Terima kasih, Papa Jeremy

Pernikahan bukan suatu hal yang mudah diarungi. Membesarkan anak-anak dengan baik juga sebuah hal yang bisa dilakukan siapa saja. Semua membutuhkan hati yang lapang dan luas, semua itu membutuhkan telinga yang mau mendengar, hati yang penuh kasih, serta pribadi yang mau ditempa. Meskipun segala perbedaan dan perselisihan tidak bisa dihindarkan, tapi jika sudah berkomitmen dengan apa yang kita sudah janjikan di hadapan Tuhan, pasti akan ada jalan untuk setiap kebuntuan yang kita hadapi.

Keluarga Jeremy berangsur mendapatkan secercah sukacita, sepulang Mevin ke rumah, suasana hati Mevin membaik, semua anggota keluarga juga ambil andil jika menunggui Mevin fisioterapi atau sekadar menengok Mevin ke rumah. Letta dan Jevin kadang berkunjung begitu juga dengan Willy dan Lauren yang sedang ada di masa kehamilannya. Bahkan juga kadang Lauren dan Jevin yang berkunjung hanya berdua untuk menunggui Mevin. Di batas akhir kekuatan Mevin saat itu, Tuhan hadirkan dan pulihkan keadaan keluarga Adrian.

Hari ini, Jevin, Mevin dan Lauren tengah berada di kamar Mevin menunggui Mevin yang saat ini sedang sendiri di rumah karena kedua orang tua mereka yang belum pulang. Jevin dan Mevin tengah bermain game online di ponsel mereka sedangkan Lauren menyiapkan makan siang untuk keduanya. Usai menyiapkan makanan, Lauren membawa dua piring kwetiaw goreng untuk adik-adiknya itu. Tidak bisa dipungkiri, meski sudah menikah, Jevin ataupun Mevin tetap adik kecil Lauren, adik kembarnya, sampai kapanpun.

“Dek, ini bantuin dulu,” ucap Lauren saat memasuki kamar Mevin. Jevin yang sedang duduk di ranjang Mevin langsung sigap mengambil salah satu piring itu dan kembali duduk di ranjang Mevin. Lauren juga duduk di sebelah Mevin.

“Masih aja main game kaya bocah, ck,” decak Lauren sambil geleng-geleng kepala.

“Ya, hiburan lah, buat Mevin, iya kan, bro?” Jevin menyenggol lengan Mevin.

“Iya, habis mau ngapain juga gue nggak tau, mau ngapa-ngapain nggak bisa.” Mevin mendengus tapi tersenyum.

Lauren pun mengelus kaki Mevin, “nanti bisa, sebentar lagi pasti bisa,” katanya.

“Iya, kata dokter nggak tahu kapan tapi kan ada dokter diatas segala dokter―Tuhan.” Mevin merapalkan kalimatnya dengan untai senyum yang Lauren dan Jevin sudah lama tidak mereka lihat. Jevin merinding dengan ucapan Mevin saat itu, bagaimana bisa saudara kembarnya ini memiliki kesabaran seluas itu.

You have a big faith, I adore you, itu yang memang seharusnya dilakukan. Miris gue kadang lihat diri gue, yang dikasih cobaan nggak sebesar lo, nggak ada apa-apanya dibanding lo tapi udah ngeluh, malah lari ke hal-hal yang Tuhan sendiri benci dan larang.” Jevin mendengus pedih, ia tertunduk sambil memutar garpunya di piring.

Lauren menaruh piring yang ia pegang, tangan kanannya memegang jemari Jevin, dan tangan kirinya memegang jemari Mevin, ia menatap satu per satu adik-adiknya itu.

“Tahu nggak sih, kalau kalian ada sesuatu dan lagi hancur, siapa yang sedih selain kalian sendiri atau Papa Mama? Ada gue, gue tahu waktu Jevin sama Stella, tapi gue diem, gue nggak sampai hati mau negur Jevin, gue nggak sampai hati mau ngadu ke Papa, gue nggak se gila itu untuk langsung ngadu ke Papa. Tapi, satu sisi gue nangis, bener-bener gue nangis sendirian berdoa sama Tuhan, tangan gue kurang panjang untuk peluk Jevin, mulut gue ini nggak bisa berkata-kata lagi waktu lihat Jevin berantakan banget, waktu lihat Jevin pulang babak belur. Waktu tahu Mevin bukan anak kandung Mama, yang di rumah siapa? Gue sama Papa, Mevin kabur, Jevin sama Mama nyusulin, Papa nangis di kamar, kakinya berdarah kena pecahan Vas yang Mama banting. Gue nangis disitu meluk lutut Papa sama obatin telapak kaki Papa, gue sama Papa nangis, nggak bisa ngapa-ngapain.” Penuturan Lauren itu membawa Mevin dan Jevin berkaca-kaca. Jika ditilik kembali, memang perjalanan keluarga mereka tidak mudah, jauh dari kata mudah.

Tangan Jevin bergerak menepuk pundak Mevin yang kini tertunduk, “Mevin is a blessing for our family, gue sadar, brengsek banget gue dulu, sekarang lihat kita udah sampai di titik ini, gue bersyukur sama Tuhan. Ajaib banget jalanNya, kalau saat itu gue bertindak lebih jauh mungkin gue nggak ada disini sekarang,” kata Jevin.

Lauren membiarkan air mata membasahi pipinya karena masih memusatkan fokus pandangannya kepada kedua adiknya ini. Mevin menghela napas, tersenyum haru menatap satu per satu saudaranya itu tanpa bisa berucap apapun.

“Janji ya, kalau ada apa-apa share ke gue, jangan dipendem sendiri. Gue itu kakak kalian, bukan orang lain. Ya, dek?” kata Lauren yang dibalas anggukan kepala dari Jevin dan Mevin yang hampir bersamaan.

“Gue nggak bisa bayangin kalau gue nggak ada di keluarga ini gue jadi apa,” kata Mevin dengan nada lesu.

“Makanya nggak usah dibayangin, lo ada disini, di keluarga ini, di rumah ini, jangan bikin sedih ah elah.” Jevin menyenggol lengan Mevin, hal itu membuat Lauren sedikit terkikik. Lauren melepaskan genggaman, ia menyeka air matanya lalu merentangkan tangan membuka dekap.

“Boleh peluk?” ucap Lauren yang langsung dibalas Jevin dan Mevin yang memajukan tubuh mereka untuk memeluk Lauren. Ketiganya mengeluarkan air mata saat memeluk. Tapi Lauren yang paling menangis kali ini.

“Adik-adik gue udah dewasa, udah besar, kesalahan yang udah lewat jangan pernah diulang lagi. Ya? Jangan gegabah ambil keputusan dalam hidup, ada Tuhan yang lebih tahu tentang hidup kalian. Gue sayang sama kalian, sayang ba.. nget ....” Ucapan Lauren bahkan terbata karena tangisnya. Pelukan Mevin dan Jevin di tubuh Lauren semakin erat. Saat pelukan direnggangkan, ketiganya saling menertawai karena melihat mata masing-masing dari mereka yang merah dan basah.

“Anjir gue nggak percaya gue nangis di depan kalian,” kata Jevin sambil mengusap matanya dengan punggung tangannya.

Lauren memotongnya, “Kemarin nangis di depan gue sama mukul set―” “Ci!!” Jevin memekik nyaring, Lauren dan Mevin saling menatap lalu menahan tawa sedangkan Jevin sedikit terlihat malu.

Akhirnya mereka pun melanjutkan kegiatan makan mereka, Lauren hanya melihat kedua adiknya yang tengah makan sambil membuat beberapa guyonan. Hati Lauren tenang melihat keadaan Mevin dan Jevin yang sekarang. Lauren melihat senyum yang teruntai di wajah kedua adiknya itu benar dan nyata adanya, bukti tulus cinta kasih keluarga yang sebenar-benarnya ada. Usai menikmati makanan itu, Jevin menaruh piringnya dan Mevin ke dapur lalu ia kembali lagi ke kamar Mevin.

Saat ketiganya tengah asik bercengkrama, suara pintu kamar Mevin yang terbuka membuyarkan mereka, Jeremy, Papa mereka ada di sana.

“Buset, ini kumpul-kumpul gathering Adrian fams, ya?” celetuk Jeremy lalu duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Mevin dan menariknya mendekat kepada ketiga anak mereka yang duduk di ranjang Mevin saat itu.

“Eh, Pak Jeremy, udah pulang, Pak? Bu Lea mana?” tanya Jevin dengan nada bercanda.

“Ada, lagi ganti baju, kenapa nanyain istri saya tercinta itu?” balas Jeremy.

“Geli banget, geli, idih!” cibir Jevin. Mevin dan Lauren hanya bisa tertawa melihat tingkah Jeremy dan Jevin.

“Sirik aja,” balas Jeremy sambil terkekeh.

“Mevin udah makan? Yang bukan Mevin langsung mandi aja,” ucap Jeremy lagi.

“Rese banget ini calon Opa, sumpah,” ucap Lauren sambil menggerutu.

“Eits, ibu hamil nggak boleh ngomel,” kata Jeremy sambil membelai puncak kepala Lauren.

Jevin pun beranjak dari tempat tidur Mevin, “mau kemana?” tanya Jeremy.

“Yang bukan Mevin langsung mandi, ini mau mandi,” kata Jevin dengan polosnya. Sontak mengundang tawa Mevin, Jeremy dan Lauren saat itu.

“Sini lo gue plintir!” seru Mevin, Jevin pun terkekeh dan kembali duduk lagi.

“Pa ....” Lauren mengawali kalimatnya yang terdengar sedikit ragu.

“Ya?” tanya Jeremy.

“Ini,” kata Lauren sambil mengulungkan sebuah flashdisk untuk Papanya itu.

“Apa ini?” tanya Jeremy bingung sambil menerimanya.

“Hadiah kecil dari Lauren, Jevin sama Mevin.” Lauren merapalkan kalimatnya dengan tenang lalu menatap kedua adiknya bergantian dan tersenyum.

“Papa makasih udah jadi Papa yang kita kenal, Papa makasih udah sabar dan bijak jadi kepala keluarga kita yang banyak huru-hara dan badai ini. Papa juga nggak pernah ngeluh, Papa ngeluh aja, sekali-kali teriak ANAK GUE BIKIN PUSING BANGET, gitu nggak papa,” kata Lauren dengan nada lesu tapi malah mengundang gelak tawa anggota keluarganya itu.

“Nggak capek, kan udah tugas Papa,” balas Jeremy.

“Papa kalau emosi banting pot aja, nggak papa, apalagi yang janda bolong,” tambah Jevin sambil tersenyum.

“Iya, habis itu pot lain melayang ke kepala Papa karena itu kesayangan Mama kamu, heh!” balas Jeremy, Mevin dan Lauren terbahak.

“Ini apa? Papa suruh nonton video kah?” tanya Jeremy sambil menggerakkan flashdisk di tangannya.

“Iya, ada folder disitu namanya, apa sih, dek?” tanya Lauren kepada Mevin.

“Orderan Pak Jeremy,” balas Mevin.

“Oh iya, itu!” kata Lauren sambil tersenyum.

“Emang Papa pesen apa? Perasaan nggak pesen apa-apa, haha,” tawa Jeremy.

“Dibuka aja, hehe,” kata Lauren lagi. Jeremy menatap satu per satu anak-anaknya itu.

“Papa nggak tahu isinya apa, tapi hati Papa udah deg-degan nerimanya, kaya mau buka apaan. Apapun ini, Papa mau bilang terima kasih banyak buat Lauren, Jevin sama Mevin. Makasih udah jadi anak-anak yang membanggakan, bukan dari prestasi dan materi, tapi dari perubahan kalian. Perjalanan hidup kalian masing-masing jadi pribadi yang seperti sekarang. Kalian udah lewatin banyak fase kehidupan, kalau dunia jahat sama kalian, tolong ya ... kalian jangan jadi sama jahatnya kaya dunia. Papa terbatas dalam hal tahu apapun yang kalian rasakan, tapi tolong, ya, sekiranya kalian butuh, sharing ke Papa, apapun itu. Ya? Papa terbatas dalam menjaga kalian, but your Heavenly Father never. God never leave you alone, even Mama sama Papa nggak ada di dekat kalian please remember that God is always inside your heart, your deepest heart. Makasih anak-anak Papa.” Usai Jeremy mengatakan kalimatnya, ia beranjak dan mengecup puncak kepala ketiga anaknya bergantian. Hati Lauren, Jevin dan Mevin menghangat.

“Lauren sayang Papa,” kata Lauren sambil meraih jemari Papanya sambil menggoyangkan tangannya bak anak kecil.

“I love you,” balas Jeremy.

“Jevin juga, hehe,” nada bicara Jevin masih sama, malu-malu dan sedikit gengsi.

“Makasih boy!” balas Jeremy.

Semua menatap Mevin, lelaki itu diam sambil menggigit bibirnya, menatap balik Jevin, Lauren dan Papa Jeremy. Lidah Mevin seakan kelu, lidah Mevin tidak bisa berkata apapun, tenggorokannya terasa tercekat. Jeremy hanya tersenyum sambil menepuk pelan lutut Mevin.

“Cepet sembuh, Papa sama semuanya sayang Mevin.” kalimat itu diucapkan Jeremy sambil netranya terus menatap Mevin yang juga menatapnya.

“Mevin sayang Papa, Mama, Adrian fams. This is my home. Forever.” kata-kata Mevin menghantarkan Jeremy memeluknya, melihat itu, hati Lauren dan Jevin juga bedesir haru, maka Jevin memeluk Mevin dari samping, diikuti Lauren yang memeluk juga dari belakang Jeremy.

Tanpa mereka sadari, Lea sedari tadi berdiri di ambang pintu kamar Mevin, mengintip dari balik pintu meneteskan air mata haru melihat keluarganya itu. Betapa ajaib kehidupannya selama ini dan sejauh ini. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dengan siapa kita akan hidup bersama, bagaimana kita akan menghadapi kejamnya sekitar. Kita diperhadapkan dengan pilihan demi pilihan. Tak jarang pilihan yang dihadirkan hanya pilihan yang menyakitkan. Namun bagaimana pilihan itu akan menyakitkan atau tidak pada akhirnya tergantung bagaimana kita menyikapi dan melewatinya. Dalam hal hubungan maupun keluarga, semua hal itu berlaku. Tidak bisa mengandalkan kekuatan diri sendiri, ada sang perenda takdir kehidupan yang sudah mengatur semua jauh melampaui apa yang bisa kita pikirkan.