Setelah ini apa lagi?
Sebelum Jevin sampai di rumah, Letta sibuk seorang diri sambil mengurus Eugene yang sedang sakit. Awalnya, Letta kuatkan hatinya dan dirinya karena ia juga merasa kurang enak badan. Sekujur badannya sakit karena harus sering menggendong Eugene, tidak napsu makan, beberapa kali ia merasa mual dan tubuhnya lemas.
Entah apa lagi yang terjadi di antara Jevin dan Letta kali ini. Jevin juga tiba-tiba menjadi mudah marah walaupun di chat saja. Hal itu membuat Letta bertanya-tanya.
Kali ini, Letta tengah menyuapi Eugene di kamarnya, tapi Eugene masih susah makan.
“Ayo, Nak, dimakan dulu biar bisa minum obat. Jangan nggak makan, biar cepet sembuh,” kata Letta memohon.
“Nggak mau… Eugene nggak mau makan,” rengek Eugene.
“Kata uncle Mevin apa? Harus makan, kan?”
“Nggak enak, obat pahit, Eugene nggak suka, Ma…”
Letta menghela napas panjang, mulai menyerah dengan anaknya. Saat itu bersamaan dengan Jevin yang membuka pintu kamar, wajah Jevin juga tidak menunjukkan sukacita. Diri Jevin sekalipun sangat terlihat berantakan.
“Jev, boleh suapin Eugene sebentar? Aku siapin obatnya dulu,” kata Letta sambil berjalan mendekati Jevin. Tak ada suara dari Jevin melainkan hanya anggukan saja. Jevin menerima mangkok yang Letta berikan untuknya lalu berjalan dan duduk di kasur di sebelah Eugene yang bersandar. Letta pun keluar kamar dan mulai menyiapkan obat yang harus Eugene minum.
Tapi saat Letta sedang menyiapkan obat-obatan itu, ia merasa sedikit mual, dan pandangannya kabur. Letta berpegang pada tembok, ia tundukkan sedikit tubuhnya, rasa sakit di sekujur tubuhnya semakin menjadi, tubuhnya semakin lemas hingga Letta duduk di lantai dan bersandar di tembok tanpa sepenglihatan Jevin.
Keringat dingin mulai keluar dan membasahi wajah Letta, bersamaan dengan itu, Letta mendengar suara Jevin menggerutu di dalam.
“Dimakan dong, Eugene biar sembuh.” “Aduh jangan dimuntahin lagi.” “Dimakan dong, Nak.” “Aduh jangan kayak gitu, nurut sama Papa!”
Jevin belum memberitahu apa-apa tentang kondisi Papanya yang sedang berada di rumah sakit, tapi Jevin juga masih terbawa perasaan kalut karena masalah di kantor, papanya dan kini belum sempat ia bicara apa-apa kepada Letta ia harus mengurus anaknya. Sebenarnya, disinilah ketegaran hati Letta dan Jevin diuji. Sayangnya, Jevin memendam apa yang jadi pikirannya karena tahu Letta sudah lelah mengurus Eugene yang sakit, Letta juga memendam apa yang ia rasakan karena tahu seorang ibu harus kuat untuk anaknya, dan Letta pun belum mengetahui apa apa tentang masalah Jevin.
Akhirnya karena mendengar Eugene menangis, Letta mengumpulkan kekuatannya, menahan tangisnya, mencoba berdiri sekuat tenaga dan masuk ke kamar dengan membawa obat yang harus Eugene minum. Letta langsung duduk di sebelah kiri Eugene, tepat berseberangan dengan Jevin lalu tangan Letta meraih mangkok yang Jevin pegang.
“Biar sama aku aja, kamu istirahat aja beres-beres sana, anak lagi sakit jangan diomelin.” Letta berkata dengan nada ketus.
Jevin bangkit berdiri beranjak dari ranjang, melonggarkan kancing kemejanya, mengambil ponsel dari kantong celananya dan melempar pelan ke atas kasur begitu saja lalu melenggang ke kamar mandi. Jevin menutup pintu kamar mandi dengan sedikit kasar membuat Letta sebenarnya geram tapi Letta menyimpan segenap kekuatannya untuk mengurus Eugene daripada untuk membuang tenaga marah kepada suaminya itu.
Siapa yang sangka, Jevin yang baru saja masuk ke kamar mandi langsung bersandar di tembok perlahan terduduk dan mengacak rambutnya kasar berulang kali. Jevin menangis tanpa suara. Mengingat keadaan kantor yang kacau, keadaan Mamanya dan Papanya, juga Eugene. Terlalu banyak yang terjadi di saat yang bersamaan kali ini. Isakan Jevin ia bungkam sendiri, tak ada yang tahu, tak ada yang mendengar tangisan Jevin.
“Apa lagi, Tuhan? Setelah ini apa lagi yang terjadi?” lirihnya seorang diri.