THE TRUTH
Sedari tadi memang Yoel berada di kediaman Opa dan Omanya. Ia masih haus penasaran terhadap hal yang sempat ia pertanyakan kepada Papanya tapi tidak membuahkan jawaban. Sampai di hari libur ini ia nekat berkunjung ke rumah Jeremy dan Lea hanya untuk mengetahui semua tanya di kepalanya. Yoel dari tadi mengikuti kemana kaki Lea melangkah.
“Oma, ayo ceritain ke Yoel,” kata Yoel manja sambil memegangi lengan Lea.
“Apa, sih, nak?” tanya Lea.
“Mau diceritain Oma…”
Lea memutar bola matanya, “cerita film kartun?”
“Omaa…” Yoel merajuk lagi.
Embusan napas panjang terdengar dari sosok Oma dari Yoel itu yang tengah membuatkan cucunya segelas susu hangat, “minum dulu, nih.” Lea memberikan secangkir susu cokelat hangat yang baru saja ia buat untuk Yoel. Anak lelaki itu menerimanya lalu keduanya pun duduk di sofa ruang tamu lagi bersebelahan. Lea memainkan ponselnya sejenak sambil menunggui Yoel yang masih asik menyesap susu hangat itu.
“Omaa….” Yoel merengek lagi setelah menaruh gelasnya di atas meja.
Lea memutar bola matanya, menaruh ponselnya di atas meja lalu mencubit kedua sisi pipi Yoel, “apa Yoel, apa nak, kenapa, hm?” katanya.
“Tell me the truth, Oma.”
“Truth about what?”
“Papa and uncle Mevin.”
Lea terkekeh sejenak lalu membelai puncak kepala Yoel dan menatapnya lekat, “Yoel, apa yang bakalan Yoel lakuin kalau udah tahu cerita sebenernya?”
Yoel melirik ke kanan dan kiri seakan berpikir lalu menumpukan lagi pandangannya kepada sosok Omanya itu, “nothing change, Oma. I just want to know the truth because Papa won’t tell me.”
Tapi tiba-tiba Jeremy keluar dari kamar dan duduk di sofa tunggal yang berseberangan dengan Yoel dan Lea, “Om Mevin sama Papa kamu itu anak kandung Oma, yang bukan anak kandung itu kamu, Yo.” Jeremy berkata sambil sesekali menatap Lea yang sudah mendelik dan memiringkan kepalanya.
“Hah?” Yoel terperanjak kaget.
“Iya, kamu tuh anak angkatnya Papa Jevin sama Mama Letta.” Jeremy berkata santai sambil menahan tawa.
Yoel menatap Lea dengan mata berkaca-kaca, “gimana, sih, Oma? Kok jadi Yoel yang bukan anak kandung? Emang iya?”
“Iya, kamu aja paling beda tingkahnya sama ko Eugene sama Icel. Iya kan? Kamu bikin gebrakan mulu, Koko sama Icel nggak pernah.” Jeremy menyambar lagi membuat Yoel semakin ingin menangis.
“Emang iya, Opa? Yoel bukan anak Papa Jevin sama Mama Letta?” tanya Yoel lagi, bahkan kini air matanya sudah menetes. Lea yang tidak tega langsung menarik Yoel dan menyandarkan kepala Yoel di tubuhnya lalu Lea merangkul cucunya itu.
“Jangan dengerin Opamu, ah, bercanda.” Lea berkata sambil melotot ke arah Jeremy. Pria paruh baya itu terkekeh lalu bergerak berpindah duduk di sebelah Yoel lalu mengacak rambut Yoel pelan.
“Jelas-jelas kamu itu mirip Papa Jevin banget. Hidung mancung, rahang tajem banget, badan tinggi, berulah? Jangan ditanya, sama udah kamu sama Papamu itu. Semua anak Papa Jevin anak kandung, Opa bercanda doang.” Jeremy tidak bisa menyembunyikan tawanya lagi, ia berhasil mengerjai cucunya paling super ini.
“Bener nggak, Oma… Yo.. Yoel anak Papa Jevin sama Mama Letta kan?” tanya Yoel yang menangis sampai terbata-bata mengucapkan kalimatnya. Lea mencium pipi kanan Yoel lalu memeluk dan mengusap punggung cucunya itu, “iya, sayang, iya. Itu Opa kamu minta dijewer banget emang. Tunggu bentar Oma jewer, nih!” kata Lea sambil merenggangkan pelukan lalu tangannya terulur dari belakang tubuh Yoel dan meraih telinga Jeremy lalu menjewernya pelan.
“Aduh!” rintih Jeremy sambil terkekeh.
“Opa pranknya nggak asik,” gerutu Yoel sambil memanyunkan bibirnya.
“Hahaha, maaf, maaf,” kata Jeremy lalu merangkul cucunya itu, “ini kamu tuh nggak usah tes DNA juga orang udah tahu kamu anak Jevin,” lanjut Jeremy.
Yoel pun mengusap air matanya, Lea mulai meraih tangan Yoel dan menatap Yoel, “Yoel beneran mau denger cerita Oma?” tanya Lea, Yoel mengangguk mantap tanpa ragu. Jeremy masih di sana, di sebelah Yoel, ia juga ingin mendengar apa yang akan Lea ceritakan.
“Jadi, dulu Oma sama Opa punya teman, namanya Jovian dan Petra. Mereka baik banget, Petra ini dokter dan beberapa kali nanganin Oma waktu sakit. Singkatnya, waktu itu Oma hampir celaka, dan yang dateng nyelametin Oma ya Petra ini. Tapi kita sama-sama harus dibawa ke Rumah Sakit waktu itu. Petra sama Oma sama-sama dalam keadaan hamil, tapi HPL Petra masih agak jauh sementara Oma memang sudah dekat waktu melahirkannya. Operasi darurat dilakukan, bayi kami berdua lahir. Bayi kembar Oma salah satunya harus pergi, nggak bisa diselamatkan… yang selamat Papa Jevinnya Yoel.” Lea menghela napas panjang setelah merapalkan kalimatnya.
“Tuhan ternyata punya kehendak lain, Petra harus pergi selamanya. Tapi, sebelum pergi, Petra pesan sama Opa agar merawat anaknya, agar Opa bersedia mengangkat anak Petra jadi anak Opa. Rasanya hari itu campur aduk nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata, nggak ada yang bisa menggambarkan keadaan saat itu. Petra berpulang, anak itu Opa rawat sama Oma.” Jeremy menyambung ceritanya.
“Anak itu, Om Mevin? Anak kembar Oma yang selamat itu Papa, dan kembaran Papa meninggal? Jovian itu Opa Jo … Opanya Shallom?” Yoel mulai bisa menyimpulkan cerita Opa dan Omanya. Ia bergantian menoleh menengok Opa dan Omanya yang sama-sama mengangguk.
“Selama ini Yoel tahu Opa Jo, selama ini Yoel tahu Shallom punya Opa ada Opa Jeremy, Opa Kevin dan Opa Jo. Tapi setiap Yoel tanya Papa Jevin, kenapa bisa Shallom punya tiga Opa dan kenapa Yoel nggak pernah ketemu Opa Jo. Kata Papa selalu ‘panjang ceritanya, pokoknya Opa Jo itu Opanya Shallom juga, kalian harus panggil Opa Jo juga.’ Kata Papa selalu kayak gitu.” Yoel merangkai kalimatnya.
Lea membelai puncak kepala Yoel, “Om Mevin yang bukan lahir dari rahim Oma, tapi semua anak Oma. Tante Lauren, Papa kamu, Om Mevin. Mereka dibesarkan dengan kasih sayang yang sama dari Oma sama Opa. Mereka semua anak Oma, tanpa embel-embel apapun.”
Yoel menatap Lea, “Oma Petra udah di surga ya, Oma?” Lea mengangguk kemudian.
“Terus kenapa Om Mevin nggak diasuh Opa Jo?” Pertanyaan Yoel kali ini membuat Lea dan Jeremy sama sama bungkam.
“Opa? Oma?” Yoel menggoyangkan lutut Opa dan Omanya pelan.
“Nggak bisa, waktu itu nggak bisa.” Lea berkata lirih sambil tersenyum tipis.
“Opa Jo tega Om Mevin diasuh Opa sama Oma gitu aja?” tanya Yoel lagi.
“Bukan masalah tega atau nggak tega. Tapi harus, keadaan nggak memungkinkan Om Mevin dibawa Opa Jo juga saat itu.” Jeremy membelai puncak kepala Yoel.
“Yoel sempet ngerasa, Papa sama Om Mevin kembar tapi beda banget mukanya, tapi Papa selalu bilang mereka kembar yang nggak identik, and I trust Papa. ternyata ada cerita besar di belakang itu semua. Oma sama Opa hebat, hebat banget. Yoel jadi ngaca ke kehidupan Yoel. Papa sama Om Mevin aja bisa akur gitu, masa Yoel sama Ko Eugene ribut terus. Astaga… nggak kebayang gimana waktu itu Opa sama Oma… dan gimana Om Mevin… semua sih nggak kebayang, tapi… ini… se… sedih banget, aaahh… sedih….” Yoel pecah dalam tangis di kata terakhirnya. Lea dan Jeremy malah tersenyum gemas, Lea meraih cucunya itu dan memeluknya dan menenangkan Yoel.
“Ini kenapa anak ganteng malah tambah nangis?” tanya Lea.
“Nggak kebayang gimana Opa Oma kehilangan waktu itu, besarin semua anak-anak … dan … aahhh nggak tahu, sedih banget,” kata Yoel diatas tangisannya.
Jeremy dan Lea saling menatap dan tersenyum sambil menggeleng pelan, “makanya, kamu sama Ko Eugene yang akur. Cerita hidup Papa kamu itu panjang banget.”
“Cerita hidup keluarga ini, bukan Papa aja!!” tangis Yoel.
“Iya, keluarga ini, iya.” Jeremy mengusap punggung Yoel. Jeremy menatap Lea lalu mengatakan “I love you.” Tanpa suara yang membuat Lea tersenyum haru. Saat Yoel sudah sedikit tenang, Lea menangkup kedua pipi cucunya itu.
“Semua udah tahu tentang ini, Oma?” tanya Yoel.
“Yang belum tahu kamu sama Icel aja, sih. Shallom mah udah tahu, tapi Icel kayaknya masih terlalu kecil ya buat mencerna ini semua,” balas Lea. Yoel hanya mengangguk-angguk sambil menetralkan napasnya. Ia menatap Opa dan Omanya bergantian lalu berkata, “semoga nanti waktu udah gede, Yoel jadi orang tua kayak Opa sama Oma. Pokoknya Opa sama Oma harus panjang umur, ya? Yoel mau berdoa sama Tuhan terus biar Opa sama Oma sehat terus dan panjang umur, bisa lihat Yoel dewasa, dan semua cucu Opa Oma tumbuh dewasa…”
Akhirnya Lea dan Jeremy pun merangkul cucunya itu dari sisi kanan dan kiri, keduanya kehabisan kata-kata kali ini. Nyatanya, segala hal yang sudah terlewati di keluarga ini membawa pelajaran baik bagi semuanya. Yoel sadar, Yoel bersyukur tiada terhingga terlahir di tengah keluarga ini.
“Udah jangan nangis lagi.” Lea mencubit pelan pipi Yoel.
“Tapi sedih banget!” Yoel masih merengek.
“Iya sedih iya, tapi jangan nangis mulu dong calon menpora,” goda Lea.
Yoel menghapus air matanya lagi.
“Tapi kamu bukan anak Papajev loh,” bisik Jeremy iseng lalu beranjak pergi.
“OPAAAA!!” Yoel mengejar Opanya itu.
“JEREMYYYY!!!” Teriak Lea saat itu juga.