SELAMAT ULANG TAHUN
Jeremy dan Lea membiarkan Mevin di kediaman Jovian hari ini. Hari ini adalah hari terakhir Jovian ada di sini sebelum ia bergegas esok hari ke Bali untuk mengurus bisnisnya dan hari ini juga adalah hari ulang tahun Jovian. Nanti malam Jeremy dan Lea akan kembali menjemput Mevin kembali. Jovian dan Mevin menghabiskan waktu yang ada dengan kegiatan sederhana, tetapi berkesan untuk keduanya.
Membeli makanan di restoran cepat saji kesukaan Mevin serta berbelanja sepatu dan baju untuk Mevin lalu kembali lagi ke Villa. Keduanya kini sedang duduk berdua. Kala hari kembali menemui malam berhias rembulan dan hawa dingin yang menyeruak, Mevin dan Jovian duduk bersebelahan di bangku tepi kolam renang di villa.
Mevin menunjukkan kepiawaiannya memetik gitar yang menghasilkan melodi indah yang membuat sebuah lengkung senyum tergambar di wajah Jovian.
“Pa, mau denger lagu pertama yang Papa Jeremy ajarin ke Mevin waktu awal belajar gitar?” tanya Mevin. Pertanyaan itu disambut anggukan cepat dari sang ayah.
Tangan Mevin kembali memetik senar gitar yang mengalunkan melodi sebuah lagu. Suara merdu Mevin mulai mendominasi keheningan.
Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya, Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya Ayah dengarlah.. betapa sesungguhnya ku mencintaimu Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu Andaikan detik itu kan bergulir kembali Ku rindukan suasana basuh jiwaku Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu ‘Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati..
Mata Jovian terasa panas mendengar lantunan lagu yang menyentuh hatinya itu. Jovian menyadari anak lelakinya itu tumbuh dengan baik, bahkan sangat baik. Salah satu hal besar dalam hidup Jovian, bayi mungilnya yang hanya bisa ia timang sebentar belasan tahun yang lalu, dibesarkan oleh sosok orang tua yang mendidik Mevin dengan baik.
Pilihan Petra memang tidak pernah salah. Kalau saja kala itu Mevin dibesarkan oleh Jovian, mungkin Mevin tidak tumbuh sebaik ini. Selepas kepergian mantan istrinya, Jovian mengalami keterpurukan finansial dan keterpurukan untuk hatinya sendiri. Hidup tidak terarah, butuh beberapa tahun untuk mengembalikan kehidupannya seperti semula. Tangan Jovian menyentuh puncak kepala Mevin dan membelainya beberapa kali.
Mevin tersenyum sumringah. Ia berkata, “Cita-cita Mevin apa?” tanya Jovian.
Mevin memutar bola matanya dan nampak berpikir sejenak, ia menaruh gitar di sebelahnya dan mengikis jarak antara ia dan ayahnya. “Dokter, Pa.”
Jovian tersenyum dan menghela napas. “Mama kamu dulu dokter. Dia dokter yang hebat, dia dokter yang menangani mama Lea waktu mama Lea sakit. Janji sama Papa Jo, kalau kamu bakalan jadi dokter yang hebat, ya, Nak?”
Mevin berhenti berucap sebentar, ia masih menelaah perkataan ayahnya, keinginannya menjadi dokter muncul beberapa tahun lalu. Entah hasrat apa yang menggerakkannya ingin menjadi dokter. Tanpa disadari, ternyata itu adalah profesi mendiang mamanya, Mevin terharu.
“Pa, Selamat ulang tahun, Mevin selalu berdoa biar Tuhan kasih Papa Jo panjang umur, kesehatan dan sukacita, terima kasih, ya, udah berkorban buat kebahagiaan Mevin. Terima kasih, ya, Pa. Mevin nggak tahu apa yang terjadi antara Papa Jo dan mama Lea di masa lalu. Tapi, Mevin beruntung punya dua papa dan dua mama yang semuanya sayang sama Mevin walaupun Mevin belum sempat ketemu mama kandung Mevin. Kata Mama Lea, malaikat baik yang melahirkan Mevin itu cantik dan hebat, bahkan sekalipun nyawa mama terenggut, semua itu bagian supaya mama Lea selamat. Mungkin, keinginan Papa punya foto keluarga sama Mevin dan Mama Petra sama persis seperti impian Mevin. Tapi kenyataan kan udah beda, tapi Mevin mau papa bahagia sama kehidupan Papa sekarang sama Mama Auryn dan Mikayla, Papa harus sehat dan panjang umur biar bisa lihat Mevin sukses, ya?” Mevin mendaratkan pernyataan yang menyentuh hati Jovian lagi.
“Nak, terima kasih, ya, sudah jadi anak yang baik. Please be a good son for mama Lea sama papa Jeremy. Both of them love you so much, so do I.” Pandangan mata Jovian belum berpindah dari paras anak lelakinya. Ia belum beranjak.
“Papa mau pindah ke Bali?”
“Mungkin menetap di sana dan balik ke sini untuk beberapa urusan aja. Mevin kalau main ke Bali kabarin Papa, ya?”
“Oh, iya, Pa? Live your happy family, ya, Pa!” Mevin memberikan senyum terbaiknya setelah berucap. Jovian mengangguk. Sejuk dan tenangnya pembicaraan kala itu menyuarakan kebahagiaan di hati masing-masing dari Mevin dan Jovian.
Mevin merogoh saku jaketnya, ia mengeluarkan sebuah kotak lalu memberikannya kepada Jovian.
“Ini apa, Vin?” Jovian mengernyitkan dahinya seraya tangannya menerima pemberian Mevin itu. Mevin hanya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum, ia memberi isyarat agar Jovian membuka kotak tersebut. Jovian mulai bergerak membuka kotak kecil itu, wajahnya berbinar kala melihat sebuah jam tangan ada di sana dengan secarik kertas.
“Papa Jo, selama ini hari ayah ataupun ulang tahun Papa Jo berkali-kali Mevin nggak bisa ucapin ke Papa Jo. Now let me paid it all, this is a small gift from me. Happy birthday and happy blessed day, sorry for realized all things lately but I never regret it.” Mevin berkata mengiringi ayahnya yang memasang jam tangan itu di pergelangan kirinya.
“The more I know you, the more I feel how great and how thankful I am to be your son. I know Papa try your best to dealing with a lot of hard condition. I know you still care with mama Lea and of course you love mama Petra so much. I love you, and once agai, happy birthday... Papa Jo!” Mevin menyelesaikan kalimat yang sangat ingin ia ucapkan kepada ayahnya itu selama belasan tahun yang tertahan mengingat Jovian dan Mevin yang baru saja bertemu setelah enam belas tahun.
“What a great message, son! As a father, my heart so proud. I can’t say anything, Boy. Papa bangga sama Mevin.” Tanpa ada kecanggungan lagi dan untuk sekali lagi Jovian memeluk Mevin erat.
Tiba-tiba terdengar suara kaki yang melangkah mendekati mereka bersamaan dengan Mevin serta Jovian yang merenggangkan rengkuh. Benar saja, itu adalah Jeremy dan Lea.
“Wih asik banget, nih, habis pada main gitar, ya?” seru Jeremy yang berjalan mendekat sembari merangkul Lea. Mevin tersenyum sambil menggaruk kepalanya.
“Iya, Mevin hebat banget main gitarnya. Petikannya mantep. Papa Jeremy yang ajarin, katanya,” sahut Jovian. Jeremy terkekeh pelan. “Cuma ngajarin dikit aja, selebihnya Mevin otodidak YouTube.”
“Ya udah, yuk, pulang dulu udah malem. Besok papa Jo juga mau flight pagi, biar papa Jo istirahat. Besok kalau papa Jo ke sini lagi, kita mampir. Kalau kita ke Bali kita kabarin papa Jo, oke, Nak?” ujar Lea sambil membelai rambut Mevin.
Anak lelaki itu mengangguk tanda setuju.
“Ya udah, pamit dulu sama papa Jovian,” perintah Jeremy. Mevin mencium tangan dan langsung memeluk ayahnya.
“Pa, safe flight for tommorow. Kita harus ketemu lagi, ya.”
“Sure, we have to meet again after this. Baik-baik sama mama Lea dan papa Jeremy. Yang nurut, ya, nak.” Jovian mengecup puncak kepala anaknya.
Mevin pun bangkit berdiri sambil menenteng beberapa paper bag belanjaannya, tepatnya hadiah dari Jovian.
“Wih banyak banget itu. Dari kamu, Jov?” tanya Lea. Jovian mengangguk. “Rapelan hadiah ulang tahun Mevin. Anggap aja begitu.”
Jeremy dan Lea tersenyum. “Banyak, ya, Nak. Bisa, nih, buka toko di rumah, sama cici sama Jevin?” goda Lea. Mereka semua terkekeh sejenak.
“Ya udah Jov, thank you. Saya sama Lea pulang dulu. Kabarin kalau pulang lagi ke sini,” Kata Jeremy, ia mengulurkan tangan dan keduanya berjabat tangan.
“Pasti, Jer,” balas Jovian. Akhirnya, Jeremy dan Mevin berlalu dari sana. Kini hanya tinggal Lea dan Jovian.
“Jov.”
“Lea.” Keduanya merapalkan nama masing-masing secara bersamaan.
“Kamu duluan aja,” kata Jovian dengan nada teduh. Lea tidak memberikan penuturan panjang. “Terima kasih, Jov, untuk semuanya. Aku nggak akan pernah larang kamu ketemu Mevin, kok. Kapan aja kamu mau, just let me know and I pray the best for your family.”
“Mevin deserve all those love from you and Jeremy. Aku bersyukur sama Tuhan setelah kehancuran yang aku kasih dulu, balasan kebahagiaan buat kamu sampai sekarang tergambar jelas. Terima kasih juga kamu sudah jadi sosok ibu hebat dan istri yang hebat. Aku beruntung pernah jadi bagian dari perjalanan kamu. Perpisahan kita kala itu membawa kamu menemukan rumah. Iya, kan?”
“Jov, semua yang pernah terjadi antara kita atau pun antara kamu dan siapa pun yang pernah hadir di hidup kamu, anggap itu sebuah berkat. Sekali pun itu kepergian atau luka karna kalau nggak ada itu semua, sulit untuk kita pulang dan menemukan rumah. Aku pamit, Jov.”
“Terima kasih, Lea. Titip Mevin, ya? Kamu dan Jeremy orang tua yang hebat.”
Perasaan sendu mengiba untuk ditiadakan. Lea mengangguk, ia tersenyum lalu berbalik badan, melangkah pergi dari sana sambil menyeka air matanya yang tumpah sesaat setelah membelakangi Jovian. Saat Jeremy, Lea dan Mevin sudah berada di mobil, Jovian masih berdiri di sebelah mobil Jeremy. Mevin dan semuanya menurunkan kaca mobil, Jovian menundukkan badannya agar sejajar dengan kaca mobil dimana tempat mevin duduk.
“Selamat ulang tahun, Papa. Mevin sayang Papa.” Kalimat itu dibisikkan Mevin meski dengan nada malu malu. Anak lelaki berusia enam belas tahun itu kini tersenyum. Jovian mengelus puncak kepala Mevin, lalu berbisik “Papa juga sayang Mevin. Sampai ketemu lagi ya, anak papa. Anak laki-laki Papa satu-satunya. Anaknya Papa Jovian dan Mama Petra.”