Something Behind

Berulang kali Yoel mengetuk pintu kamar Eugene tapi tidak membuahkan jawaban apapun. Berkali-kali juga sebelum Eugene mengunci diri di kamar, Yoel menegur dan mengajak kakak laki-lakinya itu bicara tapi hasilnya tetap nihil. Yang Yoel dapatkan hanyalah bentakan dari Eugene. Kali ini Yoel dan Michelle tak henti-henti memohon agar Yoel menyudahi usahanya mendobrak kamar Eugene.

“Ko, udah … nanti berantem lagi, jangan…” pinta Michelle sambil mencoba menarik tangan Yoel untuk menjauh dari pintu kamar Eugene.

“Kamu sendiri cium bau rokok kan? Nanti kalau Mama sama Papa pulang gimana?!” bentak Yoel.

“Tapi Michelle nggak mau lihat Ko Yoel sama Ko Eugene berantem lagi!” jerit Michelle, akhirnya saat itu juga Yoel melepaskan genggaman tangan adiknya dan menarik tangan Michelle mengantarkan Michelle ke kamarnya.

“Diem di kamar, jangan keluar sampai koko yang samperin kamu kesini!” perintah Yoel lalu menutup pintu kamar Michelle lalu kembali lagi mendobrak kamar Eugene. Sementara Michelle yang ditinggalkan di dalam kamar hanya bisa menangis dan ketakutan.

“Ko! Buka pintunya anjir! Ko Eugene!!” pekik Yoel nyaring. Tapi hasilnya tetap percuma, tidak ada jawaban dan pergerakan dari Eugene. Hingga akhirnya Yoel sudah ada di puncak emosinya kini ia benar-benar membiarkan menghantamkan tubuhnya ke pintu itu. Ia mendobrak pintu itu sekuat tenaga lalu ia mendapati kakak laki-lakinya itu yang tengah membereskan sesuatu yang berserakan di lantai.

“Itu apa, bangsat?!” Yoel menghampiri Eugene dan melihat beberapa batang rokok berserakan di lantai.

“Lo goblok apa bego?!” teriak Yoel sampai tenggorokannya tercekat. Eugene masih sibuk memasukkan batang rokok itu ke kotaknya, sementara Yoel sudah berdiri di belakang Eugene menahan emosi dan air matanya. Karena tidak berkutik, akhirnya Yoel menarik kerah belakang baju Eugene dan membuat rokok-rokok itu berceceran lagi.

BUG! Satu pukulan langsung mendarat di pipi Eugene dari Yoel. Tapi apa yang terjadi? Eugene hanya mendengus dan menatap Yoel picing, matanya merah dan basah, wajahnya sedikit pucat, bahkan saat berdiri saja ia sedikit terhuyung tapi Eugene tidak melawan Yoel sama sekali.

Kini Yoel sudah mencengkeram kerah baju Eugene dengan kedua tangannya, “lo kenapa anjir, lo mau bikin Papa sama Mama marah lagi?!” kata Yoel dengan penuh amarah. Eugene menggenggam kedua pergelangan tangan Yoel dan berusaha melepaskannya, tapi Yoel masih bersikukuh mencengkeramnya.

“Jawab anjir, Ko!! Lo lupa lo pernah sakit? Lo maunya apa, sih? Hah?!” bentak Yoel lagi, tapi yang Eugene lakukan, ia melepaskan genggamannya terhadap adiknya itu.

“Pukul gue, El… sekarang…” ujarnya lirih.

Yoel terkejut bukan main, ia terdiam tapi Eugene menatapnya tajam, “pukul gue sekarang!!” kata Eugene dengan nada tingginya. Tapi, tangan Yoel menjadi gemetar, ia tidak tahu harus melakukan apa. Bahkan kini air mata sudah mengalir begitu saja di pipi Eugene.

“Cepet pukul gue sepuas lo!” gertak Eugene lagi, bahkan Eugene mengarahkan tangan Yoel ke pipinya tapi Yoel melawan dan enggan melakukannya.

“Gue bukan lo yang ngelakuin suatu hal tanpa alasan, kasih gue alasan kenapa gue harus mukul lo!”

“Pukul gue cepet... pukul...” paksa Eugene tapi suaranya melirih. Hingga akhirnya Yoel melepaskan genggamannya dan mendorong kasar tubuh Eugene menjauh dan membuat Eugene tersungkur di lantai.

“Lo kenapa, sih, Ko?! Kenapa?!” tanya Yoel membentak, jangan kira teriakan-teriakan itu tidak didengar oleh Michelle di kamarnya, ia jelas mendengar suara kedua kakak laki-lakinya itu saling membentak dan Michelle tidak berani untuk melangkah keluar dari kamar.

Eugene yang terduduk di lantai, kini menyeret tubuhnya bersandar di lemari, ia terkekeh sambil menghapus air matanya, “lo nggak akan ngerti,” katanya.

“Lo nggak pernah cerita, lo nggak ngomong ke gue gimana gue bisa ngerti?!” sanggah Yoel.

“Percuma gue cerita juga, sekarang pilihannya cuma dua, lo mau disini dan silahkan tampar gue dan pukul gue, atau lo keluar dari kamar gue?” kata Eugene sambil menata rokoknya lagi ke dalam kotak.

“Gue nggak ngerti sama lo, sumpah!”

“Emang di dunia ini ada yang ngerti gue? Nggak ada juga,” kata Eugene dengan nada pasrah.

Yoel menyeka air matanya dan mengacak rambutnya sendiri dengan kasar, “lo nggak pernah cerita ke gue, lo nggak pernah jelasin ke gue kenapa lo kayak gini, gue nggak akan ngadu ke mama sama papa, tapi kalau papa sama mama tahu sendiri, itu bukan dari gue. Inget itu, ko!” kata Yoel setelahnya lalu keluar dari kamar Eugene itu dan menutup pintunya dengan kasar.

Di sisi lain, ternyata Yoel sempat meraih secarik kertas yang bertengger di meja belajar Eugene sebelum ia keluar dari kamar kakaknya itu. Saat sampai di luar kamar Eugene, Yoel duduk di sofa ruang tamu dan membaca goresan tinta Eugene itu perlahan.

hari ini, gue ketemu seseorang, namanya Felicia, anak dari mantan pacar Papa dulu, tepatnya wanita yang udah jadiin Papa selingkuhan, wanita yang pernah jadi penyebab rumah tangga papa sama mama retak dan bercelah. Dia bilang dia benci setiap lihat gue ataupun anggota keluarga gue. Papanya felicia pernah culik mama dan bikin papa sama mama hampir pisah, tapi dia malah kayak benci banget sama gue, haha dunia lucu ya? Mama nggak salah tapi mamanya felicia jahat banget udah jadi antagonis di cerita kehidupan papa sama mama. Gue nggak ngerti kenapa mereka kayak gitu, jangan tanya gue tau dari mana, jangan panggil gue Eugene kalau nggak tahu apa-apa tentang keluarga ini, gue masih punya tenaga buat cari tau semuanya, gue masih punya tenaga buat lindungi keluarga gue. Semua terjadi sebelum kelahiran gue, sebelum lahir ternyata gue udah bikin susah papa mama ya? Setelah lahir gue sakit sakitan, gunanya gue apa di dunia ini? Sekarang gue nggak berani lihat mata papa ataupun mama, gue nggak ngerti kenapa jalan hidup kayak gini, gue nggak ngerti kenapa sampai kayak gini, kenangan masa kecil juga nggak hilang gitu aja, masih jelas banget gimana waktu Yoel lahir dan keadaan keluarga lagi nggak baik-baik aja, masih jelas di ingatan gue gimana gue gandeng tangan papa dan nunjukin jalan buat papa, itu sakit banget. Gue harap Yoel ataupun Michelle nggak ada yang kayak gue, gagal jadi anak. Maafin Eugene, Pa.. Ma…

Eugene yang masih duduk di lantai bersandar di lemarinya itu hanya bisa tertunduk dan menutup kotak rokoknya lagi, ia menyimpan lagi kotak itu di tasnya, tapi sebelumnya ia ambi dulu satu batang dan ia mainkan dengan jarinya, ia putar-putar dan ia amati satu batang rokok itu. Eugene menyulut lagi rokok yang ada di sela jarinya itu, rokok yang sudah diracik dicampur dengan obat terlarang pemberian temannya.