SELAMAT TINGGAL
Setelah mendengar kondisi Mamanya yang kritis, Jovian bergegas ke rumah sakit meninggalkan studio fotonya dengan segera. Kali ini Petra yang menangani Mama Jovian, dan Petra langsung menelfon Jovian kala keadaan wanita yang masih menjadi mertuanya itu memburuk. Lama menunggu di depan ruangan rawat Mama mertuanya, Petra pun lega saat Jovian datang. Petra pun yang melihatnya langsung bangkit berdiri. Jovian langsung menghampiri Petra.
“Mama mana?” tanya Jovian panik, Petra meraih bahu Jovian dan mengelusnya pelan memberi sedikit ketenangan namun Jovian masih terengah disana.
“Calm down, Jovian. Listen, your mom need you right now.” Jovian pun menepis tangan Petra dan membawanya dalam genggaman, iris gelap dengan tatapan keteduhan itu menusuk hati Petra.
Namun, Jovian merasakan sesuatu saat ia menggenggam jemari tangan Petra. Jovian menatap sebentar jemari tangan Petra yang ia genggam itu.
“Ra, cincin nikah kita kamu nggak pakai lagi?” tanya Jovian pelan. Petra mengerjap beberapa kali sebelum melepaskan sepihak genggaman tangan itu, ia berjalan dan membukakan pintu ruangan dimana Mama Jovian dirawat.
“Mama nungu kamu,” kata Petra lagi. Jovian tertunduk sesaat sebelum berjalan dengan langkah kalut dan jantung yang berdebar tidak karuan. Jovian langsung masuk ke dalam ruangan dan menemui Mamanya. Dilihatnya Mamanya terkulai lemah dengan selang oksigen serta infus disana. Jovian berjalan dengan langkah gemetar mendekati Mamanya. Petra menemani dan mengikuti Jovian berdiri di sebelah Jovian.
“Jov..” Mamanya melafalkan nama sang anak dengan lirih hampir tidak terdengar.
“Iya, Ma. Ini Jovian, ini Jovian disini nemenin Mama, sama Petra.” Lalu Jovian mengecup punggung tangan malaikat baik dengan sebutan Mama untuknya itu.
“Petra, Jovian...” ucap Mama sambil menatap Petra yang membawa Petra berjalan mendekat juga disana.
“Kalian..” tangan Mama membawa tangan Jovian disatukan dengan jemari Petra.
“Harus bahagia, dengan siapapun hati kalian bertaut dan dengan bagaimanapun cara yang kalian pilih.” Ucapan Mama membuat Jovian dan Petra terbelalak dan menatap satu sama lain. Jovian si payah dalam berbohong, Petra si payah dalam mengendalikan air mata agar tidak tumpah.
“Berpisah lebih baik daripada saling menyiksa, walaupun Tuhan sendiri tidak menghendaki perpisahan, tapi biar kalian sama-sama bahagia tanpa saling menyakiti.” Ucapan Mama membuat Jovian dan Petra menumpahkan air mata tanpa komando. Petra masih betah menyembunyikan tangisnya dan melipat bibirnya kuat-kuat.
“Ma...”
“Kalau kalian nggak bahagia, Mama sedih.” Wanita itu tersenyum. Tangan Jovian terulur menyentuh pipi wanita di depannya, Jovian membungkukkan badannya dan tertunduk di dekat wajah Mamanya dan menangis terisak sejadinya. Petra membawa tangannya untuk mengelus punggung Jovian yang ada di pipinya dan membiarkan tangan itu tetap menyentuh pipinya.
“Jovian anak baik, Petra juga wanita baik, mama sayang kalian.” kalimat Mamanya selesaikan namun Jovian masih terisak.
“Jovian boleh peluk mama?” Mamanya membawa pandangannya ke wajah Jovian. Tanpa aba-aba Jovian langsung memeluk mamanya itu erat.
“Maafin mama kalau belum bisa lindungin Jovian, Ayah sebenarnya nggak sejahat itu, Ayah peduli sama kamu.” Air mata yang Jovian tahan kini tumpah bersamaan dengan suaranya yang bergetar, dadanya sesak tidak ada lagi yang bisa ia lakukan sekarang.
“Enggak, Ma. Enggak, Jovian yang minta maaf.” pipi Jovian sudah dibanjiri oleh air mata.
“Jovian anak mama...” suara itu memelan di telinga Jovian namun Jovian masih disana memeluk erat. Tanpa Jovian sadari tiba-tiba monitor detak jantung menunjukkan garis lurus. Tenggorokan Petra dan Jovian terasa tercekat. Bibir Jovian kelu dan ia sulit bernapas. Dunianya seakan runtuh. Tangan yang menyentuh punggung Jovian tidak ia rasakan lagi disana, ia tahu tangan itu terkulai lemas. Tak ada celah keheningan, tangisan itu beradu dengan tangisan Jovian yang semakin menjadi. Tak lama dokter diikuti beberapa perawat datang dan memasuki ruangan itu, tubuh Jovian melemas kala itu, tenggorokannya tercekat.
“Mama! Maa! Bangun!” Jovian meraung dalam tangisnya. Ia terus terisak, tangannya mengguncang pelan tubuh wanita itu yang tidak akan membalas dengan respon apapun itu. Petra menarik tubuh Jovian menjauh,
“Jov! Jovian!” Petra menarik tubuh Jovian menjauh agar perawat dan dokter lain bisa melepas segala alat yang menempel di tubuh Mamanya.
“Mama nggak boleh pergi!” Jovian menjambak rambutnya. Petra tidak bisa berkata apa-apa air mata akhirnya tumpah kala itu melihat kenyataan hari ini. Beberapa kali Jovian hendak mendekat dan meraih tubuh mamanya lagi namun Petra menahannya hingga tubuh Jovian melemas, luruh di lantai bersandar di pelukan Petra dan meraung dalam tangisannya, Jovian memeluk dan mencengkeram jas putih Petra dengan erat, meraung dalam tangis sejadinya di sana. Di pelukan wanita yang sebentar lagi akan melepas sebutan dan sematan ISTRI bagi Jovian. Mungkin hari ini adalah sebenar-benarnya hari dimana Jovian harus membungkus pilu secara bersamaan dalam hatinya.