Tangisan Yoel

Hujan di luar turun beradu dengan turunnya air mata Yoel. Anak lelaki itu tengah terduduk di kamar mandi di bawah shower dengan seragam sekolahnya, membiarkan air dari shower membasahi tubuhnya. Keadaan rumah sepi karena tidak ada siapapun di sana. Masih teringat jelas saat Michelle menangis, Yoel yang tahu, saat Yoel menangis tak ada seorangpun yang tahu. Tapi, tanpa Yoel ketahui, Eugene sudah memasuki area rumah. Eugene baru saja memasukkan motornya ke garasi dan berjalan memasuki rumahnya.

Keadaan sepi, tapi motor Yoel sudah terparkir di garasi. Jelas artinya bahwa adik lelaki Eugene itu sudah berada di rumah. Eugene masuk ke kamarnya, melempar tas punggungnya ke kasur dan keluar lagi untuk mencari keberadaan Yoel. Beberapa kali Eugene memekik nama adiknya itu tapi tidak membuahkan hasil. Ruang makan, dapur, ruang tamu, halaman belakang, didatangi Eugene tapi ia tidak menemukan adiknya di sana.

Akhirnya langkah Eugene tertuju pada kamar Yoel. Pintunya tertutup tapi tidak dikunci, Eugene pun membukanya, tak ada siapapun di sana, tapi ada suara air shower yang menyala. Eugene pun mengetuk pintu kamar mandi adiknya itu dan berkata, “Dek, lo di dalem?”

Tidak ada jawaban.

“Dek? Yoel?!” ketuk Eugene lagi.

Masih hening, hanya suara shower yang mengalir.

“Yoel?! Lo denger gue nggak?!” tanya Eugene dengan suara nyaring.

Perasaan Eugene menjadi tidak enak ia membuka paksa pintu kamar mandi adiknya itu, mata Eugene terbelalak dan kakinya bergetar melihat adiknya terduduk di bawah shower dengan keadaan basah masih dengan seragam sekolahnya. Eugene langsung berlari mematikan shower dan berlutut di depan Yoel serta mencengkeram kedua bahu adiknya itu. Kepala Yoel masih tertunduk hingga saat Eugene memekik nama Yoel beberapa kali, Yoel mendongakkan kepalanya menatap Eugene dan sedikit menarik sudut bibirnya.

“Lo kenapa kayak gini, dek?!” tanya Eugene panik. Yoel hanya menggeleng beberapa kali, Eugene pun menanyakan hal yang sama lagi, tapi Yoel tetap menggelengkan kepalanya. Yoel masih menangis dan di kepala Yoel yang terlintas hanyalah saat beberapa orang mencemoohnya, bagaimana Jevin dan Letta bertengkar, juga fakta yang Yoel ketahui tentang keadaan orang tuanya saat ia lahir, terlebih keadaan Jevin saat itu. Hal itu membuat Yoel gemetar bukan main, bibirnya yang hendak memanggil nama kakaknya saja terasa tidak bisa digerakkan.

“Dek!” Nada tinggi Eugene menggema pada akhirnya.

“Ko, sakit… malu…” setelah mengucapkan dua kata itu, Yoel terisak menangis sejadi jadinya, sekeras-kerasnya. Untuk pertama kalinya Yoel menangis di hadapan kakak laki-lakinya itu, untuk pertama kalinya juga Eugene melihat adiknya seperti ini. Tangan Yoel bergetar, punggung Yoel juga, bahkan napasnya tersengal. Yoel benar-benar menangis sejadinya kali ini. Tangisan dari anak lelaki yang selalu membuat kedua orang tuanya menghela napas panjang dan mengelus dada dengan tingkah lucu dan anehnya, Yoel yang selalu bertingkah kali ini melemah, kali ini rapuh. Entah kepada siapa nantinya Yoel akan mengadu segala perasaan yang ia rasakan. Yang Yoel tahu, kali ini ia menangis di pelukan kakak laki-lakinya, Eugene.


Eugene pun membiarkan Yoel untuk berganti pakaian, tanpa Yoel ketahui, Eugene sudah menunggu di halaman belakang rumah dengan secangkir minuman hangat untuk adiknya itu. Tak lama, Yoel pun berjalan dengan langkah gontai menghampiri kakaknya itu, dengan handuk yang masih ia gunakan untuk menggosok rambutnya yang basah, ia pun mengambil posisi duduk di sebelah Eugene.

“Nih, diminum,” kata Eugene sambil menggeser cangkir ke dekat Yoel. Adik laki-laki Yoel itu menghela napas sejenak sebelum meraih cangkir itu dan menyesap minuman yang sudah kakaknya buatkan itu.

“Makasih, Ko.” Yoel tersenyum tipis. Handuk yang masih bertengger di kedua pundak Yoel itu diraih Eugene lalu ia gosokkan lagi di rambut adiknya perlahan dan ia singkirkan sejenak.

“Kenapa tadi kayak gitu?” ucap Eugene tiba-tiba sambil mengacak rambut Yoel dengan tangannya, Yoel sedikit mengerucutkan bibirnya lalu bersandar di kursi yang mereka duduki berdua.

“Kayak gini ya Ko rasanya ketrigger?” kata Yoel.

“Hah? Maksudnya?” tanya Eugene kebingungan. Senyum Yoel perlahan menjadi masam, Yoel menatap kakaknya yang ada di sebelahnya dan menggeleng pelan setelahnya.

“Nggak papa, Ko. Makasih ya,” kata Yoel setelahnya.