SELAMAT JALAN, MAMA
Rumah Duka
Malam ini rumah duka di tanah air langsung dipersiapkan untuk ibadah penghiburan atas kepergian Mama Grace. Sudah ada banyak orang berkumpul di sana. Hiruk pikuk dan suasana sedih serta mencekam sangat terasa. Om Kevin ada di sana menyalami dan duduk bersama para tamu yang melayat, tak jarang beberapa orang juga datang menyalami dan memberikan kata-kata penguatan bagi Kevin, anaknya dan Grace.
Di peti berwarna putih itu sudah terbaring Mama Grace yang tidak bisa lagi melihat indahnya dunia, tidak bisa melihat suaminya serta ketiga anaknya berkumpul. Ini momen pertama Grace berkumpul dengan Rafer, anak laki-laki Om Kevin yang berarti adiknya, serta Florence, gadis kecil berusia lima tahun, anak Om Kevin dan Mamanya.
Florence sangat mewarisi perawakan Mamanya, senyum, binar mata serta garis wajah, semua persis dengan mendiang Mamanya. Rafer yang baru saja lulus SMA juga sangat terpukul, untuk Rafer dan Om Kevin, ini kehilangan untuk kedua kalinya. Sungguh, tak bisa dibayangkan betapa hancur hati mereka semua mendapati rasa kehilangan lagi.
Memang, bahwasanya pertemuan mendekatkan kita kepada perpisahan. Tapi kita sebagai manusia juga tidak berhak mengatur garis takdir kapan harus bertemu dan kapan harus berpisah. Memang, sekarang keluarga Grace berkumpul untuk pertama kalinya, Om Kevin, Rafer dan Florence berkumpul, di hari kepergian Mama mereka selamanya. Grace duduk sambil memangku Florence yang tertidur di pangkuannya, terlalu lama Florence menangis hingga tertidur. Anak lelaki di sebelah Grace juga ia genggam tangannya.
Rafer baru kali ini bertemu Grace, Rafer juga merasa kehilangan karena selama ini, Mama Grace bisa menjadi sosok Mama juga untuk Rafer. Grace menggenggam tangan Rafer dengan tangan kirinya erat, tangan kanannya ia gunakan untuk menjaga tubuh mungil Florence di tubuhnya. Saat Grace mengusap tangan Rafer dengan ibu jarinya, anak lelaki itu terisak dan tertunduk.
“Aku seneng bisa kumpul sama Cece, Mama Maureen sering cerita tentang Cece. Aku selalu pengen punya kakak karena selama ini aku sendiri dan aku jadi kakak, aku seneng kita semua bisa kumpul tapi kenapa di hari kita berpisah sama Mama Maureen selamanya.” Rafer mengucapkan kata demi kata dengan napas yang berat. Segenap air matanya tertumpah saat itu, hati Grace sangat pedih mendengarnya. Maureen adalah nama Mama Grace, malaikat yang melahirkannya dan melakukan segala sesuatu untuk menyelamatkan Grace walaupun sempat dengan cara yang salah.
“Ce, habis ini mau tinggal di rumah? Sama Papa, sama aku, sama Flo?” tanya Rafer sambil membawa pandangannya kepada Grace. Hati Grace berdesir, dadanya sesak bukan main. Ia mengangguk dan tersenyum tanpa ragu, mata sembabnya semakin jelas saat ia mencoba tersenyum.
“Iya, setelah ini Cece tinggal sama kalian, ya?” ucap Grace lembut lalu merangkul Rafer. Grace pernah berpikir bahwa sebutan “IBU” untuk Mamanya tidaklah pantas, tapi sekarang tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa Grace mencintai Mamanya. Segala hal yang Mamanya lakukan semata-mata untuk kebaikan Grace.
Segenap kekuatan Grace kumpulkan, saat netranya memandang Om Kevin yang berusaha tegar dan menyalami satu per satu tamu yang datang serta keluarga yang datang. Sebagian besar bahkan seluruhnya adalah keluarga Mamanya dan keluarga Om Kevin. Keluarga Papanya yang menghujat dan sejak kejadian itu menginjak-injak harga diri Mama Grace tidak terlihat sama sekali. Justru keluarga Om Kevin menerima dan sangat menyayangi Mama Grace.
Beberapa keluarga yang datang dan baru melihat Grace pun tak canggung untuk memeluk dan mencium Grace karena Om Kevin sering bercerita tentang Grace, Om Kevin menceritakan bahwa Grace sudah mandiri dan pekerja keras, oleh karena itu, Grace memilih tinggal sendiri agar dekat dengan tempat kerjanya. Hal yang sempat terjadi kepada Grace juga diceritakan Kevin kepada keluarganya. Tapi hal itu tidak menimbulkan judgment, melainkan simpati yang keluarga Kevin berikan.
Grace mengarahkan pandangannya kepada Mamanya yang sudah terbaring tak bernyawa. Cantik, Mamanya memejam tapi raut wajahnya bak tersenyum. Cantik dengan dress yang Grace belikan serta polesan make up yang Grace lakukan sendiri.
“Mama Maureen cantik, makasih Cece udah bikin Mama cantik, Mama pulang ke rumah abadi cantik banget. Ini kedua kalinya aku anterin sosok Mama pulang ke rumah abadi. Kaya mimpi, Ce. Tapi Tuhan kan Maha Baik. Makasih ya, Ce.” Kalimat dari Rafer membuat Grace memeluk Rafer sejenak dan air mata Grace tumpah lagi.
Florence di pangkuan Grace perlahan terbangun, tangannya terulur menyentuh tepian peti putih itu, Grace memajukan kursinya membiarkan Florence menaruh dagunya di tepi peti itu memandangi wajah Mamanya. Grace ikut mengamati lamat-lamat wajah Mamanya untuk saat-saat terakhir.
“Mama cantik nggak, Flo?” tanya Grace.
“Cantik, kaya Flo dan Cece.” Florence menoleh menatap Grace sesaat. Grace mengecup puncak kepala Florence sesaat lalu memeluknya. Grace juga menempelkan pipinya dengan kepala Florence dan Florence masih aman di pangkuan Grace.
“Mama sudah tidak bisa temenin Flo main ya, Ce? Cuma ada Cece sama Koko Rafer aja sama Papa Kevin. Flo senang ternyata Flo punya kakak selain Koko Rafer.” Gadis kecil itu tersenyum tapi matanya berkaca-kaca. Hancur bukan main hati Grace melihatnya.
“Iya, Cece temenin Flo terus, sampai Flo besar nanti selalu Cece temenin, ya?” balas Grace. Flo mengangguk lalu memusatkan perhatian lagi ke sosok Mamanya yang sudah terpejam itu. Grace seakan mendapat sedikit kekuatan saat itu. Namun, setelahnya, Grace melihat beberapa orang yang datang dan bergantian menyalami Papanya, Papa Kevin. Mata Grace berkaca-kaca saat melihat mereka.
“Rafer, Cece boleh minta tolong jaga Flo dulu? Cece mau nemuin keluarga Mevin.” Grace berkata pada Rafer. Adik laki-lakinya itu pun mengangguk dan Grace mendudukkan Flo di kursinya lalu Rafer merangkul adik kecilnya itu. Tiba di kursi para tamu, Papanya menepuk pundak Grace, “kasih salam dulu sama keluarga Mevin,” bisiknya. Grace pun memberi salam kepada Jeremy, Papa Mevin yang duduk di sebelah Papanya.
“Grace, anak baik, yang kuat ya nak, ya. Doa terbaik buat Mama dan keluarga yang ditinggalkan. Percaya rencana Tuhan nggak akan salah.” Kalimat Jeremy jujur saja membuat Grace terharu tapi Grace tahan air matanya sekuat tenaga, Grace mengangguk dan tersenyum.
Papanya dan Papa Mevin itu kembali duduk bersebelahan dan bercengkrama. Tiba saatnya Grace memberi salam dan diberi pelukan oleh Lea, Grace memeluk Lea erat, “Grace anak kuat, terima kasih udah pulang. Terima kasih juga Grace udah sembuh, Mama Grace pasti bangga banget. Jangan khawatir, hidup Grace seterusnya udah ada yang pegang. Tuhan pelihara kehidupan kamu sekeluarga.” Lea berkata sambil mengecup pipi kanan dan kiri Grace.
“Grace ....” Letta yang berdiri di sebelah Jevin memeluk Grace saat Grace berjalan menuju arahnya.
“Makasih udah pulang, aku tepati janjiku buat peluk kamu. Kata sabar mungkin nggak akan cukup buat kamu saat ini, ikhlas ya, ikhlas.” Letta berkata sambil mengusap punggung Grace pelan. Jevin yang ada di sebelahnya juga ikut mengusap punggung Grace. Pelukan direnggangkan, Jevin dan Grace bersalaman dan Jevin mengusap punggung Grace lagi, “yang kuat,” kata Jevin sambil tersenyum.
“Jevin, aku belum sempat bilang terima kasih untuk waktu itu. Terima kasih udah nyelametin aku waktu itu, maaf kamu sampai harus―”
“I’m okay, I did that for you and my twins bro. That’s what brother for,” kata Jevin. Grace tidak henti berterima kasih. Kini, Grace tiba di hadapan Lauren dan Willy, Lauren yang datang dengan keadaan perut yang semakin besar itu juga memeluk Grace bahkan sempat meneteskan air mata saat memeluk Lauren.
“Yang kuat, ya. Masih ada keluarga, masih ada kita, masih ada Mevin, masih ada dan banyak yang nunggu senyum Grace balik lagi.” Willy berkata sambil mengusap pundak Grace yang tengah berada di pelukan Lauren itu.
Lauren memeluk Grace erat, “di dunia ini nggak ada yang abadi, sekalipun kebersamaan dan kehadiran keluarga, Mama udah nggak sakit, Mama udah sembuh, tetep doain Mama, ya? Ada adek-adek, aku tahu gimana rasanya harus kuat disaat kita sendiri hancur, nggak papa kamu jadi kakak kalau di rumah harus kuat nggak papa. Kalau butuh tempat cerita sebagai kakak, just let me know, Grace. I’ll be there, I will always.” Lauren berkata sambil perlahan melepaskan pelukan dan menggenggam tangan Grace.
“Makasih, Ko Willy, Ci Lauren. Makasih banyak, nanti boleh ya Grace curhat ke Ci Lauren,” kata Grace sambil memaksakan tersenyum disaat yang berat ini. Lauren mengangguk dan tersenyum, Willy juga memberikan penguatan untuk Grace sebelum Grace berjalan menuju kursi di belakangnya, Mevin di sana, berdiri menyambut Grace dengan senyuman.
Jujur saja, Mevin sudah hampir menangis tapi ia paksakan senyum terbaiknya ia berikan untuk sang kekasih. Grace sampai di hadapan Mevin dengan mata yang berkaca-kaca. Satu tngan Mevin meraih pipi Grace satu tangannya merapikan surai panjang Grace dan menyingkapkannya ke belakang telinga kekasihnya.
“Mevin―”
“Iya, aku disini.” Tangan Mevin pun bergerak turun menggenggam kedua tangan Grace yang dingin.
“Makasih udah mau maafin Mama, makasih udah mau kasih tahu aku di Singapore,” kata Grace dengan suara yang mulai bergetar.
“Sayang sama Mama? Ikhlas Mama pulang ke rumah Tuhan?” pertanyaan Mevin membawa Grace melipat bibirnya, menahan dengan sedikit menggigit belah bibirnya yang sudah bergetar itu. Grace mengangguk, tanpa aba-aba Mevin menarik Grace ke dalam dekapannya, Mevin memeluk erat kekasihnya, Grace membalas pelukan itu erat. Hingga sesaat hening karena Mevin merasakan bajunya sedikit diremas oleh Grace.
“Nangis aja, aku disini, jangan ditahan,” kata Mevin berbisik lirih. Benar saja, punggung Grace langsung bergetar hebat, perempuan itu menangis keras di pelukan Mevin, hampir seluruh pelayat dan keluarga langsung menoleh ke arah Grace dan Mevin tapi dengan tatapan sendu. Lauren menggenggam tangan Willy saat mendengar raungan tangis Grace. Letta dirangkul Jevin, Lea sudah ada dalam dekapan Jeremy. Bahkan Florence sudah meneteskan air mata tanpa suara di pelukan Rafer.
Suara tangisan Grace menggema, kali ini ia lepaskan semua duka dan kesedihan yang membelenggu. Sakit dan pedih hati Mevin, ia teringat ia juga kehilangan sosok Mamanya, bahkan sebelum ia bisa melihatnya dan merasakan kasih sayang Mamanya. Mereka adalah sepasang yang merasakan kehilangan, kehancuran, kerapuhan serta mencandu pilu seumur perjalanan kehidupan mereka. Mevin mencium pipi Grace dan membiarkan kekasihnya menangis sepuasnya dan sekeras-kerasnya di pelukannya.
“Mama .... Mama ....” Tangis Grace kala itu, hingga detik ini, Grace masih tak percaya dengan apa yang terjadi.
“Aku dandanin Mama, pertama dan terakhir kali seumur hidup. Aku beliin Mama dress pertama kali untuk kepulangan Mama selamanya ke rumah Tuhan di Surga ....”
“Mama bangga pasti sama kamu, persembahan terbaik anaknya untuk terakhir kali. Mama kamu pasti bangga, it’s enough sayang, it’s enough, Grace.”
Napas Grace semakin tersengal dan dadanya sesak, Mevin masih setia disana memeluk Grace yang masih membenamkan wajahnya di ceruk lehernya. Sesaat Mevin mengarahkan pandangannya ke peti putih di ruangan itu. Tangannya bergetar, juga kakinya, apakah seperti ini gambaran jika saat itu ia mengantarkan kepergian Mamanya? Bibir Mevin juga ikut bergetar, Mevin meneteskan air mata juga. Diatas apapun, bahkan diatas hari kepergian seseorang, yang lebih mengerikan adalah hari setelah kepergian itu sendiri.
“Nggak kuat, Mevin. Nggak kuat ....” Grace berkata lirih yang hanya bisa didengar oleh Mevin.
Dunia kita akan berubah, ada banyak hal-hal yang hilang. Tidak bisa kita jumpai lagi sosok itu, tidak bisa lagi kita sentuh raganya, kita hanya akan bisa melihat mereka dalam terawang jauh pikiran, bertemu dalam setiap pejam doa, merasakan kehangatan dan kenangan masa lalu itu sebatas saat menyebutkan namanya, tak ada lengan yang memeluk dan merengkuh.
Tak ada suara bising yang membangunkan Grace di pagi hari seperti saat ia sekolah dulu, semua keadaan akan berubah, maupun dari hal kecil sekalipun.
Mevin mempererat pelukannya tapi tiba-tiba,
BRUKKKK Tubuh lemah Grace jatuh pingsan membuat semua orang panik, tapi Mevin yang di sana langsung sigap menyangga tubuh Grace.
“Grace!” pekik Mevin panik saat itu. Mevin pun langsung membopong tubuh Grace untuk dibawa keluar ruangan.
Mevin pun membawa ke kursi panjang yang ada di luar ruangan itu, menidurkan Grace di pangkuannya. Sementara itu, Lea membantu mencarikan minum untuk Grace. Tak beberapa lama, Grace mengerjapkan matanya, tangannya digenggam Mevin, tangan Grace sangat dingin dan wajahnya pucat.
Lea yang melihat Grace perlahan mengerjapkan mata, langsung berlutut di sebelah perempuan itu dan membantu Grace untuk bersandar di dada bidang Mevin. Dengan penuh kasih, Mevin memeluk Grace dengan satu tangannya, serta satu tangannya lagi ia gunakan untuk menyeka keringat dingin yang membasahi wajah Grace. Lea pun memberikan minum kepada Grace, “diminum dulu, Nak.” kata Lea lembut. Lea pun membantu memegangi gelas itu agar Grace meminumnya.
“Makasih, Tante,” ujar Grace sambil tersenyum. Lea memegangi gelas itu dan satu tangannya ia gunakan untuk mengusap lengan Grace.
“Disini dulu biar ada udara, tenangin diri Grace dulu, ya. Biar dijagain Mevin disini. Ya?” ucap Lea yang dibalas anggukan oleh Grace. Lea memberi tatapan isyarat kepada Mevin agar tetap disitu dulu sebelum doa dan ibadah singkat dilakukan. Lea pun beranjak dari sana dan masuk ke ruangan itu lagi. Grace pun mengubah posisinya bersandar di kursi dan ia menurunkan kakinya, ia menyangga kepalanya dengan kedua tangannya yang ia gunakan untuk membenamkan wajahnya. Mevin pun merangkul Grace dari samping dan mencium puncak kepala Grace berkali-kali.
“It’s okay, it’s okay,” kata Mevin lirih.
“Kaya mimpi, Mevin. Perpisahan secepat ini nggak pernah aku bayangin sebelumnya, sama sekali nggak pernah. Masih jelas banget gimana Mama nampar aku di rumah sakit waktu ada kamu,” Grace mengangkat wajahnya menatap Mevin nanar dengan air mata yang berlinang, “tapi masih jelas dan bahkan lebih jelas tergambar waktu Mama peluk aku terakhir kali di napas terakhir Mama,” katanya lagi. Mevin meraih puncak kepala Grace dan mendekatkan wajahnya lalu mengecup kening Grace.
“Biar kenangan yang baik aja yang tergambar jelas, jangan yang buruk. Sayang sama Mama?” tanya Mevin. Grace membalas dengan anggukan, maka Mevin usap lembut air mata Grace dengan ibu jarinya dan menatap setiap inchi wajah kekasihnya itu.
“Hari-hari ke depannya nggak mudah, tapi kamu nggak sendiri. Kamu punya keluarga baru, kan? Ada mereka, jadikan mereka alasan kamu kuat dan bertahan, ya?”
“Dan kamu juga.”
Saat itu keduanya saling memeluk berbagi kehangatan dan kekuatan yang sebisa mungkin mereka bagi berdua. Disayat kenyataan yang lebih tajam dari duri tidak membuat keduanya berpisah ataupun lengah.
Hari selanjutnya, ibadah pelepasan jenazah dan penutupan peti dilakukan. Mevin sudah ada di rumah duka sejak pagi, menemani Grace dan juga kadang mengobrol dengan Rafer atau membantu menunggui Florence yang juga langsung akrab dengan Mevin sejak pertama kali bertemu.
“Kalau Cece sama Koko Rafer ketemu Pak Pendeta, Flo disini dulu sama Koko Mevin ya, Papa juga sibuk, banyak yang diurus, oke?” Grace berlutut di depan Florence yang sedang duduk di pangkuan Mevin.
“Kita mau kemana, Ce?” tanya Florence.
“Anter Mama, kita mau anterin Mama.” Balasan Grace membuat Mevin memeluk Florence. Netra Mevin dan Grace bersua, Mevin mengangguk dan tersenyum, bangga kekasihnya bisa setegar ini sekarang. Grace beranjak dari sana, membantu menyiapkan bunga tabur dan lain sebagainya di depan ruang duka untuk dibawa ke pemakaman.
Mevin yang sedang memeluk Florence juga berkaca, Florence yang masih berusia lima tahun masih perlu banyak diberi pengertian. Ia berkaca kepada dirinya, bagaimana saat ia dulu ditinggalkan Petra sejak ia lahir. Tapi Mevin tumbuh dengan baik, tumbuh dengan kasih sayang dan didikan yang baik.
Saat itu semakin banyak orang berdatangan dengan pakaian nuansa putih dan hitam yang melambangkan dukacita. Keluarga Adrian datang tanpa terkecuali, Lea, Jeremy, Jevin, Letta, Lauren dan juga Willy duduk di kursi yang tak jauh dari Mevin. Mereka sempat menyapa Mevin serta Florence juga. Ibadah penutupan peti segera dimulai. Grace kembali duduk di sebelah Mevin dan memangku Florence. Rafer ada di kursi di depan Grace dan Mevin duduk di sebelah Kevin, Papanya.
Sebelum itu diberikan waktu untuk keluarga inti menyampaikan sesuatu, mulai dari Kevin, Grace dan Rafer. Mereka bertiga diberi waktu, Kevin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua yang datang dan sudah menyampaikan rasa bela sungkawa untuk istrinya.
Untuk semua pihak yang membantu, keluarga, rekan, dan sahabat-sahabat. Kini, tiba saatnya Grace yang berbicara, Grace meraih mic dan berdiri di sebelah peti Mamanya. Peti itu masih terbuka, Grace sempat melihat ke arah Mamanya sejenak sebelum menatap seluruh pelayat yang hadir.
“Saya Grace, putri dari Ibu Maureen. Mama yang melahirkan saya ini memang orang yang hebat dan kuat. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua yang menunjukkan kasih untuk Mama saya dan keluarga saya. Masih seperti mimpi, saya masih ingat jelas saat Mama menyusul saya ke Singapore ingin menjemput saya yang melakukan pengobatan disana. Saya bersyukur kepada Tuhan karena disaat terakhir Mama, saya ada di sana, di pelukan Mama. Saya juga paham bagaimana keluarga menyayangi Mama―Papa Kevin, Rafer, juga Florence yang masih kecil. Terima kasih saya ucapkan kepada saudara semua yang sudah menunjukkan kasih kepada Mama saya disaat terakhir seperti ini. Terima kasih atas semua penguatan yang disampaikan. Saya sadar, Tuhan mau Mama pulang ke rumah abadi karena jika Mama tinggal lebih lama akan menyiksa Mama juga, sekarang Mama sudah sembuh. Mama sudah ada di rumah abadinya dimana tidak ada lagi sakit dan ratap tangis di sana. Saya juga yakin Mama melihat saya sekarang, terima kasih Ma... Terima kasih sudah melahirkan Grace, terima kasih sudah melahirkan Grace ke dunia dan menjadi Mama Grace yang kuat,” kata Grace lalu menghela napas dan menyeka air matanya sejenak. Semua yang ada di situ hampir menangis, tidak―sekarang Letta dan Lauren sudah menangis bahkan. Begitu juga dengan kekasihnya, Mevin. Grace mendekat ke arah peti, ia pegang tepian peti itu.
“Saya percaya, semua terjadi karena Tuhan baik. Saya tidak khawatir akan kehidupan saya dan keluarga saya ke depannya karena Tuhan kirim orang-orang yang menguatkan saya dan meyakinkan bahwa pengharapan itu tidak akan hilang. Hidup saya dan keluarga saya sudah direnda dan direncanakan Tuhan sampai akhir. Tuhan akan pelihara dan jaga keluarga saya, Tuhan tidak akan biarkan kami semua kelaparan dan jatuh tersungkur. Saya juga bersyukur karena saya tidak ditinggalkan sendiri, ada Papa Kevin, Rafer dan Florence dimana setelah ini saya akan tinggal bersama mereka. Dari Mama saya belajar kekuatan, Mama sembunyikan semua sakitnya dari saya. But, God is good all the time so He takes Mama come back to everlasting home. Saya dan keluarga tidak takut menghadapi dunia ke depannya, Tuhan akan sediakan semua pada waktunya, sampai akhirnya, sampai kita semua kembali pada waktunya.” Grace menyentuh dan membelai rambut Mamanya yang ada di peti.
“Grace sayang Mama, God loves you so do I, Ma. Sampai ketemu di keabadian, Grace sayang Mama.” Kalimat terakhir Grace diucapkan dengan tenang, ia menaruh mic dan kembali duduk di sebelah Mevin, tangan Grace gemetar bukan main. Mevin langsung sentuh dan genggam, ia juga merangkul Grace, membiarkan Grace menangis di pelukannya. Meski tidak se histeris kemarin, tetap saja, itu adalah tangisan pilu.
“Makasih udah kuat, makasih, you are amazing, Grace.”
Hingga ibadah selesai, Mevin jaga tangan Grace dalam tautannya, jemari mereka bersatu tidak Mevin lepaskan meskipun sedang berdoa. Ia paham bagaimana hancurnya hati Grace, saat terakhir melihat Mamanya adalah saat ini. Saat segala tata acara pelepasan jenazah dilakukan, tiba saatnya, momen terpilu yang harus dihadapi, penutupan peti. Saat dimana kita tidak bisa melihat lagi orang yang kita cinta untuk selamanya.
Kevin ada di sebelah peti menggendong Florence yang mulai menangis, Rafer ada di sebelahnya, satu tangan Kevin merangkul Rafer. Grace ada di samping Rafer, beberapa petugas dari rumah duka tersebut membawa tutup peti dan mulai menutup peti itu, saat bagian atas hendak ditutup, Grace mencegahnya, tangannya menghalanginya.
“Grace ....” ujar Kevin lirih. Grace masih disana seakan menolak pergi.
“Sebentar, pak,” bisik Kevin kepada salah satu petugas. Sang petugas mengangguk dan menyingkir sesaat membiarkan Grace ada di sana mengamati wajah Mamanya lamat-lamat untuk terakhir kali. Grace menunduk dan terisak, sesaat, Rafer menarik Grace mundur, keduanya saling memeluk, peti ditutup, baut sudah dikencangkan. Tidak bisa lagi mereka lihat sosok Mamanya. Mereka semua yang menyaksikan hal itu juga tidak bisa memungkiri, bahwa kesedihan itu menjalar.
Mevin duduk sendiri terisak, ia teringat Petra, sosok Mamanya. Menyadari hal itu, Lea beranjak dari tempat duduknya, duduk di sebelah Mevin, langsung memeluk Mevin. Mereka berdua juga menangis saat itu. Lagu “God Can Do All Things” serta alunan keyboard lirih mengiringi momen pilu itu hingga peti tertutup sempurna. Perjalanan Mama Grace sudah selesai.
Mevin tidak berkata apa-apa. Mevin langsung memeluk Lea juga, punggung Mevin juga bergetar hebat. Tak ada kata-kata yang bisa Lea ucapkan lagi, ia salurkan lewat usapan lembut di tubuh Mevin untuk menenangkan anaknya itu.
“Mama Lea harus panjang umur, ya.” Mevin berkata lirih, hal itu justru membuat Lea juga menangis, sungguh, hatinya rapuh, Lea juga pernah mengalami kehilangan saat ia baru saja akan wisuda dan meraih gelar cumlaude. Bahkan gelar itu yang menjadi kado terakhir untuk kedua orang tuanya. Kecelakaan merenggut nyawa kedua orang tua Lea bersamaan, disaat esok harinya ia akan wisuda di universitas. Mevin yang belum pernah melihat sosok Mamanya, Petra, pun juga merasakan duka mendalam.
Funeral
Grace tidak perlu lagi membenci segala hal yang Mamanya pernah katakan dan lakukan, Grace tidak perlu lagi akan hal itu. Ia melewatkan satu hal besar, sakitnya Mamanya, lemahnya Mamanya jauh melampaui itu semua. Kini Mamanya sudah bahagia dan sembuh. Benar-benar diluar dugaan karena Grace kembali ke Indonesia untuk mengantarkan kepergian Mamanya selamanya. Siang ini, semua melepaskan kepergian wanita bernama Maureen untuk selamanya.
Tangisan nyaring terdengar dari Florence yang histeris kala peti berwarna putih itu mulai ditutup tanah perlahan. Florence masih ada di dalam gendongan Kevin, Rafer hanya menunduk mengamati hingga peti itu tidak terlihat lagi. Grace ada di dalam rangkulan Mevin, ia menyandarkan kepalanya di tubuh Mevin dan tak sekalipun Grace lepaskan pandangannya akan peristirahatan terakhir Mamanya itu.
Grace hanya tertunduk lesu, air matanya sudah habis kala mengingat semua kejadian yang terjadi. Kala peti putih sudah tertutup gundukan tanah di hadapan Grace air matanya tumpah tanpa komando, Grace terduduk di tanah saking lemasnya badannya, bohong kalau Grace baik-baik saja. Mevin tetap jaga Grace, Kevin yang berdiri dan menaburkan bunga di pusara itu sesekali membelai puncak kepala Grace. Mevin juga berulang kali menyeka air mata Grace yang membasahi pipinya.
Sungguh, dunia Grace sangat hancur saat ini. Semuanya seputar pertanyaan tentang waktu dan bagaimana seutas rasa benci terhadap Mamanya saat itu menjelma menjadi sebuah cinta yang meraja di hati seorang anak, sebuah penyesalan mengapa Grace baru mengetahui ini semua di saat terakhir Mamanya menjadi hal yang kadang masih membelenggu Grace.
Bagaimana duka memisahkan, meninggalkan luka. Grace pun menaburkan kelopak bunga segar kala itu, asa dan harapnya luruh seketika. Bagaimanapun tidak ada yang bisa melawan kekuasaan maut untuk memisahkan manusia.
“Udah, ya? Ikhlas, Mama pulang ke Surga, ikhlas?” bisik Mevin lirih, Grace masih mengulurkan tangannya meraih kelopak bunga segar yang menutupi pusara Mamanya itu, ia mengangguk di dekapan Mevin.
“Aku jahat ke Mama, ya?” Grace menatap Mevin dengan wajah pucat dan keadaan yang sudah kacau.
“Enggak, kamu ada sama Mama sampai akhir. Anak baik, kamu anak baik. Jangan bosen doain Mama, ya?”
Grace mengangguk beberapa kali lalu tangan Mevin melingar lagi di tubuh Grace. Langit mendung seketika seakan mengantarkan kepergian Mama Grace juga dengan duka. Tapi langit enggan menangis, sudah terlalu banyak air mata yang tercurah oleh orang-orang disini, melepas kepergian seseorang ternyata sepedih ini.
Rahasia kehidupan, tak akan pernah ada yang bisa menyingkap, dengan siapa kita akan bertemu, dengan siapa kita akan menjatuhkan hati, dengan siapa kita akan memiliki rasa benci, dengan siapa kita akan diselamatkan. Kita juga tidak bisa tahu kapan kita akan kecewa dan dikecewakan dan kepada siapa kita mengecewakan. Kita juga tidak akan pernah tahu kapan kita sehat dan kuat dan kapan kita sakit. Kita tidak pernah tahu duka dan sakit sehebat apa yang orang-orang sembunyikan dibalik senyuman mereka. Kita tidak pernah tahu juga kapan Tuhan akan meminta kita pulang. Apa yang sudah kita lakukan selama hidup? Hati kita sendiri yang bisa menjawabnya. – C