TALK WITH YOEL
Yoel yang sedari tadi tertidur di sofa di rumah Jeremy dan Lea, Opa dan Omanya kini terbangun saat ia merasakan belaian di rambutnya beberapa kali. Yoel merentangkan tangan dan mengerjapkan matanya dan menoleh mendapati Lea ada di sana. Yoel kaget bukan main, ia langsung terperanjat duduk, “Oma?” tanya Yoel.
Lea pun duduk di sebelah Yoel lalu merangkul cucunya itu, “Oma boleh tanya sama Yoel?” tanyanya. Yoel mengangguk sambil berulang kali mengucek matanya dan sesekali menguap, tidak ada kecurigaan dari Yoel terhadap omanya kali ini.
“Yoel merokok?” pertanyaan yang langsung membuat degup jantung Yoel tidak karuan, laju aliran darahnya seakan berhenti begitu saja, Yoel menelan ludah dengan kasar dan tidak tahu harus mengatakan apa.
“Jujur sama Oma, sebelum Papa kamu kesini.” Lea mencengkeram pelan pundak cucunya yang ia rangkul itu. Yoel tertunduk belum mau menjawab.
“Yoel, Oma nanya sama kamu.” Lea mengatakan kalimatnya dengan menekankan nama cucunya itu. Lalu Yoel mengangguk.
“Oh, ngerokok beneran.” Lea berkata dengan nada santai lalu bersandar di sofa dan menyilangkan tangannya di depan dada.
“O.. Oma, maaf …” Yoel sebenarnya takut untuk jujur, karena saat ia di rumah tadi pun Letta sudah marah terhadapnya.
“Siapa yang ajarin Yoel merokok?” tanya Lea.
“Te.. temen …”
“Enak nggak?” pertanyaan Lea tentu saja membuat Yoel bingung setengah mati. Yoel pun hanya menggelengkan kepalanya.
“Ya udah, kalau udah tahu nggak enak mah. Besok mau coba lagi?” tanya Lea yang membuat Yoel menoleh dan menggelang, Lea kembali mencondongkan tubuhnya dan menyejajarkan posisi duduknya dengan Yoel.
“Dulu papa kamu juga pernah merokok diem-diem, tapi Oma tahu, bahkan Oma pun pernah coba waktu muda dulu, ya sama kayak kamu, lihat orang, kepengin terus nyoba. Tapi udah tahu rasanya ya udah, nggak mau lagi. Yoel, umur Yoel sekarang enam belas tahun kayaknya memang lagi masa-masanya pengin coba ini dan itu. Tapi Oma mohon sama Yoel kalau memang itu nggak penting dan nggak baik jangan diikutin. Untungnya merokok apa, sih? Nggak ada untungnya buat Yoel kan? Cucu oma yang ganteng, nanti kecanduan merokok, nanti paru-parunya bermasalah. Kira-kira bawa keuntungan nggak merokok tuh?” Lea benar-benar membuat Yoel terperangah, Yoel kira hari ini ia akan habis oleh amukan Lea tapi nyatanya cara Lea bertutur kata benr-benar bisa membuat Yoel membuka pikirannya. Belum sempat Yoel menjawah, langkah kaki Jeremy terdengar mendekati mereka.
“Serius banget nih, Oma sama cucu yang energinya nggak habis-habis,” kata Jeremy lalu duduk di sofa di sebelah Yoel juga hingga kini Yoel ada di posisi di tengah antara Jeremy dan Lea.
“Papa sama Uncle kamu dulu Opa marahin kalau ada yang merokok, biar Opa pindahin aja sekolahnya kalau merokok. Apa sih enaknya merokok gitu? Nanti tuanya sakit baru tahu rasa. Kalau hanya masalah gaul-gaulan atau diajakin temen nggak usah ikutan, dibilang cupu atau nggak gaul bodoamat. Tapi ya balik lagi ke kamunya, udah bisa belum menentukan mana yang baik dan nggak harus diikutin? Ngerti, Yoel? Opa sama Oma nggak akan ngomel dengan nada tinggi, pening juga denger ribut-ribut. Tapi Yoel silahkan pilih sendiri mau gimana, marahin anak udah nggak jaman sekarang. Yang ada nanti anak membangkang terus malahan nunggu orang tua marah dan terus bikin ulah. Yoel masih mau ulangin nggak? Kalau masih mau, Opa bro nggak mau main sama Yoel lagi, males, bau rokok, Opa nggak suka,” kata Jeremy yang kini membuat Yoel sedikit mengerucutkan bibirnya.
“Yoel diajakin temen, katanya suruh coba, tapi sekali aja, beneran. Terus keburu ketahuan Mama di jaket, rasanya juga biasa aja, nggak seenak masakan Mama. Nggak bikin kenyang. Opa, Oma, maafin Yoel ya. Yoel janji nggak akan sentuh rokok lagi, kalau Yoel sentuh rokok lagi nggak usah kasih Yoel thr natalan nanti.” Yoel bergantian menatap Opa dan Omanya. Lea yang ada di sisi kanan yoel pun merangkul dan mencium pipi cucunya yang special itu.
“Mau diulangin nggak? Kalau diulangin, Yoel nggak boleh nginep sini lagi. Oma nggak akan jewer, ngomel pakai nada tinggi atau apapun, tapi oma nggak suka asap dan bau rokok, your choice masih mau ngerokok apa enggak.” Lea mengangkat alisnya yang membuat sedikit kesan sinis dan sangar.
“Ampun Oma, nggak lagi-lagi, janji.” Yoel mengacungkan jari kelingkingnya kepada Omanya itu, Lea pun menautkan jarinya dengan Yoel lalu tersenyum.
“Dulu Opa merokok nggak?” tanya Yoel setelahnya lalu menoleh ke arah Jeremy.
“Nggak Opa, mah.” Jeremy menggeleng.
“Bener Oma?” tanya Yoel kepada Lea, dibalas anggukan dari Lea.
“Opa nggak pernah ngerokok sekalipun, masa kamu kalah sama Opa.”
“Beneran dari jaman sekolah nggak pernah Opa Bro?” tanya Yoel dengan nada masih tidak percaya.
“Iya, bocah ngeyel banget, emang muka Opa nggak meyakinkan?” Jeremy berkata sambil mengacak pelan rambut cucunya itu. Yoel masih terperangah dan menggeleng pelan.
“Yah, nggak percaya ya udah.” Jeremy berkata dengan mengangkat kedua alisnya.
Tiba-tiba bel rumah Jeremy dan Lea berbunyi, “noh, pasti Papa kamu.” Lea bangkit berdiri sambil menatap Yoel sejenak sebelum melangkah meninggalkan Jeremy dan Yoel.
“Aduh, Opa… Yoel takut diamuk Papa, aduh, gimana ya.. aduh …” Yoel cemas dan ketakutan sendiri. Sedangkan Jeremy hanya terkekeh dengan tingkah cucunya yang sedang berusaha mencari tempat persembunyian.
“Duduk aja udah,” ujar Jeremy santai sambil bersandar di sofa.
“Nanti Yoel diamuk Papa Jev gimana?”
“Nggak akan, sini.” Jeremy menepuk space kosong di sebelahnya. Yoel pun menurut lalu memeluk tangan Jeremy dan membenamkan wajahnya di lengan Jeremy persis seperti anak kecil yang ketakutan.
Lalu langkah kaki Lea dan Jevin mulai mendekat, membuat Yoel gusar tapi masih enggan mendongakkan kepala meski Jeremy sudah berkata, “noh, Papa Jev dateng.”
“Papa ampun Pa, ampun!” kata Yoel masih menyembunyikan wajah di lengan Opanya itu.
Tangan Jevin terulur menyentuh telinga Yoel dan menjewernya pelan, bahkan hanya akan membuat sedikit rasa kaget bagi Yoel.
“Kuping tuh buat dengerin orang tua, masuk kuping kiri keluar di tol semarang bawen, sih,” kata Jevin yang membuat Yoel perlahan mendongak, Jevin sudah ada di sana berdiri di depan Yoel di samping Lea.
“Minta maaf sama Mama jangan lupa. Jangan main kabur aja, ya? Papa nggak akan ngoceh panjang lebar, kalau kamu aneh-aneh, Opa sama Oma nggak mau bukain pintu rumah ini buat kamu lagi, mau?” tanya Jevin, Yoel langsung meraih tangan Jevin dan mencium tangan Jevin, menempelkan punggung tangan Jevin di dahinya berkali-kali.
“Ampun Pa Jev, nggak mau, ampun, maaf …” Yoel berulang kali mengulang kalimatnya. Jevin pun terkekeh lalu memeluk anaknya itu, “Papa juga pernah bandel, tapi Papa nggak mau anak-anak Papa bandel juga, jangan, ya? Katanya mau jadi menpora?” kata Jevin lagi.
“Iya, Christiano Yoel Geneva Adrian calon menpora yang baik hati dan jadi panutan!” kata Yoel sambil mengepalkan tangan bersemangat.
“Amin!” seru Lea, Jeremy dan Jevin hampir bersamaan.
Semua terbahak kala itu apalagi melihat Yoel yang tersenyum lebar, anak tengah Jevin dan cucu Jeremy serta Lea ini memang sedikit lebih esktra dibanding kakak dan adiknya, tapi begitulah setiap anak diciptakan dengan berbagai keunikan yang ada. Memberi tahu agar anak jera juga tidak selalu dengan bentakan atau kemarahan, setiap kita nantinya pasti bisa menjadi orang tua terbaik versi diri kita masing-masing.