RUMPANG

Taeyong Oneshot AU written by : ruamhati/awnyaii

Dalam remang pagi hari, seorang wanita bernama Zefanya yang berprofesi sebagai Model dan sudah dikaruniai seorang putri berusia tiga tahun itu tengah menyiapkan seluruh keperluannya dan keperluan anaknya. Ia memasukkan beberapa baju yang anaknya butuhkan ke dalam sebuah tas. Lalu ia beranjak menyiapkan botol susu, dilanjutkan menyiapkan air hangat guna memandikan anaknya. Dengan telaten Zefanya melepas baju anaknya, memandikan dengan penuh kasih sayang. Tak lupa Zefanya juga menyiapkan sarapan bagi sang anak.

Mommy, I want chcolate sandwich for breakfast,” kata anak berusia tiga tahun itu saat Zefanya menyisir rambutnya, Zefanya menghentikan gerakannya lalu memberikan anggukan kepala.

“How about vanilla milk for drink?” Zefanya menawarkan menu kesukaan anaknya yang disambut dengan anggukan antusias dari sang anak. Zefanya membelai puncak kepala Jeanice sambil tersenyum.

“Okay, Mommy will prepare all things and please wait in dinning room, okay? Mommy will leave you in Grandma’s house, jangan nakal, jangan rewel, mommy kerja dulu, okay?” tanya Zefanya seraya beranjak berdiri sambil menangkup pipi anaknya menghadapnya, Jeanice mengangguk lalu berlari kecil menuju ruang makan. Sedangkan Zefanya mulai mengemasi barangnya dan memasukkan ke dalam handbagnya lalu berjalan menuju ruang makan menyusul anaknya.

Hari ini Zefanya memiliki jadwal photoshoot untuk kerjasama terbarunya dengan sebuah brand perhiasan. Ia harus meninggalkan anaknya di kediaman orang tuanya karena tidak mungkin membawa Jeanice untuk waktu yang lama. Hal itu sering Zefanya lakukan untuk mempermudah juga pekerjaannya.

Saat semua sudah siap, Zefanya menggandeng tangan Jeanice keluar rumah. Gadis kecil itu menghentakkan kakinya semangat dan mengepal gemas serta berkata, “After work, mommy will give me a cotton candy. Yeay!”

A big cotton candy, exactly!” timpal Zefanya sembari mengunci pintu rumahnya.

“Yeay! Yeay!” ucap sang anak bersemangat lagi lalu memeluk Zefanya, tinggi Jeanice yang hanya se pinggang Zefanya menambah kesan gemas saat sang anak memeluk ibunya. Zefanya terkekeh kecil, usai mengunci pintu rumah, ia menggendong Jeanice dan masuk ke mobil bersama anaknya. Berbagai candaan dan obrolan ringan terjalin diantara keduanya. Usia Jeanice yang sedang ingin tahu akan segala hal membuat Zefanya harus benar-benar menjawab semua pertanyaannya.

Mom, why don’t we ask Daddy to pick us this morning?” pertanyaan Jeanice diucapkan bersamaan dengan Zefanya yang menghentikan mobilnya di pekarangan rumah orang tuanya. Zefanya melepaskan seat beltnya lalu tangannya juga bergerak melepaskan seat belt anaknya.

Daddy still busy right now, but today Mommy will meet Daddy, I’ll tell him―”

“I miss Daddy.” Jeanice mengerucutkan bibirnya, Zefanya menangkup pipi anaknya lalu tersenyum dan mengangguk.

We’ll meet Daddy soon,” lanjut Zefanya. Jeanice girang langsung memeluk Zefanya, hal gemas yang dilakukan Jeanice membuat hati sang ibunda hangat saat itu juga.


Zefanya sedang menatap rinai hujan yang turun deras pada pukul sebelas siang kala itu. Baru saja ia selesai merias wajahnya dengan bantuan MUA andalannya. Photoshoot kali ini dilakukan di sebuah studio indoor yang cukup megah.

“Zee, udah siap?” suara seseorang menusuk rungunya, membuat Zefanya berbalik badan dan mengangguk menanggapi pertanyaan salah satu crew. Zefanya berjalan menuju tempat photoshoot dengan kostum long dress dengan belahan dada yang agak panjang namun juga off shoulder. Dress menjuntai panjang namun memiliki belahan di samping sebelah kanan hingga setengah paha lebih. Dikemas lagi dengan high heels penuh ornamen bak berlian yang menghiasi kaki jenjang dan indah milik Zefanya saat itu. Menambah kesan glamour dan elegan saat dikenakan.

“Ya! Posisi semua siap ya, lighting oke semua?” seru sang fotografer saat melihat Zefanya memasuki lokasi photoshoot. Pandangan mata Zefanya dan sang fotografer bertaut sesaat, pria itu memberikan sebuah senyuman dan acungan jempol melihat penampilan Zefanya. Sedangkan wanita itu hanya tersipu. Lalu sesi foto dilakukan, Zefanya melakukan beberapa pose yang menonjolkan beberapa perhiasan yang ia kenakan, anting-anting, kalung, cincin, bahkan gelang yang terpasang di tubuhnya sangat elegan dan membuatnya tampak anggun.

Netra sang fotografer tak bisa lepas memandang Zefanya dan mengabadikan pose Zefanya dalam foto-foto menakjubkan yang ia ambil. Zefanya memang nampak anggun dari segala sisi. Terkadang, tatkala sang fotografer mengambil gambar secara close up keduanya saling bertukar pandang sejenak sambil memberikan senyum. Sesi foto dua jam itu berlangsung lancar dan tanpa hambatan.

Great job! Thank you guys!” seru beberapa crew saat sesi foto selesai dilakukan.

“Zee!” seru sang fotografer saat Zefanya hendak keluar dari sana, akhirnya wanita itu menghentikan langkahnya. Ia membawa pandangannya menatap pria yang memanggilnya tadi.

Can we walk home together?” tanya pria itu sambil menutup lensa kameranya lalu menatap Zefanya lagi.

But you said that you have another schedule after this,” balas Zefanya.

“I was cancelled it. Would you?” Zefanya mengangguk, pria tadi mengelus pipi Zefanya sejenak, “Okay, I’ll wait you at lobby, but I will give some file to crew first,” lanjutnya sambil menepuk pundak Zefanya lalu berlalu dari sana.

Zefanya usai mengemasi barang dan berganti pakaian, ia berjalan ke lobby seorang diri. Benar saja, pria tadi sudah ada di sana menunggu Zefanya sambil memainkan ponselnya.

“Theo!” seru Zefanya dari jarak beberapa meter, Theo mendongak lalu bangkit berdiri menatap Zefanya. Theo menyambut Zefanya yang menghampirinya dengan tangan terbuka tanda memberi pelukan. Zefanya datang dan memberikan jawaban pada lengan yang terbuka lebar itu. Sebuah pelukan hangat diberikan Theo untuk Zee kala itu. Untuk beberapa detik, pelukan itu membuat Zee luruh dalam dekap hangat Theo. Bak sebuah zat yang meluruhkan semua lelah, bak sebuah penghilang letih.

Pick Jeanice up first, okay?” tanya Zee seraya merenggangkan pelukan. Theo menangkup pipi Zee dengan kedua telapak tangannya lalu mengangguk. Keduanya berjalan beriringan menuju parkiran, tangan Theo juga melingkar di pinggang Zee, keduanya saling menatap dan melemparkan senyuman kepada satu sama lain.


Malam ini, usai menjemput Jeanice di kediaman orang tua Zee, Theo dan wanita itu kembali pulang ke rumah Zee. Sebagai single parents, Zee merasa senang dan juga cemas saat menyadari anaknya mulai akrab dengan rekan kerjanya, Theo.

“Mommy, I want to play with uncle daddy before go to bed, can i? Can I uncle daddy?” binar mata Jeanice, gadis mungil itu menembus hati Zee. Theo yang berdiri di sebelah Zee yang masih bergelut dengan membuka kunci rumah pun meraih Jeanice dalam gendongannya.

“Sure, why not?” kata Theo lalu menghujam pipi Jeanice dengan satu kecupan. Jeanice mungil tersenyum senang. Mereka bertiga masuk ke kediaman Zefanya itu. Mereka langsung duduk di sofa ruang tamu saat itu, waktu sebenarnya sudah menunjukkan waktu tidur untuk Jeanice. Namun, gadis mungil itu masih terlalu senang karena kedatangan Theo.

Theo adalah rekan kerja, teman SMA sekaligus fotografer yang berada di satu naungan management dengan Zee. Theo bahkan sudah mengenal Zee sebelum wanita itu menikah, bahkan setelah bercerai pun Theo masih disana dengan perasaan yang sama. Perasaannya tak berubah sedikitpun untuk wanita ini, meski dengan keadaan Zee yang sudah bercerai dan dikaruniai seorang anak perempuan. Theo pun sudah sering mengungkapkan perasaannya kepada Zee, tapi tetap saja Zee tidak memberikan jawaban pasti. Sedangkan, Jeanice selalu memanggil Theo dengan sebutan uncle daddy karena kehadiran Theo yang terhitung lebih sering daripada ayahnya sendiri, Jordan. Zee dan Jordan bercerai sejak usia Jeanice masih beberapa bulan karena Jordan berselingkuh dengan sekertarisnya sendiri. hati Zee hancur, selingkuh dan mendua hati bukanlah kesalahan yang wajar untuk ditoleransi. Oleh karena itu, pilihan berpisah adalah yang terbaik yang bisa Zee pilih.

Hampir tiga tahun Zee lewati dengan berkawan sepi, mencari cara agar luka hatinya terobati. Melihat garis waktu namun belum juga temukan titik temu. Kehidupan ia jalani dengan pasrah, ada Theo yang lebih peduli dengannya dan Jeanice daripada Jordan, mantan suaminya yang hanya mengandalkan uang dan mengklaim dirinya selalu menghidupi dan memerhatikan Zee serta Jeanice.

Malam itu, Zee sibuk membereskan rumah, sedangkan Theo membacakan dongeng untuk Jeanice dan menemani Jeanice bermain di kamarnya sebentar.

Uncle daddy, why don’t you spend overnight here? I want to see you when I wake up tomorrow,” kata Jeanice sambil memeluk Theo yang berbaring di sebelahnya.

“If your mom give uncle permission, I’ll stay here tonight,”* balas Theo tersenyum.

Jeanice memanyunkan bibirnya, “I think mommy will say yes, I really want to have breakfast together with you and mommy. Because daddy is too busy, please stay here uncle,” lanjut Jeanice dengan menatap Theo penuh harap. Tak lama Zee masuk ke kamar itu lalu berjalan dan duduk di tepi ranjang sebelah Jeanice yang kosong.

What do you talk about with uncle Theo?” tanya Zee sambil mengelus kaki mungil anaknya.

Mommy, I want uncle Theo stay here for tonight, so tomorrow we can have breakfast together,” kata Jeanice lalu merangkak dan memeluk mamanya. Mata Theo dan Zee bertaut sesaat, Theo mengedikkan bahunya. Zee tersenyum lalu membelai rambut panjang Jeanice.

Okay, just for one day because uncle Theo also have another things to do and he must go to work.” mendengar perkataan Mamanya, si kecil Jeanice memeluk Zee sejenak lalu menghampiri Theo dan memeluk Theo juga. Mata Zee dan Theo bertaut lagi, keduanya menghela napas panjang dan tersenyum. Jujur saja, hati Zee juga bergetar hebat saat ini. Sedangkan Theo masih berada di ketidakpastian, walaupun belum mendapat sinyal lampu hijau dari Zee, ia tetap maju dengan mempertahankan perasaanya.


Theo masih sibuk membacakan dongeng untuk Jeanice. Sedangkan Zee sibuk di dapur menyiapkan minuman hangat untuknya dan Theo. Mungkin setelah Theo menidurkan Jeanice, kedengarannya baik untuk menikmati waktu utuk ngobrol. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar membuyarkan konsentrasi Zee, ia beranjak berjalan menuju ruang tamu dan mengintip dari balik gorden, dilihatnya seseorang keluar dari mobil dan dengan langkah cepat Jordan menuju pintu rumah itu. Karena Zee tidak bisa melihat jelas orang tersebut, ia langsung membuka pintu.

“Zefanya!” seru Jordan saat mendapati mantan istrinya membukakan pintu.

“Mau apa?” tanya Zefanya ketus.

I just want to meet you and Jeanice,” kata Jordan namun Zee menepis tangan suaminya dengan kasar lalu beranjak masuk, Jordan mengikutinya sambil berusaha menghalangi jalan Zee, mantan istrinya itu mendelik ke arah Jordan namun dengan mata yang berkaca-kaca.

“Mending kamu pulang! Aku nggak mau lihat kamu lagi!” bentak Zee.

“Ada mobil siapa di depan? Bukan mobil kamu, bukan mobil mami papi kamu juga. Siapa?” Jordan malah menanyakan hal lain.

“Peduli apa kamu?” balas Zee dengan pandangan sinis.

“Pasti Theo kan? Pacaran kamu sama dia?!” Jordan geram meninggikan suaranya.

“Capek.” Zee berkata dengan suaranya yang parau, Jordan terdiam melihat Zee yang sudah hampir menangis.

Can you just be honest? Are you in relationship with him?” tanya Jordan, Zee menggelengkan kepalanya lalu menyeka air mata yang mulai jatuh.

“Bukan hak kamu, bukan ranah kamu buat tahu tentang kehidupanku lagi,” kata Zee dengan sebenar-benarnya, karena memang terlalu banyak yang harus ia jabarkan dalam wujud kalimat.

“Udah aku bilang kan kita pasti bisa―”

“Bisa apa?!”

“Balikan!” Jordan berkata dengan geram.

There’s no second chance for a cheater like you!” mendengar ucapan Zee itu, Jordan memegang kedua Pundak mantan istrinya dan menundukkan kepalanya sedikit agar pandangannya sejajar dengan pandangan Zee. Jejak air mata terbentuk di wajah ayu Zee, sungai air mata itu mengalir deras tanpa henti, mata Zee sudah basah.

“Kamu nggak ada hubungan, kan, sama Theo? Jawab aku!!” Zee memaksa melepaskan tangan Jordan dari pundaknya,

“Lepas!“ ucapnya lirih sambil melirik menatap tangan yang masih memegang pundaknya itu lalu mendelik lagi ke arah Jordan. Sedangkan, Jordan tidak melepasnya.

“Lepas, Jordan!” seru Zee dengan suara nyaring. Tanpa bergeming, Jordan tetap menahan Zee dalam dekap dan tidak melepaskan sama sekali.

“Pergi kamu, pergi!” Zee mendorong tubuh suaminya itu dengan sedikit kasar kali ini.

“Enggak, aku kangen kamu.”

“Pergi, bajingan!” Zee terisak dan mendorong tubuh Jordan paksa, wanita itu melayangkan satu pukulan pelan di dada Jordan sebelum ia menangis terisak sambil meremas baju mantan suaminya itu.

“Kamu biarin aku sama semua beban hidup aku, kamu enak-enakan selingkuh sama sekertaris kamu. Aku hamil, aku melahirkan pun kamu tahu dari keluarga karena lagi asyik sama selingkuhan kamu! Nggak cukup bikin aku tersiksa? Kita udah punya kehidupan sendiri-sendiri! Kenapa? Nyesel?” Zee tertawa, sedetik kemudian ia menangis, Jordan diam, Jordan tidak bisa menyanggah kalimat Zee, jantungnya berdetak kencang, ia mengepalkan tangan menahan emosinya, kali ini memang Jordan merasa sangat bersalah. Kini, Zee menjauhkan badannya dari Jordan, ia berjalan ke ambang pintu.

“You can go now,” kata Zee sambil menyeka air matanya sendiri.

“Enggak, aku mau ketemu Jeanice.” Jordan malah melangkah berbalik badan, menaiki tangga dengan cepat dan hendak menuju kamar anaknya, namun mati-matian Zee menarik lengan pria gagah itu namun tetap saja, pergulatan dua insan yang ingin menahan dan tidak ingin ditahan itu terjadi. Saat sampai di depan kamar Jeanice, Theo keluar dan langsung mengunci pintu kamar itu. Menahan dan memastikan Jordan tidak bisa masuk ke sana.

“Ini? Yang mau kamu kasih lihat ke aku? Tebakan aku bener, kan?” Jordan menatap Zee dan Theo bergantian. Zee seakan mati rasa, kondisi macam apa ini?

“Kenapa?” tanya Theo ketus.

“Lo ngapain disini?” balas Jordan.

“Jagain Zee sama Jeanice, kenapa? Mau marah? Lo punya hak apa emangnya?” balas Theo terkekeh seakan mengintimidasi Jordan. Mantan suami Zee itu kesal, ia mencengkeram kerah baju Theo dan menyeretnya paksa menuruni tangga dan menarik Theo ke teras rumah Zee.

“Theo! Jordan!” Zee panik dan berjalan mengikuti mereka, sesekali Zee melerai dan memisahkan mereka namun percuma.

Kerah baju Theo ditarik Jordan dan tangannya langsung berpindah menggenggam kerah baju bagian depan milik Theo.

“Jordan! Theo!” Zee memekik dan langsung menghampiri Jordan serta memaksa tangan Jordan lepas dari tubuh Theo namun Jordan menepisnya.

“Ngapain lo disini!?” kata Jordan mendelik.

“Lo yang ngapain? Kenapa marah? Lo nggak berhak atas Zee lagi!” Theo mengangkat alisnya.

BUG!

Satu pukulan mendarat di pipi Theo, Zee panik, berulang kali ia hendak memisahkan Jordan dan Theo namun hasilnya nihil.

“Jordan! Jangan gila ya!” bentak Zee, namun Jordan dan Theo tengah terjebak saling hantam sekarang.

“Can both of you just stop?” Zee menengahi dan sedikit lebih berteriak, hingga akhirnya Jordan melepaskan tubuh Theo dari kuasanya. Ia mendorong dan menghempaskan tubuh Theo ke lantai.

“Nggak usah sok peduli sama mantan istri orang!” kata Jordan lalu menendang sekali lagi kaki Theo, Zee menarik dan menahan tubuh kekar Jordan. Ia sudah menangis disana.

“Jordan, kamu gila ya?!” Theo terkekeh, “Sorry, kalau kesannya gue sok peduli tapi gue memang tulus peduli. Perempuan tulus kaya Zee berhak bahagia!” ucapan itu sebenarnya menyulut emosi Jordan lagi namun Zee menarik Jordan menjauh.

“Pergi atau aku nggak akan kasih kamu waktu ketemu Jeanice selamanya?” Zee menatap Jordan dengan mata yang sudah basah.

“Zee―”

“Pergi! Aku bilang pergi!!” Zee berteriak, maka dengan langkah gontai, Jordan hengkang dari sana. Saat mobil Jordan sudah meninggalkan pekarangan rumah itu, Zee terduduk lemas di lantai lalu menangis sejadinya. Theo langsung meraih tubuh lemah itu dan mengangkat tubuh Zee, ia memeluk Zee dan menenangkan sang puan. Zee tidak membenci pelukan Theo, tidak seperti pelukan Jordan yang menyakitkan. Zee balas pelukan hangat itu, ia menangis sejadinya disana.

Theo tidak pernah membenci Zee walaupun perlakuan Jordan sudah keterlaluan, malah keinginan Theo untuk melindungi Zee lebih menyeruak setelah melihat perilaku Jordan.

“Theo maaf,” isak Zee di pelukan Theo.

Isn’t your fault, I’ll protect you as much as I can.” kalimat penutup dari Theo membuat Zee semakin luruh dalam tangis kala itu. Theo ingin menjelma sebagai hujan yang bilurnya bisa menghapus luka di hati sang puan, ingin membuat kenangan indah yang bersemi di hati Zee. Bukan kenangan buruk seperti yang Jordan torehkan. Mungkin sabar dan sayang Theo seluas lautan tenang namun bisa menenggelamkan kapan saja. Tapi hatinya setegar karang, tak peduli berkali dipecah ombak, ia tetap disana, dengan perasaan yang semakin membumbung tinggi bagi Zee.


Zee dan Theo sedang duduk bersebelahan di ruang tv, tak ada kata, keduanya menggenggam cangkir berisi teh hangat saat itu. Zee baru saja selesai mengobati luka di wajah Theo akibat perbuatan Jordan tadi.

“Zee,” kata Theo membuka pembicaraan.

“Ya?”

“Perasaanku masih sama, can you just give me an answer?”

“Theo.” Theo menaruh cangkir yang ia pegang, ia juga meraih cangkir dalam genggaman Zee lalu menaruhnya di atas meja. Jemari tangan Zee digenggam Theo erat, netra keduanya bersua. Berkali-kali Zee mengerjap, berkali Zee membuang pandangannya dari Theo.

Zee, look in to my eyes, say no if you don’t love me, just hug me if you want. Or you can slapped me if you want me to go out from here.” setelahnya, Theo tertunduk, ia pasrah akan jawaban yang setelah ini akan Zee ucapkan. Pikirannya berkelana merajalela kemanapun, penolakan adalah hal yang tidak ingin ia dengar.

Tiba-tiba Zee menangkat tangannya, Theo memejam, ia tidak mau melihat wajah Zee, apakah tamparan yang akan ia terima? Tangan Zee sudah mengudara, namun tertahan. Saat Theo memejam, ia tidak merasakan tamparan melainkan sebuah pelukan. Zee memeluknya! Theo membuka mata, wanita di depannya sudah mendekapnya.

Yes, I wanna be with you, kamu lebih baik dalam menjaga aku sama Jeanice dibanding Jordan.” Bisikan itu menusuk pendengaran Theo.

“Serius? You aren’t kidding me, right?”

Zee menggeleng, Theo membalas pelukan itu. Ada sebuah cerita yang mudah terangkai, ada juga yang sulit terangkai. Ada cerita yang mudah usai ada juga yang sukar usai. Pada akhirnya, nestapa yang Jordan hadirkan kini Theo gantikan dengan sukacita. Kendati tiga tahun belakangan ini Theo harus terjebak beberapa perdebatan dan perkelahian dengan Jordan, itu bukan masalah.

Waktu memaksa Zee harus berpisah dengan Jordan. Waktu juga mengharuskan Zee kini menempuh perjalanan baru dengan Theo. Waktu tidak pernah salah untuk datang jika keduanya mau berjuang, memang, mungkin Theo harus berjuang lebih ekstra, namun semua itu kalah oleh jawaban penerimaan dari Zee saat ini.

Zee merasa cukup dengan luka yang Jordan berikan―maka pergilah ia dengan meninggalkan segala hal yang pernah di genggam dan diukir bersama Jordan. Namun, kini yang harus Zee genggam adalah ceritanya bersama Theo.


Usai Theo mandi dan membersihkan badan, ia mencari dimana keberadaan Zee, ternyata wanita tadi sedang berada di kitchen bar, menyiapkan cemilan malam. Akhirnya Theo mengendap perlahan dan memeluk Zee dari belakang.

“What are you doing, babe?” bisik Theo.

Oh my God, see... you call me babe, haha,” balas Zee sambil terkekeh kecil.

“I promise I want to protect you as much as I can.”

Promise to never leave? How about Jeanice?” Zee menghentikan kegiatannya, ia menyandarkan tubuhnya di tubuh gagah Theo dan mendongakkan kepalanya dengan sedikit miring agar bisa melihat paras sang tuan.

I love you and also Jeanice, no matter what happened. Jeanice is my daughter after this,” balas Theo lalu memberi satu kecupan singkat di bibir Zee. Keduanya merenggangkan pelukan, Theo membawa Zee menghadapnya

I love you, I always will. So please don’t ever leave me and Jeanice.” Kalimat itu membawa Theo memeluk Zee merat erat.

So, after this, Jeanice will call you daddy, just daddy, without uncle.” Zee terkekeh kecil. Keduanya merenggangkan pelukan dengan posisi berhadapan. Kini Theo menyeringai lalu mengangguk, “Daddy Theo,” katanya. Theo menarik tubuh Zee mendekat, perlahan namun pasti, kini bibir keduanya bersentuhan. Zee menjadi terharu, hatinya berdesir dan ia meneteskan air mata Bahagia. Theo yang merasakan ada bulir air mata lolos dari mata Zee pun merenggangkan pagutan sesaat.

“Are you crying?” tanya Theo. Zee mengerjap beberapa kali, membuang pandangan tapi Theo membawa wajah Zee menatapnya lagi.

I’m happy for this, like... I still can’t believe, kamu terima aku dengan segala kondisiku.” Theo pun mengecup lama kening wanitanya sebelum mendekapnya hangat. Tak ada yang lebih indah dari perasaan dua anak adam yang saling berpadu serta berjanji untuk saling mencinta dan menjaga. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Theo untuk melabuhkan hati selamanya setelah ini. Elegi panjang terlewati dan kini, keduanya sigap menapaki langkah yang pasti akan lebih terjal dari sebelumnya, namun keduanya saling meyakinkan, untuk apa takut akan hari depan?

Perasaan dan hati Zee adalah sebenar-benarnya sesuatu yang ingin Theo jaga selama ini dengan segala kesungguhan. Maka berbagilah mereka berdua malam itu dalam balutan peluk yang mereka bagi berdua. Keinginan dari Theo untuk menutup luka lama yang Jordan ukirkan di hati Zee semakin menyeruak.

Dalam pelukan dan satu kecupan di puncak kepala Theo panjatkan harap agar menemukan satu titik temu, harapannya untuk hidup harmonis dengan Zee dan Jeanice ke depannya juga ia panjatkan. Bertukar peluk dan bertukar perasaan membuat malam itu terasa indah bagi mereka. Dada bidang Theo adalah tempat senyaman-nyamanya untuk Zee bersandar, keduanya masih saling mengadu dalam dekap dan mata yang memejam.

Detik selanjutnya cerita baru dibuka lagi dengan bibir keduanya yang menyatu dan lidah yang bertaut, tangan Theo yang memeluk erat pinggang Zee kala itu bergerak juga berperan sebagai yang menekan tengkuk leher Zee guna memperdalam ciumannya. Lumatan dan tempo yang mengalun untuk keduanya menjadi sebuah hal yang memancing keduanya lebih dalam lagi dalam afeksi candu malam itu. Nyanyian malam itu dibentuk oleh perpaduan cecapan bilah birai diantara keduanya yang menjelma bak syair indah yang terdengar bagi Theo maupun Zee.

Zee pun dengan sukarela membalas pagutan itu, maka terdiamlah mereka berdua tanpa suara untuk sesaat karena saling menghisap belah bibir untuk waktu yang lama dengan hati yang masih berdesir hangat. Bibir dicecap, dilumat, dilepas dan dicecap lagi. Bergantian meraja belah bibir yang diikuti liukan lidah yang bertaut satu sama lain yang menginvasi rongga mulut satu sama lain. Sungguh, setelah ini Theo akan lebih cakap dalam menjaga.

“Theo ahh,” mulut Zee kini merapalkan nama sang tuan dalam desahan merdu yang membuat Theo ingin melakukan lebih lagi.

“Zee―mmhh,” Theo juga sedikit melenguh saat sisi liar dari Zee menyala terlebih saat Zee menggigit sedikit bibir bawah Theo. Lumatan di bibir mereka menjadi agresif dan lebih menuntut. Lidah mereka saling beradu didalam rongga mulut Zee saat Zee memberi akses bagi Theo untuk mengeksplor setiap inci rongga mulutnya dengan mulut yang sedikit terbuka, kesempatan itu langsung dimanfaatkan Theo sebaik mungkin. Tak bisa lagi Zee sebut nama Theo hanya sebagai prakata dalam kisahnya namun sudah menjadi bagian dari keseluruhan kisah yang akan mereka torehkan berdua. Theo membawa sang puan, mengangkat tubuh sang puan dan mendudukkan di kitchen bar.

Tangan Zee dikalungkan di leher Theo. Keduanya saling memainkan lidah dengan lihai tak hanya saliva yang ditukar mungkin juga isi perasaan. Sepasang netra yang bertemu saat itu beradu tatap bertukar senyum, tatapan mata Zee selalu beri ketenangan bagi Theo, mereka pun memejamkan mata lagi. Pada sorot mata yang saling memberi isyarat agar tetap tinggal dan mencinta satu sama lain.

Tangan Theo perlahan bergerak melucuti long shirt berwarna putih yang Zee kenakan, tapi ia hentikan saat kedua tangan Zee menekan tengkuk leher Theo makin dalam. Theo tidak pernah menyangka akan jatuh cinta sedalam ini dengan Zee, begitu juga sebaliknya.

“Zee, can I do something? because you are too hot, I want to steal your body’s heat.” bisikan dari Theo membuat Zee mengangguk sukarela. Malam itu, keduanya dibalut api asmara yang baru saja dibakar lebih lagi setelah pengakuan dan penerimaan satu sama lain. Tangan Theo bergerak bermuara di dua gundukan kenyal di dada Zee. Dilakukan dengan penuh cinta, tanpa terburu, Zee membuat Theo semakin gencar melakukan gerakan tangan meremas payudaranya dari luar kain yang membalut.

Zee melenguh beberapa kali membuat Theo terangsang untuk melakukan lebih. Tangan gagah Theo malam itu adalah sebenar-benarnya penguasa tubuh indah milik wanita bernama Zefanya. Pusat tubuh keduanya sebenarnya juga bergesekan dari luar kain di bawah sana. Ada hati yang mulai ditinggali oleh sebuah ambisi. Permukaan pipi Zee sedikit tergenang air mata, namun hal itu membuat Theo menggendong Zee bak koala, Zee juga melingkarkan kaki di pinggang Theo. Pria gagah itu menggendong Zee menuju kamar wanitanya bak koala tanpa melepas pagutan, bahkan kadang ciumannya berpindah ke pipi dan leher jenjang Zee.

Bibir Theo bermuara pada wajah ayu Zee sebelum turun mengeksplor leher jenjang sang puan yang kadang membuat tubuh Zee bergetar disebabkan oleh perlakuan lembut dan brutal dari bibir dan lidah Theo. Tak ada api cinta yang padam, yang ada hanyalah api yang semakin membara. Keduanya sedang mencintai, bukan hanya satu pihak. Lidah licin Theo berhasil menjelajahi bagian leher Zee malam itu. Saat Theo mulai membantu Zee melucuti helai demi helai benang yang menempel di tubuh wanita itu, Zee juga menuntun Theo melepaskan semua yang ia kenakan. Dalam sekejap perca ditanggalkan, Theo mencumbu secara brutal lagi bibir sang puan bahkan beradu lidah dan bertukar saliva dengan sukarela.

Tangan Theo menyapa lipatan lembab di bawah sana. Digesekkan jarinya pelan, mencari dimana letak pertahanan sang puan lalu memberikan gerakan menekan dan memainkan dengan jarinya. “Akhh―Theo mmh,” racau Zee terbata-bata.

Can I do that?” tanya Theo yang langsung diiyakan Zee.

Wanita itu mengalungkan tangan di leher Theo dan memanggil nama sang tuan dalam desahnya. Theo melepaskan ciuman dan langsung menurunkan posisinya lalu menyejajarkan posisi wajahnya dengan pusat tubuh Zee. Theo tidak memberi aba-aba dan ia langsung memainkan liang surgawi milik Zee dengan bibir dan lidahnya. “Hmphh―Theo, Ough―” Zee kehilangan kata-kata saat pusat pertahanannya diserang bertubi-tubi oleh Theo dengan lembut.

“If you like my name just moan it, because I like your name too.*” Theo menyeringai sesaat sebelum bergelut lagi dengan pusat tubuh Zee dengan memberikan gerakan nakal lidahnya menjilat, menusuk bahkan mengoyak dengan jarinya. Zee terengah di atas sana. Theo mengangkat kaki Zee dan menaruh kedua kaki jenjang itu di pundaknya.

“Theo―ahh, I like your name,” Zee semakin meracau. Theo menambah sedikit kecepatan jari dan lidahnya yang bergantian, Zee sibuk meremas surai Theo guna menyalurkan nikmat. Keduanya hanyut dalam naungan kabut gairah malam itu. Hati Zee telah dijarah dan ia pasrah akan perlakuan Theo yan memabukkan ini.

Deeper, you can go deeper to lick it,” perintah yang ditunggu oleh Theo kini menusuk rungunya. Ia pun menggunakan dua jarinya guna membuka lipatan pusat tubuh Zee, ia buka dengan kedua jarinya agar mempermudah Theo memanjakan sang puan. Dengan bantuan dua jari Theo itu mempermudah Theo mempermainkan Zee habis habisan. Theo memberikan serangan dengan lidah dan bibirnya yang menghisap dan meraup habis kenikmatan surgawi itu tanpa sisa. Jari tangannya memberikan gerakan memutar di clit milik Zee beberapa kali.

“Theo―nghh,” Zee memejam sambil menggigit bibir. Sungguh Theo seliar ini, namun juga tidak bisa dipungkiri Zee hanyut dalam permainan Theo karena ia sudah lama tidak merasakannya.

Sebuah gigitan kecil membuat tubuh Zee sedikit tersentak, clit Zee dalam kuasa Theo diberi sapaan oleh lidah dan gigi bahkan bibir yang hampir bersamaan, sungguh membuat Zee lemah dan meracau tanpa henti.

Gerakan jari Theo untuk mengoyak liang surgawi bertambah cepat hingga sang puan kewalahan, kaki jenjang Zee juga ikut bergetar saat hampir mencapai pelepasannya. “Akh! Theo―It’s close, mmhh,” Theo tidak tahu bagian mana yang memabukkan dari seorang Zee. Yang ia tahu ia akan bawa bahagia dan nikmat bagi wanita pujaannya. Benar saja, Theo kembali memberikan gerakan cepat disana diselingi lidahnya hingga sang puan melenguh nyaring.

Akh―hmphh, Theo, ahh,” pekikan nyaring iringi Zee hampir capai puncaknya. Theo bawakan nikmat, gerakan dan hisapan serta permainan dengan lidah bawa Theo mendengar lagi suara dari sang puan.

“Theo, I want to―akhhh!” benar saja, Zee mencapai puncaknya, cairan bening dan hangat membasahi pusat tubuh Zee, ia mencapai pelepasannya oleh ulah Theo, secepat kilat Theo menghabisi cairan surgawi itu, kaki Zee bergetar dan dadanya membusung, napasnya terengah, kini, Theo beranjak dan memeluk lalu meraup ranum Zee dan membelai pipi Zee lembut, ia sematkan kecupan untuk waktu yang lama di kening Zee juga.

I want you tonight, would you spend this night with me?” bisik Theo tepat di telinga Zee lalu mengecup telinga Zee yang membuat wanita itu masih terus bergidik. Keduanya merenggangkan pelukan, Zee mengangguk lalu tersenyum dan mereka sematkan sebuah kecup bagi satu sama lain.

Theo jelma sebaik-baiknya tokoh malam itu, perlahan ia membuat Zee berbaring dengan lembut, ia jaga benar tubuh mungil dalam dekapannya itu dengan hati-hati. Saat sudah mendapatkan posisi terbaik dan menurut mereka paling nyaman untuk saling mengukung, maka bergeraklah lagi birai dan lidah Theo memimpin pemanasan kala itu.

Kini Theo mengukung lagi tubuh Zee memberikan kecupan dan mengeksplor bagian leher jenjang dan dada Zee. Ia gencar meraja dan Zee tidak lagi menghindar, bahkan saat Theo menghisap payudaranya, Zee memeluk erat leher Theo seakan memohon Theo memperdalam kegiatannya dan perlakuannya terhadap bagian sensitifnya itu.

Puncak payudara Zee diberi perlakuan terbaik malam itu, tangan Theo yang satu menangkup pipi Zee, sedangkan tangan satunya meremas payudara yang belum ia cecap. Satu jari Theo masuk ke mulut hangat Zee yang langsung dihisap oleh Zee sebagai media menyalurkan nikmatnya juga. Theo berada untuk waktu yang lama di bagian payudara Zee selagi menghisap dan memainkannya bak anak kecil yang kehausan. Menghisap dan mencecapnya, ia tak ingin berkisah, hanya ingin meraja. Kalaupun harus berkisah mungkin hanya ada Zee sebagai pemeran utamanya.

Mhh, Theo...” Zee hanya ungkapkan nikmat dalam setiap lenguh dan desahnya yang beradu lembut dengan bunyi decapan yang Theo berikan.

Lenguh keduanya beradu memecah sunyi dalam isyarat kenikmatan yang tidak bisa dibendung. Theo bak tidak memberikan Zee ruang untuk menghirup oksigen, walaupun bibirnya belum diraup habis oleh Theo namun napas Zee tersengal saat Theo melakukan dua kegiatan yang membuat Zee menggila sekaligus. Memberi sengatan di payudara Zee dan memainkan lagi pusat tubuh Zee yang sudah basah pasca pelepasan pertamanya tadi. Tangan Theo sesekali iseng mencubit dan memilin lalu meremas payudara Zee. Degup jantung kini tak beraturan, aliran darah Zee tak beraturan lebih dari detak jantungnya.

Setelah itu Theo kembali menyerang bibir Zee dengan lebih brutal, memberikan bungkaman oleh birainya yang hangat pada bibir ranum Zee yang manis bak candu bagi Theo itu. Bait puisi malam itu digantikan oleh larik dan sajak yang mereka ungkap dalam kalimat yang mendayu, tubuh Zee masih menggeliat. Ada nama Theo dalam setiap desahnya.

“Theo, ahh—” desah Zee kala merasakan bibir bawahnya sedikit digigit oleh Theo.

Theo kini mencumbu bagian leher gadisnya itu hingga Zee mendongakkan kepala dan meremas rambut Theo, tubuh Zee resah mulutnya terbuka menahan dan ingin menyalurkan segala nikmat yang ia rasakan. Kenikmatan semakin membumbung tinggi, kabut gairah semakin melingkupi.

Theo bisikkan kalimat lirih di telinga Zee, “Don’t ever leave me,” bisiknya, seketika Zee menoleh, netra kedua bersua maka sang puan mulai merasakan matanya panas namun disaat yang bersamaan ia menjatuhkan hati lebih dalam lagi kepada lelaki yang dititipkan seseorang untuknya, tidak mungkin semua ini Zee lakukan tanpa cinta. Gelora merasuki jiwa mereka, susunan cerita baru akan disusun setelah ini.

Untuk kali ini Zee menarik dagu Theo menyatukan bilah bibir mereka saat itu. Zee menahan mati-matian agar air matanya tidak tumpah. Zee memimpin pertukaran saliva kala itu dengan begitu manis dan epik hingga sang tuan kini berada di bawah kendali Zee. Tubuh Zee kini berada di atas tubuh Theo untuk menjalankan pergerakannya, Zee menurunkan ciumannya ke belakang telinga Theo dan menjilat serta mengulum bagian sensitif telinga Theo.

“Zee, ahh,” Rongga mulut yang sedikit terbuka itu kini menjadi terbuka seluruhnya. Sentuhan seduktif jari-jari Zee membuat tembok pertahanan Theo runtuh juga, ia hanyut dalam perlakuan sang puan. Lirih lenguh mengalun bersama.

“Mhh, Zee,” lenguh Theo saat merasakan lidah hangat Zee menyentuh bagian belakang telinganya bahkan menjalari lehernya dan kembali lagi mengulangi perbuatannya. Tubuh yang terasa panas kini menjadi tempat senyaman-nyamannya mereka memadu kasih.

Perut sempurna Theo diraba dengan berbagai gerakan sensual oleh Zee. Ciuman kembali Zee daratkan di bibir Theo selagi lidah mereka saling menginvasi satu sama lain, semesta seakan berhenti berputar saat keduanya memadu kasih. Bertukar hangat perasaan dan keinginan serta janji meraja satu sama lain untuk seterusnya dalam ikatan cinta.

“Your arms and hands look heavy, can I hold that?” bisik Theo sambil menyeringai.

“Sure, can I borrow your lips? I promise to give my lips back then,” saat itu juga Theo membawa kedua pergelangan tangan Zee yang sudah disatukan dalam genggamannya ke atas kepala Zee hingga ia bergerak bebas dan Zee tidak akan melawan, ia menyatukan lagi milik mereka hingga keduanya saling bersentuhan dalam senggama yang membawa hasrat nikmat malam itu, seketika bunyi decitan beradu dengan desahan lirih yang lolos kala lidah keduanya bertaut dan juga Theo yang bersiap memimpin penyatuan di bawah sana. Theo melepaskan genggaman tangannya yang menahan kedua pergelangan tangan Zee. Maka bergeraklah bebas tangan Zee kemanapun ia mau.

Pusaka milik Theo kini sudah menegang meminta untuk diberi perlakuan lebih. Terbelenggu oleh nikmat buaian malam yang indah, kini, Theo menuntun tangan Zee agar mulai memainkan kejantanannya dan memberikan gerakan disana dengan tangannya. Benar saja, Zee memberikan gerakan mengurut naik turun perlahan, keduanya saling menatap namun gerakan itu bak sebuah candu hingga Theo memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya. Renjana malam membuang sisa tangis Zee dan gantikan dengan sebuah asa memikat dua isan dalam penyatuan lalu dalam sekali hentakan Theo menyatukan pusakanya ke dalam liang surgawi milik Zee saat itu.

“Zeee―ngh.”

“Theo―mhh,”

“Theo, akhh!” pekik nyaring menusuk rungu Theo saat ia benar-benar menyatukannya. Napas keduanya beradu , berburu kabut gairah kenikmatan, hal ini dilakukan Theo dan Zee penuh cinta yang membuat keduanya saling ingin meninggali dan ditinggali.

Gerakan pinggul naik turun dan memutar yang Zee berikan tak kalah jelma adiktif bagi Theo. Dua gundukan kenyal yang menggantung di dada Zee tak Theo biarkan begitu saja. Tangan gagah Theo jelma sang penguasa yang bebas memberikan gerakan apapun bagi sang puan. Kini, Zee mengalungkan tangannya di leher Theo lagi, lumatan brutal berlangsung lebih lama hingga kedua tangan Theo menjalankan tugasnya masing-masing dan lidah serta bibirnya memanjakan sang puan dengan sentuhan sensual yang ia buat. Dikecup dan sedikit dihisapnya bagian leher dan berpindah ke puncak payudara membuat sang empu merasakan gelenyar dalam dirinya sedari tadi. Namun dibawah sana keduanya masih menyatu, kadang milik Theo terasa terjepit karena milik Zee yang seakan mengetat.

Keduanya menikmati malam panjang itu bersama, perlahan namun pasti, Theo mulai menggerakkan pinggulnya.

I’ll go slowly, can I?” tanya Theo, kedua netra bersinggungan maka mengangguklah Zee dengan segala ingin yang mengangguk sepakat. Theo benar-benar jelma penawar pilu. Saat ini Theo mulai berikan gerakan dalam muara asa namun tetap menyanjung satu sama lain dalam puja di lisan balutan lenguh dan desah malam itu.

I love you Zee.” Bibir Zee menjadi muara bersemayamnya birai Theo yang melahap habis ranum Zee saat itu. Saling memeluk hingga tak ada beda dan jarak, mungkin yang berbeda hanya nama yang disenandungkan dan hanya beda sejauh deru napas yang berembus―sedekat itu mereka berdua saat itu. Sisa tangis di pipi Zee kini berubah menjadi tempat beradunya butiran peluh yang mengalir. Balasan lembut pagutan berangsur brutal untuk sang puan diberikan Theo di detik selanjutnya, pagutan dan lumatan serta sapaan lembut di birai Zee dengan lidahnya yang lihai membuat Zee membuka mulutnya memberikan akses kepada Theo untuk melakukan lebih. Theo dan Zee membiarkan desiran lembut dalam diri mereka merajai tubuh keduanya, meraih puncak libido saat ciuman itu menjadi sangat menuntut lebih. Senandung merdu menjelma dalam desah Zee yang melantunkan nama Theo. Pertukaran kasih mereka dilanjutkan, sang penawar pilu yang Zee cari selama ini sudah ia temukan. Dibalut nikmat malam, Zee dengan sukarela melingkarkan kakinya di pinggang Theo memberi akses agar Theo lebih melakukan lagi dan memberi kenikmatan lagi.

Gerakan yang Theo berikan bak afeksi pengukir rindu, bukan pilu seperti Jordan. Wanita yang dipeluk luka itu kini bisa memeluk suka. Yang biasanya meringkuk luka sendiri kini bisa memeluk dan merengkuh berbagi dekap.

Hingga saat Theo menggerakkan pinggulnya lagi, bunyi decapan bibir keduanya beradu dengan decitan ranjang, setelahnya mengudaralah lagi sebuah lenguh.

“Ahh―Theo, sshh,”

“Zee―I’ll move faster, please hold,” balas Theo.

“Sure.” balasan dari Zee dan tatapan sendu yang ia berikan kini menghipnotis Theo. Percikan cinta dan kasih malam itu semakin pekat bagi keduanya. Afeksi candu yang dibuai renjana malam itu hadir menemani keduanya dibuai gelora asmara yang saling beradu satu sama lain. Kini Theo sudah bergerak lagi, Zee melebarkan pahanya, kadang kakinya menukik menahan nikmt. Zee melingkarkan kedua kakinya di pinggang Theo agar mempermudah Theo melakukan gerakannya, rahang Theo ditarik Zee agar bersatu dalam pagutan brutal yang memabukkan.

Zee dan Theo kembali merasakan tubuhnya dijalari sebuah gelenyar yang membawa mereka ke puncak tertinggi saat ini, detik-detik terlewati dengan rasa nikmat yang tak berujung. Mereka bergantian memekik dan melenguhkan nama dengan hingga tempo tak beraturan dan semakin cepat diberikan Theo saat keduanya sudah ada di puncak hampir sampai pada pelepasan dan peleburan kasih yang bersatu.

Theo―mhh,

Akhirnya pada detik selanjutnya, Theo mengangkat sedikit tubuhnya, saling berikan nikmat dan candu satu sama lain dalam satu buaian di malam yang dingin, meski pikiran Zee berkelana entah kemana. Sebisa mungkin keduanya menyisihkan selisih. Hati yang awalnya kehilangan harap dan berteman dengan luka yang meringis kini bisa pergi dan bangkit serta semua luka itu akan Zee tangkis dengan kehadiran Theo. Karena Theo adalah wujud nyata ilusi paling liar yang mengundang Zee semakin jatuh cinta semakin dalam kepadanya. Dentuman dalam hati semakin mengudara saat setiap inchi tubuh Zee dijaga dan benar-benar diperlakukan bak juwita oleh sang tuan.

Zee mulai memejamkan mata. Dan detik selanjutnya sebuah sanjungan lewat lisan yang memekikkan nama Theo bersamaan dengan beberapa kali gerakan hentakan oleh pusaka dan pinggul Theo menusuk rungu pria itu dan saat itulah mereka berdua menyatukan segala sesuatunya malam itu. Dahi Zee mengernyit, ia sedikit mengerang, sungguh sesuatu memenuhi tubuhnya. Bahu Theo jadi media penyalur rasa nikmat. Kenang hari ini tak akan pernah pergi, ada kebanggaan di senyum Theo. Kasih suci ia berikan di setiap belaian. Bahkan pada bibir yang dipagutnya, Theo sematkan janji untuk jaga Zee dan Jeanice sampai ujung nadi.

Tubuh keduanya yang sudah basah oleh peluh itu tak henti berjuang sampai membawa surga malam bagi keduanya. “I want to coming out, Theo mhh,” desah Zee yang mengundang Theo memberikan gerakan hentakan bertubi-tubi hingga membawa dan hendak menjemput surga bagi keduanya. Luka gagap gempita berubah menjadi puing hati yang perlahan disusun lagi. keduanya ingin saling mencintai dan membagi hati. Untuk mencintai Zee pun Theo melakukannya tanpa karena. Alasan Theo bertahan hanya karena mencintai, itu saja.

“Theo―”

“Zee―”

Gerakan Theo semakin cepat, telinga keduanya tak jenuh mendengar bisikan lenguh yang memecah hening. Keduanya tak bosan beri afeksi jelma sebuah adiktif bagi satu sama lain. Perlahan namun pasti, Theo hujami liang surgawi Zee dengan beberapa hentakan hingga, “*Ahhh!” keduanya saling bersahutan saat Theo menembakkan cairan kasihnya di dalam milik Zee yang membuat tubuh Zee bergetar untuk beberapa saat dan keduanya saling memeluk erat dalam penyatuan perasaan yang semakin mengadu satu sama lain.

Keduanya saling memeluk sesaat seakan tak ingin dilepas. Hati Zee terlalu agung untuk diberi rasa sakit. Kebahagiaan tak akan pernah pergi setelah ini, keduanya hanya harus belajar berjalan bersama lagi. Langkah Zee yang pernah rapuh kini akan dibuat utuh oleh Theo. Janjikan Zee tak akan pernah sendiri, Theo janji tak akan melepas. Maka dikecupnya lagi untuk waktu yang lama bibir dan kening sang puan bergantian.

I’ll make our marriage ASAP, I love you wholeheartedly.” Bisikan Theo bawa keduanya mengubah posisi saling bersebelahan dan saling memeluk. Tak usah tanya hati lagi, karena keduanya janji tak akan pernah pergi.

“Aku sayang kamu,*” gumam Zee saat memeluk Theo erat dalam satu gulungan selimut. Puncak kepala Zee dihujam kecupan dari Theo. Namun, saat keduanya saling memeluk, tiba-tiba terdengar suara tangisan.

“Mommy, Uncle daddy! I can’t open the door, I want to pee, I can’t hold it again, Jeanice want to pee!” suara tangisan Jeanice menggema. Theo dan Zee bertatapan sejenak karena teringat belum membuka kunci pintu kamar selepas kedatangan Jordan tadi.

Maka Theo dan Zee buru-buru memakai bathrobe lalu Theo duluan yang berlari keluar kamar sambil berkata dengan nyaring, “Wait for daddy!” Zee menghela napas sejenak seakan terharu, “Daddy? Without uncle?” Zee tersenyum lagi lalu menyusul Theo ke kamar Jeanice. Pada akhirnya sajak rumpang dalam hati dan kehidupan Zee, kini digantikan dan diselesaikan oleh kedatangan Theo yang bangunkan ia dari mimpi buruknya. Sungguh, semesta mungkin akan berhenti berputar jika Zee kehilangan Theo. Sekarang Zee tersenyum lega melihat Jeanice sudah ada di gendongan Theo dan Theo juga mendekap erat anaknya itu. Sajak dan majas yang masih rumpang itu kini benar-benar dirampungkan oleh Theo.

END

Support link and access password on https://trakteer.id/awnyaii