Surat untuk Mevin
Mevin sayang... Janji dulu untuk nggak merasa kasihan waktu kamu baca catatan ini, okay? Pagi itu aku masih ingat bagaimana aku berangkat ke Singapore dengan hati dan pikiran yang kosong. Yang aku ingin hanya pergi dan pergi sejauh-jauhnya. Dari Mama, dari Papa dari Brandon, sekalipun nyatanya aku juga akhirnya berjarak dengan kamu.
Maaf untuk menahan diri untuk menceritakan suatu hal besar yang terjadi waktu itu. Waktu aku menghindar dari kamu. Maaf, maaf, sekali lagi maaf. Aku sendiri masih belum ngerti kenapa Tuhan pertemukan aku dengan kamu. Sekiranya kamu lelah tolong beritahu aku.
Mevin, ada satu malam dimana aku bertekad pulang. Ke rumah abadi, Vin. Jangan marah dulu!
Semuanya gagal, Vin, sekeras aku menyakiti diri dan tubuhku sendiri sekalipun, sekuat aku melangkahkan kaki agar bus itu menghantam tubuhku―yang mungkin hanya akan menimbulkan bunyi dentuman dan tabrakan antara besi dan daging, semuanya gagal.
Padahal dua langkah lagi. Nalarku sendiri pun masih jauh menerawang, sehebat itu cara Tuhan gagalkan rencanaku pulang. Mevin, kata pertama yang terucap saat aku menulis surat ini adalah “hidup”. Aku harus hidup, kamu harus hidup, kita harus hidup untuk jangka waktu yang lama. Right? Sakit yang paling palung itu masih aku rasakan, Vin, masih sampai sekarang.
Malam itu aku berjalan―sendirian. Tidak, aku ditemani gemerlap lampu dan hiruk pikuk kota malam hari, aku juga berteman kesepian di jiwaku dan keributan di isi kepalaku. Bertolak belakang memang, tapi itu kenyataannya.
Mevin, aku selalu berdoa agar suatu saat kamu ada disini. Banyaknya perban tidak akan bisa membalut luka dan sakit yang sedalam palung ini, Vin. Tapi satu pelukan penuh cinta dan kasih sayang berhasil membuat aku merasa dimanusiakan dan luka itu lenyap saat itu―mesi sesaat. Pelukan tertulus yang pernah ada, yang aku rasakan selama ini ada di kamu, Mama kamu, dan Tela serta keluarganya.
Semua orang yang tidak memiliki ikatan darah denganku bahkan. Masih sulit untuk nalarku terima. Aku menjumpai hal-hal yang nggak biasa, Vin. Jangan marah tentang cerita ini, jangan maki-maki aku. Ya? Aku minta maaf. Aku masih dan akan selalu bawa nama kamu dalam doa, keluargamu juga, Vin.
Andai kamu disini, Vin. Aku mau peluk sama nangis di pelukan kamu yang lama. Aku kangen, Vin... Nggak bisa nggak nangis... Mevin Maaf udah selalu menghindar selama di Rumah sakit, maaf untuk kata-kata kasarku dan sikap kasarku yang selalu usir kamu. Sekarang rindunya berkali lipat, Vin...
Janji kesini, ya? Janji temui aku disini, waktu aku ulang tahun. Pastikan aku masih bisa peluk kamu saat itu.
―Yang merindukan kamu, Bernadetta Gracelline C―