Serupa Mimpi
Letta tengah ada di luar ruangan rawat Jevin bersama Lauren dan Grace. Jevin belum juga kunjung membuka mata. Entah sudah berapa jam Letta menunggui suaminya dan tak henti panjatkan doa. Keadaan Letta yang sudah mendekati HPL tentu saja membuat semuanya cemas.
Masih teringat jelas di benak Letta bagaimana ia melihat lagi, untuk kedua kalinya Jevin bersimbah darah di hadapannya. Trauma peristiwa Jevin koma dulu belum hilang dari ingatan, hati istri mana yang tidak teriris?
“Jevin bakalan bangun, kan?” lirih Letta yang membuat Grace dan Lauren yang ada di sampingnya juga menjadi sedih, mereka pun terdiam sejenak, Grace merangkul Letta dan berkata, “pasti, nanti Jevin bisa balik lagi ke rumah sama kamu.”
Tapi, satu hal yang sudah dokter katakan kepada Letta, Jevin akan kehilangan kemampuan salah satu organ tubuhnya. Letta masih menyimpan hal itu seorang diri, untuk mengatakan kepada keluarganya saja Letta tidak sanggup. Sebenarnya Lauren dan Grace juga belum masuk melihat keadaan Jevin.
“Pokoknya apapun keadaannya, tetep ada buat Jevin, ya?” kata Grace lagi, Lauren pun berjalan mendekat ke arah kedua adik iparnya itu. “Aku jemput Mama dulu ya di depan, Papa sama Mama katanya kesini.” Lauren mengusap kedua pundak Grace dan Letta. Keduanya menoleh dan mengangguk.
“Aku temenin Letta, Ci,” kata Grace. Lauren pun berjalan beranjak dari sana.
“Kedua kalinya lihat Jevin kayak gitu, rasanya kayak mimpi buruk buat aku, Grace. Nggak kuat,” kata Letta lirih sambil meraih jemari suaminya. Grace pun bisa merasakan apa yang Letta rasakan, Grace merangkul Letta. Hati Grace juga ikut berdesir nyeri dan sakit. Kata sabar juga mungkin sudah terlalu basi untuk didengar, terlalu klise dan akan sulit dilakukan untuk saat ini.
“Grace, aku boleh jujur?” tanya Letta sambil menatap Grace.
“Boleh, you can tell me everything,” balas Grace. Akhirnya Letta tertunduk, seketika ia menangis tanpa suara, “Lett?” kata Grace lirih, tidak ada kata yang diucapkan Grace, punggung Letta bergetar hebat, Letta langsung memeluk Grace dan menangis di pelukan Grace, hal itu membuat Grace bingung setengah mati.
“Kenapa? Ada hal apa lagi? Kenapa, Lett?” tanya Grace panik.
“Jevin... Je..vin... kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya karena kecelakaan itu,” tangis Letta bahkan untuk merampungkan kalimatnya saja Letta terbata-bata.
“Maksudnya? Jevin kenapa?” tanya Grace sambil terus mengusap punggung Letta.
“Kata dokter, Jevin ada kemungkinan mengalami kebutaan.” Usai kalimat itu diucapkan Letta, Grace seketika membeku, tak bisa berkata apapun selain memeluk Letta erat-erat. Sementara Letta masih menangis, suasana yang terasa semakin sendu itu membuat Grace juga bertanya dalam hatinya, “Tuhan, apa semua bisa kembali ke keadaan semula?”
“Aku nggak sanggup...” tangis Letta lagi.
“Kak Jevin!” seru seseorang dari arah belakang Jevin. Hamparan bunga dan ilalang yang ada di sekitar Jevin membuat Jevin mendengar gema suara itu sekali lagi. Jevin menoleh ke kanan dan ke kiri tapi tidak ia jumpai siapapun.
“Kak Jevin!” Suara itu hadir lagi. Jevin berlari mengikuti arah datangnya suara itu. Berulang kali suara itu menggema. Di tengah hamparan luas bunga-bunga kali ini, Jevin melihat seorang gadis berambut panjang sedang memainkan piano, sebuah irama lagu yang tak asing baginya ia dengar kali ini.
Langkah Jevin terhenti saat sang pemain piano itu menoleh dan tersenyum ke arah Jevin. “Eve?”
“Kak Jevin,” kata Eve sambil beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekat ke arah Jevin, kini Eve dan Jevin sudah saling berhadapan.
“Eve, kita ketemu lagi?” tanya Jevin.
“Iya, aku udah nggak harus pakai hearing aids,” kata Eve sambil menoleh sedikit memperlihatkan keadaan telinganya tanpa hearing aids.
“Ve...”
“Aku sayang kakak, Letta lebih sayang kakak, keluarga kakak juga sayang Kak Jevin.” Kalimat itu dilafalkan Eve dengan tenang dan senyuman yang teduh. Eve juga merapikan sedikit anak rambut Jevin yang berantakan.
“Terima kasih, kak Jevin udah mengabadikan aku di nama anak-anak kakak. Aku selalu berdoa biar anak-anak Kak Jevin dan Letta jadi berkat dan kebanggaan, sama seperti kak Jevin.” Eve mundur satu langkah, Jevin hendak maju mendekat tapi Eve menahan dada Jevin.
“Jangan dulu, kakak tetap di sana. Live your life after this with Letta and your family.”
“Eve...”
“Everything is gonna be okay, God protect and make it all in His right time, Eve pamit ya, kak,” kata Eve sambil melambaikan tangan, Jevin hanya bisa diam terpaku sambil menahan tangis memandangi bayang Eve yang semakin memudar.
Jemari Jevin bergerak perlahan, hal itu dilihat jelas oleh Letta. Saat ini Lauren, Jeremy dan Lea tengah ada di luar menunggu sementara yang ada di dalam hanyalah Letta seorang, jemari Jevin sedikit terangkat dan Letta langsung memencet bel yang ada di dekat tempat tidur Jevin untuk memanggil dokter dan perawat.
“Jev, kamu denger aku? Jevin... aku disini, sayang, aku disini,” kata Letta lirih sambil menggenggam tangan Jevin.
Bibir Jevin seakan ingin mengatakan sesuatu tapi masih sulit, tangan Jevin merespon usapan lembut Letta. Tapi sebenarnya Letta masih menahan tangis sedari tadi. Hingga akhirnya dokter dan perawat masuk Letta menjauh sejenak membiarkan dokter dan para suster mengecek keadaan Jevin. Hal itu pun membuat Jeremy, Lea, dan Lauren juga melihat ke sana tapi hanya sebatas di ambang pintu. Lea langsung merangkul menantunya yang tengah hamil itu.
Letta cemas dan khawatir menunggu beberapa menit, Letta hanya bisa menggenggam tangan Lea. Sampai akhirnya Letta mendengar teriakan dari Jevin, “arrghhh!!” hal itu langsung membuat Letta, Lea, Jeremy mendekat ke sana, sementara Lauren yang sudah mengetahui keadaan yang sebenarnya pun menunggu di luar, Lauren menangis di luar ruangan bersandar di tembok sampai terduduk, Lauren menangis dalam posisi jongkok dan melipat lututnya, untuk kesekian kalinya Lauren anak pertama dari keluarga ini harus melihat keadaan adiknya yang tidak baik-baik saja.
“Jevin... jevin...” tangis Lauren seorang diri karena Jeremy dan Lea sudah ada di dalam bersama Letta. Lauren tersedu di sana sampai akhirnya ia merasakan seseorang mengusap punggungnya, Lauren perlahan mendongak, melihat seseorang dengan jas putih ada di sana. Mevin ada di sana di hadapan Lauren dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ci...”
“Dek, Jevin...”
“Iya,” Mevin mengangguk dan mencoba mengerjapkan matanya agar air matanya tidak jatuh, tapi akhirnya tangisan Mevin pecah juga saat Lauren menghempaskan diri ke pelukan adiknya itu. Lauren dan Mevin saling memeluk, Mevin menangis tanpa suara, tapi Lauren tidak bisa tahan lagi emosi dalam hatinya.
Sementara di dalam ruangan, Jevin memberontak berteriak karena semua hanya gelap.
“Saya nggak bisa lihat, dok!” jeritnya.
Jeremy langsung sigap menahan dan duduk di sebelah Jevin untuk merangkul tubuh anaknya itu. Lea dan Jeremy memberi kode kepada dokter dan suster itu untuk berbicara setelah ini, akhirnya yang tersisa di sana hanyalah Lea, Letta dan Jeremy. Letta masih menangis di pelukan Lea, Jeremy masih mencoba menenangkan Jevin.
Letta perlahan berjalan mendekat meraih tangan Jevin, tapi Jevin menghempaskannya.
“Kenapa Jevin nggak bisa lihat? Perbannya udah dibuka, tapi semuanya masih gelap!!” kata Jevin sambil mengusap kasar matanya.
“Jangan gitu, nak, jangan diusap kasar,” kata Lea menenangkan.
“Pa, Ma? Letta? Kalian disini kan? Jevin nggak bisa lihat! Semuanya gelap! Cuma gelap!”
Jeremy yang menahan tubuh Jevin mengusap dahi Jevin yang berpeluh, menyandarkan tubuh Jevin di tubuhnya, semua kehabisan kata-kata termasuk Jeremy dan Lea, orang tua Jevin.
“Jevin buta, ya?” Jevin berkata diatas tawa pedih, mengiris hati siapapun yang mendengarnya saat itu, Letta mendekat mengusap tangan Jevin lalu mencium punggung tangan Jevin, “Everything is gonna be okay, Tuhan nggak tidur sama keadaan yang kita alami,” kata Letta. Hal itu membuat Jevin teringat mimpinya saat bertemu Eve. Persis seperti itu, Jevin merasakan dadanya sesak, yang bisa Jevin lakukan hanyalah menangis setelah itu.
Jevin menangis sejadi-jadinya, di pelukan Jeremy untuk pertama kalinya Jevin menangis dan mengatakan, “Papa maafin semua kesalahan Jevin, maafin Jevin, Pa..”
Jeremy tak bisa bendung air matanya, ia berbisik lirih, “iya, nak.. iya, Papa sayang Jevin.”
“Ma.. maafin Jevin,” tangan Jevin terulur seakan hendak meraih tangan Lea yang tidak bisa ia lihat, Lea mendekat meraih tangan anaknya itu, Jevin pun langsung dipeluk oleh Lea, berulang kali Lea mencium puncak kepala Jevin, Lea memeluk anaknya yang menangis di pelukannya itu. “Maafin Jevin kalau jadi anak yang nggak baik selama ini, Jevin minta maaf ya, Ma...” Pelukan itu direnggangkan, Lea usap jejak air mata di wajah Jevin dan cium pipi anaknya itu, “Mama selalu berdoa untuk Jevin, mama bersyukur punya Jevin di hidup Mama.” Jevin mengangguk dan mencoba tersenyum, pelukan direnggangkan, “Lett...” kata Jevin sambil mencari dimana tangan istrinya, akhirnya Letta mendekat, meraih tangan Jevin dan langsung memeluk Jevin. Tangan Jevin melingkar di perut Letta yang membesar itu, kepala Jevin bersandar di pelukan Letta.
“Maafin aku, maafin aku yang nggak pernah bisa bikin kamu bahagia, maafin aku yang kadang jadi pecundang. Aku sayang kamu, jangan tinggalin aku, jangan.. aku mohon..”
“Nggak ada yang bakalan ninggalin kamu, nggak akan ada, sayang...” balas Letta sambil terus memeluk suaminya itu, yang ada di sana hanyalah suasana mencekam, sakit dan pilu. Jevin mungkin memang kehilangan penglihatannya, tapi Jevin tidak kehilangan kasih sayang sedikitpun dari keluarganya. Hati semua orang terkoyak, tidak pernah menyangka hal seperti ini harus Jevin terima. Kita kadang mengutuk atas kehidupan yang berjalan tidak seperti apa yang kita mau. Tidak ada salahnya mengharap kehidupan serupa mimpi, meski kadang yang disuguhkan hanyalah diantara mimpi indah atau mimpi buruk, dimana keduanya harus sama-sama dijalani. Tidak ada kuasa sebagai makhluk ciptaan untuk menentang takdir, tidak ada kuasa sebagai manusia untuk mengatur garis hidup. Tapi, sebagai manusia kita bisa mengusahakan dan melakukan yang terbaik, karena Sang Pencipta kita yang akan mengatur seluruh kehidupan kita.
Kehidupan kita sudah direnda sedemikian rupa, dari saat kita lahir ke dunia, menjalani kehidupan di dunia, dan sampai raga kita terpendam di ujung usia.