SLOWMOTION
Hari itu, mentari tak malu untuk menerangi langkah Shannon dan Raymond, dua sejoli yang mungkin bisa dibilang sedang menjajaki masa perkenalan lebih jauh dari sebelumnya. Sehangat itu hubungan mereka berdua, sedamai itu hari-hari yang mereka lewati sekarang ini.
Pada sore hari menuju senja kali ini, sejak selesai mengurus urusannya di kampus, Shannon sudah berjanji akan mengantarkan Raymond ke suatu tempat sesuai dengan permintaan Raymond. Sepanjang perjalanan, Raymond hanya diam selama Shannon menanyakan hendak kemana mereka berdua.
“Kak, kita mau kemana? You okay?” tanya Shannon saat Raymond masih fokus menyetir.
Pria di sebelah Shannon itu menoleh menatap sang puan sebentar, “sure, emang kenapa? Mau kemana, yaa…. Kamu maunya kemana?” tanya Raymond sambil tersenyum.
“Where will we go?” tanya Shannon merengek.
“Somewhere,” jawab Raymond sambil mengedikkan bahunya.
“I need to know,” balas Shannon lagi.
Tapi apa yang dilakukan Raymond? Ia membawa tangan Shannon itu untuk ia usap sebentar, “ikut aja, nggak akan aku culik,” katanya. Shannon memutar bola matanya lalu mencubit lengan Raymond, “Kak, aku serius, kita mau kemana?”
Saat lampu merah menyala, Raymond menghentikan mobilnya, satu tangannya ia gunakan untuk mengusap pipi Shannon lembut, “Jengukin adikku, Justin masuk Rumah Sakit, sebentar aja, ya?”
DEG! Jantung Shannon berdebar.
“Kak kenapa nggak ngomong? Kan aku bisa bawain buah, atau apa gitu, astaga kak Raymond! Masa iya jengukin Justin tangan kosong gini, kakkkkk…” Shannon merajuk. Tapi Raymond malah terkekeh gemas melihat Shannon.
“Justin lagi nggak boleh makan aneh-aneh, udah nggak papa, kita ke Rumah Sakit aja juga dia pasti udah seneng banget,” kata Raymond.
“Kak.”
“Nggak usah bawa apa-apa, Shannon cantik. Udah banyak makanan di sana disediain Mamiku.”
“Hmm…” Shannon mengangguk.
“Senyum dulu dong,” kata Raymond, Shannon menoleh dan tersenyum, tangan Raymond yang bertengger di satu tangan Shannon itu kini berpindah menepuk pelan puncak kepala Shannon beberapa kali yang tentu saja membuat degup jantung Shannon semakin berlomba dengan laju aliran darahnya.
Sesampainya di rumah sakit, Raymond mengajak Shannon masuk ke ruangan dimana Justin dirawat. Ruangan VIP itu hanya diisi oleh Justin saja, tidak ada yang menemani karena baru saja Maminya pulang karena tahu kalau Raymond hendak kesana dan ada beberapa hal yang harus diurus Maminya itu. Mata Justin mendelik saat melihat Raymond masuk ke ruangannya dengan bersama seorang perempuan.
Shannon pun langsung memberi senyum dan menyapa Justin saat tiba di sana. “Halo Justin,” kata Shannon ramah. Justin masih terperangah.
“Salaman buru!” tegur Raymond membuyarkan Justin.
Justin menggeleng cepat lalu berjabat tangan dengan Shannon.
“Abang pakai pelet ya?” tanya Justin tiba-tiba.
“Orang nyapa lo tadi disapa balik dulu, halo juga kak Shannon, gitu. Malah ngatain gue pakai pelet, apa sih kambing.” Raymond ngomel sambil duduk di tempat tidur Justin di dekat kaki adiknya itu sementara Shannon duduk di kursi yang ada di sebelah tempat tidur Justin.
“Halo kak Shannon, aku Justin adeknya Abang, hehe,” kata Justin sambil meringis.
“Kak Shannon pacarnya abang?” tanya Justin lagi.
Shannon mendelik, Raymond langsung menepuk keras kaki adiknya itu.
“Mulut lo di rem atau minimal diayak dulu, anjir,” omelnya.
“Aku adik tingkatnya Abang kamu, hehe,” kata Shannon malu-malu.
“Oh, kirain pacaran,” balas Justin.
“Belum.” Raymond berkata enteng sambil memandang kesana kemari menghindari pandangan mata Shannon.
“Belum berarti akan, ya?” Justin tersenyum menggoda.
Belum sempat Raymond menjawab, Shannon mengalihkan pembicaraan, “Justin maaf aku nggak bawa apa-apa soalnya tadi Kak Raymond nggak ngomong kalau mau kesini, jadi nggak ada persiapan.”
Justin terkekeh, “hati-hati loh kak,” katanya.
Shannon mengernyitkan dahinya, “hati-hati kenapa?”
“Dibawa kesini aja diem-diem, nanti diem-diem diakuin pacar, hahaha,” kelakar Justin menggema.
“Lo tuh sakit masih ngeroasting gue, Tuhan males mau nyembuhin lo nanti,” cibir Raymond. Sungguh, Shannon tidak mengerti lagi dengan kedua kakak beradik yang ada di hadapannya kali ini. Melihat Raymond telaten membantu Justin meminum obat, mengambilkan minum, mengatur infus yang melambat tetesannya, mengambilkan ini itu, membuat Shannon tanpa sadar menarik sudut bibirnya. Dibalik tingkah Raymond yang gas-gasan ternyata ia sangat peduli terhadap anggota keluarganya terutama Justin.
“Kalian pasti akur banget, ya?” tanya Shannon.
“ENGGAK!” jawab keduanya bersamaan.
Shannon menatap Raymond dan Justin bergantian, “enggak, tapi kompak ya… hehe…”
“Enakan diurusin abang, kalau sama Papi suka dimarahin, kalau sama Mami apa-apa nggak boleh, parnoan kalau Mami. Kalau sama Abang lebih santuy tapi emang agak nyebelin aja, hehe,” elak Justin.
Shannon terkekeh, “Abang kamu emang agak nyebelin,” bisinya kepada Justin.
“I can hear you,” ucap Raymond tersenyum paksa.
“Roasting aja orangnya nggak usah bisik-bisik, kak,” kata Justin kepada Shannon. Hari itu, Justin benar-benar merasa terhibur dan senang dengan kedatangan Raymond dan Shannon, begitu juga dengan Shannon, meski ia bukan siapa-siapa bagi Raymond, tapi jujur saja semua sikap Raymond membuat Shannon berdebar dan tanpa sadar tersenyum begitu saja.
Usai menengok Justin, saat keluar dari ruangan Justin, Raymond memberanikan diri bertanya, “Shan, boleh gandengan nggak, sih?”
Shannon membeku seketika, ia hanya menelan ludah dan menatap Raymond yang sepuluh senti lebih tinggi darinya itu.
“Shan?” Raymond menjentikkan jarinya di depan wajah Shannon.
“Boleh?” tanya Raymond dengan malu-malu dan mengangkat alisnya seakan memohon.
Shannon mengangguk, sungguh, Shannon membuka telapak tangannya seakan mempersilakan Raymond menggenggamnya. Benar saja, Raymond langsung menggenggam jemari Shannon dan menyatukan dalam tautan genggaman, keduanya berjalan beriringan sampai di parkiran tanpa melepaskan tangan, sampai di depan mobil Raymond, sebelum Raymond membukakan pintu mobil bagi Shannon, ia menahan Shannon sebentar. Shannon bersandar di body mobil Raymond dan Raymond tepat ada di depan Shannon dengan jarak dekat. Jantung Shannon benar-benar hampir melompat dari tempatnya!
“Shan,” kata Raymond lirih.
“Y…ya?”
“Makasih ya, udah mau ikut jenguk adikku.”
“Tapi ini aku diculik karena aku nggak dikasih tahu mau jenguk Justin,” kata Shannon sambil memanyunkan bibirnya. Raymond tersenyum tipis, ia membungkukkan tubuhnya sedikit dan mendekatkan wajahnya ke Shannon, sungguh, Shannon sudah ketakutan bukan main, ia langsung memejamkan mata, “maaf ya, cantik.” Raymond berkata tepat di telinga Shannon dan dengan suara yang berat. Shannon langsung membuka mata, mendapati Raymond sudah di tempat semula dan tersenyum membuat mata Raymond menyipit. Shannon menghela dan mengembuskan napas panjang, untung tidak terjadi hal lain.
“Iya, dimaafin. Ya udah, ayo pulang,” kata Shannon salting sambil berbalik badan dan membuka pintu mobil, tapi Raymond lagi-lagi menahannya, ia menarik tangan Shannon lagi lalu membuat Shannon menghadapnya.
“Bentar,” kata Raymond.
“Apa lagi, kak?”
“Ini,” kata Raymond sambil menarik pergelangan tangan Shannon lalu memberikan sebuah hair clip yang dihias dengan manik-manik menyerupai mata berlian. Bentuknya hanya lurus tapi warna emasnya membuat kesan elegan saat dipakai nanti.
“Buat kamu,” kata Raymond lagi.
Shannon heran, “dalam rangka apa? Tapi ini bagus banget, lucu banget!” katanya girang.
“Sini aku pakein,” ujar Raymond sambil memasangkan hair clip itu di sisi rambut Shannon sebelah kanan dengan rapi. Shannon pun bergeser mendekat ke arah spion mobil Raymond dan tersenyum bahagia, “bagus banget, makasih Kak Raymond!” katanya antusias. Raymond mengangguk dan tersenyum, ia membelai surai panjang Shannon juga sesaat lalu membukakan pintu mobil untuk Shannon. Tak hanya itu, Raymond membantu memasangkan seat belt, lalu juga kembali menggenggam tangan Shannon sesekali saat mereka berada di dalam mobil. Bukan hanya jantung Shannon yang berdegup kencang tapi juga jantung Raymond saat ini. Entah perasaan macam apa kali ini yang mereka miliki. Perlahan tapi pasti, sepertinya mereka sudah menerka dan mengartikan apa arti perasaan mereka kali ini.