THAT MORNING
Petra baru saja mengerjapkan matanya tapi ia raih ponselnya untuk mengirimkan pesan tadi kepada Jovian. Matanya masih ia kucek beberapa kali untuk memastikan pandangannya jelas, ia masih mengumpulkan kekuatannya untuk bangun. Setelah ia mengucap syukur kepada Sang Kuasa atas hari baru dimana ia bisa bangun, Petra duduk di tepi tempat tidurnya, ia melihat ponselnya lagi, belum ada balasan dari Jovian malah yang ada dimana pesannya tidak terkirim.
“Jovian block aku?” ujarnya dalam hati dengan lesu.
Petra melempar ponselnya ke atas bantalnya lagi lalu ia berjalan ke meja riasnya meraih testpack dan ia lihat lagi dan pastikan dua testpack berbeda itu sama-sama menunjukkan dua garis yang mana artinya adalah positif hamil, Petra memang hamil anak Jovian. Akhirnya Petra simpan lagi testpack itu dan ia menuruni tangga menuju ke dapur untuk membuat minuman hangat, ia menikmati secangkir teh hangat sendirian. Ia hanyut dalam lamunan dan pikirannya yang menerawang jauh, memikirkan bagaimana kalau nanti Jovian tidak mau mengakui kehadiran anak ini. Bagaimana kalau Jovian memang tidak mau anak ini? Tapi setelah sekitar lima belas menit Petra melamun sendirian, suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Petra.
Dengan langkah cepat ia membukakan pintu rumahnya, rumah yang ia huni sendiri. Betapa terkejutnya Petra saat mendapati Jovian ada di sana, dengan wajah yang berkeringat dan napas yang terengah-engah. “Jov??” Petra kebingungan karena baru beberapa saat tadi Petra mengiriminya pesan dan kali ini Jovian sudah ada di sana.
“You okay? Kenapa keringetan?” tanya Petra.
Jovian menelan ludah, memegangi kedua pundak Petra lalu berkata, “are you pregnant? Answer me, honestly...”
“Am I a joke to you?” balas Petra.
“Oh...God..” Jovian tertunduk, lalu menarik Petra ke dalam dekapannya.
“Jawab aku, kamu kenapa sampai keringetan gini?”
“Aku lari, tadi mobilku mogok, aku memang mau kesini, tapi malah mogok, akhirnya aku telepon temen aku dan aku naik ojol, macet banget akhirnya aku turun di tengah jalan terus lari kesini,” balas Jovian lalu mengecup puncak kepala Petra.
Jovian merenggangkan pelukan lalu merendahkan tubuhnya berlutut dengan satu kakinya, memeluk perut Petra, menyentuhnya lembut dan berkata, “hi, baby, thank you for being here, boy or girl, Papa Jo and Mama Petra love you already.” Lalu Jovian bangkit berdiri lagi dan menggenggam tangan Petra. Jangan ditanya, Petra langsung meneteskan air mata haru saat Jovian melakukan itu. Ditatapnya kedua netra Jovian yang memerah itu.
“Anak kita, anak aku dan kamu,” kata Petra. Jovian mengangguk, “tunggu aku ya, Ra. Aku akan ada di samping kamu waktu kamu melahirkan, sebagai ayah dari anak ini, sebagai suami kamu lagi. Aku berjuang dulu perbaiki kehidupanku secara mental dan finansial. Aku sayang kamu.”
“Aku tunggu, Jov... aku tunggu ...” Petra tidak pernah berbohong kepada Jovian, tentang apapun itu, termasuk tentang perasaannya yang masih sama walaupun keduanya sudah berpisah dan sama-sama menata kehidupan sebelum lebih siap untuk bersama lagi tanpa ada yang bisa memisahkan.