggukan cepat dari sang ayah.
Tangan Mevin kembali memetik senar gitar yang mengalunkan melodi sebuah lagu. Suara merdu Mevin mulai mendominasi keheningan. Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya, Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya Ayah dengarlah.. betapa sesungguhnya ku mencintaimu Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu Andaikan detik itu kan bergulir kembali Ku rindukan suasana basuh jiwaku Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu ‘Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati
Mata Jovian terasa panas mendengar lantunan lagu yang menyentuh hatinya itu. Jovian menyadari anak lelakinya itu tumbuh dengan baik, bahkan sangat baik. Salah satu hal besar dalam hidup Jovian, bayi mungilnya yang hanya bisa ia timang sebentar belasan tahun yang lalu, dibesarkan oleh sosok orang tua yang mendidik Mevin dengan baik.
Pilihan Petra memang tidak pernah salah. Kalau saja kala itu Mevin dibesarkan oleh Jovian, mungkin Mevin tidak tumbuh sebaik ini. Selepas kepergian mantan istrinya, Jovian mengalami keterpurukan finansial dan keterpurukan untuk hatinya sendiri. Hidup tidak terarah, butuh beberapa tahun untuk mengembalikan kehidupannya seperti semula. Tangan Jovian menyentuh puncak kepala Mevin dan membelainya beberapa kali. Mevin tersenyum sumringah. Ia berkata, “Cita-cita Mevin apa?” tanya Jovian.
Mevin memutar bola matanya dan tampak berpikir sejenak, ia menaruh gitar di sebelahnya dan mengikis jarak antara ia dan ayahnya. “Dokter, Pa.”
Jovian tersenyum dan menghela napas. “Mama kamu dulu dokter. Dia dokter yang hebat, dia dokter yang menangani mama Lea waktu mama Lea sakit. Janji sama Papa Jo, kalau kamu bakalan jadi dokter yang hebat, ya, Nak?”
Mevin berhenti berucap sebentar, ia masih menelaah perkataan ayahnya, keinginannya menjadi dokter muncul beberapa tahun lalu. Entah hasrat apa yang menggerakkannya ingin menjadi dokter. Tanpa disadari, ternyata itu adalah profesi mendiang mamanya, Mevin terharu.
“Pa, terima kasih, ya, udah berkorban buat kebahagiaan Mevin. Terima kasih, ya, Pa. Mevin nggak tahu apa yang terjadi antara Papa Jo dan mama Lea di masa lalu. Tapi, Mevin beruntung punya dua papa dan dua mama yang semuanya sayang sama Mevin walaupun Mevin belum sempat ketemu mama kandung Mevin. Kata Mama Lea, malaikat baik yang melahirkan Mevin itu cantik dan hebat, bahkan sekalipun nyawa mama terenggut, semua itu bagian supaya mama Lea selamat.” Mevin mendaratkan pernyataan yang menyentuh hati Jovian lagi.
“Nak, terima kasih, ya, sudah jadi anak yang baik. Please be a good son for mama Lea sama papa Jeremy. Papa sayang sama Mevin.” Pandangan mata Jovian belum berpindah dari paras anak lelakinya. Ia belum beranjak.
“Papa mau pindah ke Bali?”
“Mungkin menetap di sana dan balik ke sini untuk beberapa urusan aja. Mevin kalau main ke Bali kabarin Papa, ya? Di sana Papa tinggal sama keluarga baru papa, sama istri dan satu anak perempuan papa, anak tunggal. Kapan-kapan Mevin kenalan, ya?”
“Oh, iya, Pa? Live your happy family, ya, Pa!” Mevin memberikan senyum terbaiknya setelah berucap. Jovian mengangguk. Sejuk dan tenangnya pembicaraan kala itu menyuarakan kebahagiaan di hati masing-masing dari Mevin dan Jovian.
Mevin merogoh saku jaketnya, ia mengeluarkan sebuah kotak lalu memberikannya kepada Jovian.
“Ini apa, Vin?” Jovian mengernyitkan dahinya seraya tangannya menerima pemberian Mevin itu. Mevin hanya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum, ia memberi isyarat agar Jovian membuka kotak tersebut. Jovian mulai bergerak membuka kotak kecil itu, wajahnya berbinar kala melihat sebuah jam tangan ada di sana dengan secarik kertas.
“Papa Jo, selama ini hari ayah berkali-kali Mevin nggak bisa ucapin ke Papa Jo. Now let me paid it all, this is a small gift from me. Happy fathers day, sorry for realized all things lately but I never regret it.” Mevin berkata mengiringi ayahnya yang memasang jam tangan itu di pergelangan kirinya.
“The more I know you, the more I feel how great and how thankful I am to be your son. Thanks for being a great person who always encourage me to do my best in everthing. I know you still care with mama Lea and of course you love mama Petra so much. I never imagine that someone who was once a stranger to me could have a vey big impact in my life. I love you, thank you for being my father. Papa Jo!” Mevin menyelesaikan kalimat yang sangat ingin ia ucapkan kepada ayahnya itu selama belasan tahun yang tertahan.
“What a great message, son! As a father, my heart so proud. I can’t say anything, Boy. Papa bangga sama Mevin.” Tanpa ada kecanggungan lagi dan untuk sekali lagi Jovian memeluk Mevin erat. Keduanya merasa terharu, bahkan rasanya seperti mimpi pertemuan kali ini.
Tiba-tiba terdengar suara kaki yang melangkah mendekati mereka bersamaan dengan Mevin serta Jovian yang merenggangkan rengkuh. Benar saja, itu adalah Jeremy dan Lea.
“Wih, asyik banget, nih, habis pada main gitar, ya?” seru Jeremy yang berjalan mendekat sembari merangkul Lea. Mevin tersenyum sambil menggaruk kepalanya.
“Iya, Mevin hebat banget main gitarnya. Petikannya mantap. Papa Jeremy yang ajarin, katanya,” sahut Jovian. Jeremy terkekeh pelan. “Cuma ngajarin dikit aja, selebihnya Mevin otodidak YouTube.”
“Ya udah, yuk, pulang dulu udah malam. Besok papa Jo juga mau flight pagi, biar papa Jo istirahat. Besok kalau papa Jo ke sini lagi, kita mampir. Kalau kita ke Bali kita kabarin papa Jo, oke, Nak? Atau Mevin mau ikut Papa Jo besok?” ujar Lea sambil membelai rambut Mevin.
Anak lelaki itu hanya tersenyum, “kapan-kapan aja ikut Papa Jo, tadi Mevin udah janji sama Papa Jo juga.”
“Ya udah, pamit dulu sama papa Jovian,” perintah Jeremy. Mevin mencium tangan dan langsung memeluk ayahnya.
“Pa, safe fligt for tommorow. Kita harus ketemu lagi, ya.”
“Sure, we have to meet again after this. Baik-baik sama mama Lea dan papa Jeremy. Yang nurut, ya, nak.” Jovian mengecup puncak kepala anaknya dan memeluk Mevin sekali lagi lebih lama.
Mevin pun bangkit berdiri sambil menenteng beberapa paper bag belanjaannya, tepatnya hadiah dari Jovian.
“Wih, banyak banget itu. Dari kamu, Jov?” tanya Lea. Jovian mengangguk. “Rapelan hadiah ulang tahun Mevin. Anggap aja begitu.” Jeremy dan Lea tersenyum.
“Banyak, ya, Nak. Bisa, nih, buka toko di rumah, sama cici sama Jevin?” goda Lea. Mereka semua terkekeh sejenak.
“Ya udah Jov, thank you. Saya sama Lea pulang dulu. Kabarin kalau pulang lagi ke sini,” kata Jeremy, ia mengulurkan tangan dan keduanya berjabat tangan dan saling merangkul sejenak.
“Pasti, Jer,” balas Jovian. Akhirnya, Jeremy dan Mevin berlalu dari sana. Kini hanya tinggal Lea dan Jovian.
“Jov.” “Lea.” Keduanya merapalkan nama masing-masing secara bersamaan.
“Kamu duluan aja,” kata Jovian dengan nada teduh. Lea tidak memberikan penuturan panjang. “Terima kasih, Jov, untuk semuanya. Aku nggak akan pernah larang kamu ketemu Mevin, kok. Kapan aja kamu mau, just let me know and I pray the best for your family.”
“Mevin deserve all those love from you and Jeremy. Aku bersyukur sama Tuhan setelah kehancuran yang aku kasih dulu, balasan kebahagiaan buat kamu sampai sekarang tergambar jelas. Terima kasih juga kamu sudah jadi sosok ibu hebat dan istri yang hebat. Aku beruntung pernah jadi bagian dari perjalanan kamu. Perpisahan kita kala itu membawa kamu menemukan rumah. Iya, kan? Jeremy sebenar-benarnya rumah buat kamu.”
“Jov, semua yang pernah terjadi antara kita atau pun antara kamu dan siapa pun yang pernah hadir di hidup kamu, anggap itu sebuah berkat. Sekali pun itu kepergian atau luka karna kalau nggak ada itu semua, sulit untuk kita pulang dan menemukan rumah. Aku pamit, Jov.”
“Terima kasih, Lea. Titip Mevin, ya? Kamu hebat.” Perasaan sendu mengiba untuk ditiadakan. Lea mengangguk, ia tersenyum lalu berbalik badan, melangkah pergi dari sana sambil menyeka air matanya yang tumpah sesaat setelah membelakangi Jovian.
“Cici! Jevin! Mama, Papa sama Mevin pulang, nih!” seru Lea sambil melangkahkan kaki masuk ke rumahnya diikuti oleh Jeremy dan Mevin. Lea menenteng beberapa paper bag berisi makanan. Tak butuh waktu lama, Jevin dan Lauren muncul dari ruang tengah. Jevin langsung berlari dan menubrukkan dirinya memeluk Mevin.
“Apaan tiba-tiba nemplok aja?” tanya Mevin yang membiarkan dirinya dipeluk Jevin.
“Gue kira lo nggak balik, sumpah, gue takut!” balas Jevin sambil merenggangkan pelukan lalu sesaat kemudian memeluk Mevin lagi.
“Dih, apaan, haha! Kenapa nggak balik?” tanya Mevin
“Kata Papa sama Mama, lo mau ketemu sama papa Jo. Gue takut lo dibawa terus nggak pulang,” gumam Jevin. Jeremy dan Lea tersenyum melihat tingkah kedua anaknya itu. Lauren membantu Lea membereskan dan menata beberapa box makanan yang Lea bawa di meja makan.
“Anak bujang Papa, bener-bener.” Jeremy dengan kedua tangannya mengacak rambut Jevin dan Mevin bergantian.
“Ma, Mevin nggak akan pergi, kan? Nggak akan ikut papa Jo, kan?” tanya Lauren lirih sambil mengerucutkan bibirnya menatap Lea.
“Cici takut, ya, Mevin pergi dari rumah ini?” Lauren mengangguk. Lea bisa melihat jelas betapa anak-anaknya saling menyayangi satu sama lain walaupun saat bersama lebih banyak keributan yang muncul.
“Mevin nggak akan pergi, Sayang. Tapi, kalau Mevin mau ketemu papa Jo, Mama nggak bisa larang. Bahkan kalau Mevin ikut Papa Jo nya juga Mama nggak bisa larang,” jelas Lea pada putrinya.
Lauren menghela napas. Lea dan anak perempuannya itu tersenyum saat melayangkan pandangan melihat Jevin, Mevin, dan sang ayah yang tengah bercanda di ruang tamu.
Lea bisa melihat jelas senyum dan tawa dari keluarga kecilnya itu. Tak ada yang pergi dan tak ada yang berubah meskipun kebenaran tentang Mevin sudah terungkap. Yang ada hanyalah rasa sayang satu sama lain yang makin terasa di tengah mereka.
Yang mereka tahu, Tuhan ikut campur tangan dalam keluarga mereka, dalam perceraian yang tidak jadi terjadi di antara Jeremy dan Lea. Bagaimana Sang Kuasa membalikkan keadaan saat Lea harus mengandung Lauren dan menerima cacian dari sekitar hingga akhirnya setelah Lauren lahir, semua memberikan rasa sayang dan perhatian untuk Lea dan Lauren dan masih banyak lagi.
Rumah bukan hanya dalam wujud bangunan utuh tempat tinggal, tapi rumah juga bisa kita artikan tempat pulang untuk raga dan jiwa kita. Ke mana kita pergi, sejauh apa pun kaki melangkah, maka kita akan pulang ke rumah. Jika menyelami waktu, sudah belasan tahun rumah tangga ini terbina. Jika ditulis pada secarik kertas, tidak akan cukup menjelaskan bagaimana rumah tangga Lea dan Jeremy bertahan selama ini.
Salam hangat,
Keluarga Adrian (Jeremy, Lea, Lauren, si kembar Jevin dan Mevin)