STRONGHOLDS ARE BROKEN

Pada binar mata Mevin yang Lea tatap selalu muncul bayangan Jovian. Paras Mevin bagaimanapun juga sangat mewarisi perawakan Jovian. Setiap kali Lea memandang Mevin ia selalu mendapatkan bayangan paras Petra dan Jovian bergantian. Setiap malam Lea selalu menitipkan doa dan harap lewat doa untuk ketiga anaknya dan keutuhan keluarganya terlebih untuk kesembuhan Mevin. Kali ini Jeremy yang menemani Mevin untuk melakukan terapi. Mevin memang akhir-akhir ini masih harus menggunakan kursi roda, geraknya terbatas dan harus dibantu dalam segalanya.

Kali ini Lea tengah berada di ruang tamu ia tengah menunggu Jeremy dan Mevin yang pulang dari Rumah Sakit untuk terapi, kerusakan saraf motorik Mevin memang masih mempengaruhi gerak tubuhnya bagian bawah. Keadaan memang banyak berubah, tak henti Lea titipkan harap lewat rapalan doanya setiap malam agar keadaan kembali seperti sedia kala terutama untuk Mevin.

Lea sempat terpikir hendak menelfon Grace memastikan keadaan anak itu baik-baik saja. Tapi Lea takut kalau Grace mungkin tidak atau belum berkenan, mengingat Grace dan Mevin yang belum berhubungan lagi. Lea pun menyesap minuman hangat yang ia buat, bersandar pada sofa dan berulang kali mengecek ponselnya menunggu kabar dari Jeremy. Tidak biasanya Jeremy dan Mevin kembali dari rumah sakit selama ini. Lea pun mencoba menelfon Jeremy lagi, tapi suara mobil yang memasuki pekarangan rumahnya membuyarkannya. Mobil Jeremy di sana, Lea pun beranjak dan menunggu di ambang pintu. Saat itu, Jeremy keluar dari mobil seorang diri, ia mendekat ke arah Lea.

“Mevin mana, kok sendiri?” tanya Lea.

Tak ada jawaban dari Jeremy karena kini Jeremy mengecup pipi Lea lalu menatapnya dan menangkup pipi Lea.

I have something for you,” kata Jeremy. Lea mengernyitkan dahinya bingung.

“Mevin mana? Aku nggak minta apa-apa, Mevin mana?” tanya Lea lagi.

Jeremy hanya tersenyum dan mengacak pelan rambut Lea, Jeremy menarik tangan Lea untuk menuju mobil. Jeremy membuka pintu mobil, Mevin ada di sana, anak Lea itu tersenyum. Lea menjadi bingung. Bukankah Jeremy harusnya menyiapkan kursi roda dan membantu Mevin turun?

“Mana kursi rodanya Mevin? Kok kamu diem aja?” tanya Lea nerocos. Jeremy hanya mengedikkan bahunya dan bertukar tatap dengan Mevin. Lea menjadi semakin bingung. Mevin meraih sesuatu di belakang jok mobil yang ia duduki, dua buah tongkat ia ambil dan ia daratkan ujung tongkat itu ke lantai, Lea mendelik kaget saat Jeremy memegangi satu lengan Mevin, anaknya itu turun dari mobil dengan bantuan Jeremy, Mevin menggunakan tongkatnya sebagai tumpuan.

Mevin berdiri dengan tongkat disana kedua kaki Mevin menapak tegak dan Mevin menggunakan tongkatnya sebagai sanggahan tubuhnya yang ia himpit dan pegang dengan tangan dan lengan kanan dan kirinya. Cahaya yang datang taklukan silau yang menghampiri, hati memekik terjamah rasa teduh saat netra bersua. Senyum Lea terhenti bersamaan dengan detak jantung yang tidak karuan saat melihat anaknya sudah bisa berdiri meski dengan bantuan tongkat. Air matanya hendak tumpah ruah saat itu, tidak, sudah tumpah seketika itu juga.

“Mevin bisa berdiri, Ma!” seru Mevin di depan Lea saat itu.

“Nak ....” Nada bicara Lea memelan, ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

“Here we go, our son, sayang.” Jeremy berkata dengan nada terharu. Secepat kilat Lea langsung memeluk Mevin, mencium pipi Mevin lembut, Mevin hanya bisa tersenyum haru. Jeremy merasakan hangat dalam hatinya melihat suasana itu.

“Mama makasih udah selalu doain Mevin, jangan bosen doain biar Mevin cepet bisa jalan lagi, ya?” kata Mevin saat pelukan direnggangkan dan ia membawa wajahnya memandang Lea dan menahan kuat-kuat air mata yang hendak tumpah saat itu. Selanjutnya tangan Lea meraba wajah anak di depannya walaupun dengan sedikit gemetar.

“Nggak pernah ada kata capek untuk doain Mevin. Makasih anak Mama udah kuat sampai saat ini. Sebentar lagi Mevin sembuh, ya, Nak?” suara Lea terdengar gemetar kala itu. Sebuah senyum hangat menyambut ucapan Lea saat itu.

Benar saja, Mevin―ada disana dengan kondisi yang lebih baik saat ini. Lea menatap senyuman yang terlihat di depannya kala itu, air matanya tumpah saat ia merapalkan kalimat “Ini bukan mimpi kan? Anak Mama udah mulai sembuh kan?” kata Lea sambil menangkup kedua pipi Mevin, keduanya sudah saling berhadapan sekarang. Lea berulang kali menatap Jeremy dan Mevin bergantian.

Gift for you, our son, Mevin.” Jeremy tersenyum menatap Lea.

Hati Lea berdesir haru, penuh sesak dengan rasa bahagia.

“Mama,” ujar Mevin sekali lagi. Tanpa kata Lea memeluk Mevin saat itu. Mevin juga tidak bisa membendung beberapa butiran kristal yang sudah tumpah tanpa komando begitu memeluk Mamanya. Jeremy yang ada disana pun merasa terharu menyaksikan keduanya merengkuh nestapa yang kini melebur dalam satu peluk bersama―hanya air mata bahagia yang berbicara.

Kasih sayang seorang ibu lebur dalam dekap dan derai air mata. Sepenuh-penuhnya cinta yang Lea dan Jeremy berikan tak bisa dipungkiri cinta dari Lea sebagai sosok ibu yang merawat Mevin juga tak terhingga. Saat itu juga Mevin berkata dalam pelukan Lea, “maaf Mevin ngerepotin mama, maaf kalau Mevin bikin mama sakit dengan sikap Mevin selama sakit. Ma, walaupun Mevin bukan anak kandung Mama, sakit rasanya lihat Mama ikut sakit, hancur rasanya lihat Mama nangis. Mevin sayang Mama Lea.”

Saat itu Lea menangis sejadinya, tidak bisa berkata-kata hanya bisa mengangguk beberapa kali sambil mencium pipi anaknya berulang kali dan terus memeluk Mevin erat―sungguh, ia tidak menyangka salah satu hal yang membelenggu Mevin bisa lepas, meski belum sempurna, sudah ada kemajuan di kondisi Mevin. Sebenar-benarnya dan senyaman-nyamannya tempat Mevin pulang dan rumah adalah keluarga ini. Namun mereka kembali direkatkan dan diberi sebuah berkat dimana kemajuan keadaan Mevin sudah terlihat sekarang, asa dan harap Lea dan Jeremy titipkan disetiap pejam agar Mevin kembali pulih seperti semula.