THE TRUTH

Pada binar mata Mevin yang Lea tatap selalu muncul bayangan Jovian. Hubungan Lea dan Jovian memang saat itu harus berakhir saat Jovian dijodohkan oleh orang tuanya oleh seorang wanita bernama Petra yang sebenarnya tidak berkenan juga dengan perjodohan itu meski ia juga memiliki perasaan kepada Jovian. Lea yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan yang menewaskan mereka. Lantas Jovian tidak bisa menolak permintaan ayahnya untuk menikaah dengan Petra, alasan lain juga karena Ayah Jovian tidak menyukai hubungan Lea dan Jovian. Lagi dan lagi karena personal appearance Lea yang bertatto. Petra sudah berkali-kali menolak hingga akhirnya pernikahan tetap dilaksanakan dan Jovian memutuskan hubungannya dengan Lea dan Jovian menikah dengan Petra. Tidak ada yang jahat antara Petra ataupun Lea. Keduanya sama-sama terluka, Lea terluka karena ditinggalkan dan Petra terluka karena menjalani pernikahan yang tidak dilandasi cinta. Lea tidak membenci Petra begitu juga sebaliknya, mereka malah saling mendoakan kebahagiaan satu sama lain.

Selama pernikahan Jovian dan Petra juga mengalami banyak naik turun hingga singkatnya setelah lama waktu berlalu, Jovian mencintai Petra seutuhnya, seluruhnya. Tapi waktu kejam mengambil Petra pulang ke rumah abadi untuk selamanya setelah melahirkan buah hati mereka. Jovian tertekan dan depresi, sempat tidak mengakui anak itu hingga akhirnya suatu insiden terjadi kepada Petra dan Lea yang harus melahirkan secara darurat, hal itu terjadi karena Petra dan Lea hampir celaka di saat yang bersamaan. Lea yang mengandung anak kembar harus kehilangan salah satu dari anak kembarnya. Sedangkan Petra melahirkan bayi laki-laki. Begitu kira-kira, hingga akhirnya bayi mungil yang Petra lahirkan dirawat oleh Jeremy dan Lea hingga sekarang, Petra pergi selamanya setelah melahirkan bayi mungil yang sekarang diberi nama Elleandru Mevinio Adrian itu. Jovian sempat menghilang beberapa tahun hingga akhirnya kembali ke hadapan Lea dan Jeremy memastikan keadaan anak kandungnya baik-baik saja.

Jeremy dan Lea tidak membatasi Jovian jika ingin bertemu Mevin. Tapi Jovian membiarkan Mevin diasuh mereka hingga berusia tujuh belas tahun saat ini, Mevin tumbuh di keluarga Adrian tanpa tahu siapa Ayah kandungnya. Mevin tumbuh dan seluruh keluarga Adrian menganggap Mevin dan Jevin adalah kembar. Apapun yang terjadi Mevin dan Jevin adalah anak kembar keluarga Adrian. Lauren anak pertama Jeremy dan Lea serta Jevin juga tidak mengetahui kalau Mevin bukan saudara kandung mereka. Bagaimanapun juga paras Mevin sangat mewarisi perawakan Jovian. Setiap kali Lea memandang Mevin, ia selalu mendapatkan bayangan paras Petra dan Jovian bergantian. Setiap malam Lea selalu menitipkan doa dan harap lewat doa untuk ketiga anaknya dan keutuhan keluarganya. Malam ini angin sungkan menerpa wajah Mevin. Jeremy yang melihat anaknya itu duduk sendiri di halaman belakang pun menghampiri Mevin, kedua netra bersua antara ayah dan anak itu. “Anak Papa ngapain sendirian di sini?” tanya Jeremy sambil mendudukkan dirinya di bangku panjang di sebelah Mevin.

Anak Jeremy itu menghela napas panjang, matanya bergerak memandang sosok ayahnya. “Pa, Mevin boleh nanya?” Kalimat Mevin dan raut wajah sendu dari Mevin membuat Jeremy sedikit berdebar.

“Boleh, Nak. Mau nanya apa?” tanya Jeremy. Mevin beranikan diri memberikan sebuah kotak yang sedari tadi ia pegang. Tangan Jeremy menerimanya dan perlahan membukanya. Sekarang beberapa lembar surat ada di tangannya, beberapa foto masa kecil Mevin juga ada di sana. Jari telunjuk Mevin menunjuk salah satu surat yang Jeremy pegang, mengisyaratkan ayahnya itu untuk membacanya. Bola mata Jeremy bergerak membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana.

“Selamat ulang tahun anak hebat! Selamat bertambah usia. Terima kasih sudah lahir ke dunia, harapan terbaik selalu disampaikan lewat doa untuk Mevin. Enam belas tahun Mevin sudah hidup bahagia bersama keluarga Papa Jeremy dan Mama Lea, right? Semoga Mevin selalu bahagia dan akan terus menjadi kebanggaan Papa Jeremy dan Mama Lea, ya? Kamu tumbuh dengan baik, Proud of you! God Bless You Mevin, once again Happy Blessed Day!

Mata Jeremy mendelik membaca surat tersebut, ditambah ada foto masa kecil Mevin di mana Jeremy sangat tahu yang mengambil foto itu adalah Jovian. Jeremy langsung menengok ke kanan dan ke kiri membuang pandangan, sementara Mevin meraih lengan papanya itu.

“Pa.”

Jeremy menoleh, menatap anak lelakinya.

“Pa, maaf, ya, Mevin baru ngomong sekarang. Papa mungkin kenal sama yang ngirim semua ini, Om Jovian.”

“Mevin ketemu Om Jovian?” Mevin mengangguk. “Beberapa kali Om Jovian dateng ke sekolah. Nggak lama, hanya beberapa kali. Maaf, ya, Pa, Mevin nggak pernah jujur ke Papa. Tahun kemarin Om itu datang ke sekolah sebelum Papa jemput Mevin, Om Jovian kasih Mevin ini.” Ketika mendengar Mevin berbicara, Jeremy mencoba memahami keadaan yang ada.

“Pa, Om Jovian sebenernya siapa?” Kalimat itu dirapalkan anak lelaki Jeremy itu, sedangkan Jeremy hanya menoleh sesaat lalu menunduk lesu. “Papa nggak jawab Mevin?”

“Nak,” ucap Jeremy sambil menepuk pundak Mevin, tetapi Mevin malah menepis tangan ayahnya.

“Nak, biar Papa jelasin, ya?”

“Aku bukan anak Papa dan bukan anak Mama Lea?”

“Vin.” Jeremy masih mencoba mengatur napasnya tapi Mevin tidak menggubris ayahnya, ia melengang masuk ke dalam rumah. Jeremy buru-buru menyusul anaknya, ia sedikit berlari untuk mengejar Mevin. Pandangan seluruh orang yang ada di rumah tertuju kepada Mevin dan Jeremy. Lauren, Lea, dan Jevin pun mengikuti Jeremy dan Mevin ke kamar anak lelaki itu.

“Nak,” seru Jeremy yang sedikit terengah lalu menghampiri Mevin yang duduk di tepi tempat tidurnya. Jeremy berlutut di depan Mevin, “Pa ….” panggil Mevin lirih. Jeremy meraih pundak Mevin dan mengangkat wajahnya untuk memandang wajah anaknya itu.

Let me explain. Peristiwa itu sudah lama, Vin. Papa kira nggak akan ada apa-apa dan Papa sudah bahagia sama keluarga kita. Tapi, terlepas dari semua yang terjadi, Papa minta maaf, ya. Papa minta maaf sama Mevin. Selama ini Papa juga lost contact sama Jovian setelah dia pindah ke Bali, bahkan kepulangannya ke sini pun Papa nggak pernah tahu.”

Mevin yang sedari tadi menundukkan kepala kini menoleh dan memaksakan satu senyuman dengan mendengus, menatap papanya. “Terus, intinya apa, Pa? Langsung ke intinya aja, ya?” tanya Mevin sambil mengangkat alisnya, tetapi bisa Jeremy lihat dengan jelas mata anaknya itu memerah.

Tenggorokan Jeremy tercekat, ia tidak tahu harus berkata apa. Ia sudah bersimpuh di depan anaknya. “Maafin Papa. Papa nggak pernah menyalahkan kehadiran kamu, justru Papa bersyukur dengan kehadiran kamu di keluarga ini. Mevin, Papa, dan Mama Lea merawat kamu sejak kamu lahir―”

“Om Jovian pernah nemuin Mevin dan peluk Mevin sebelum Om Jovian pamit, dia panggil Mevin dengan sebutan, Nak. Pelukannya sama hangatnya kayak pelukan Papa.” Mendengar kalimat anaknya itu, seketika air mata Jeremy tumpah. “Mevin, Nak. Om Jovian ... dia ...” Jeremy terbata-bata, sedangkan yang bersangkutan masih menunjukkan wajah lesu dan kecewa. Jeremy mengambil napas panjang lalu membuangnya, ia merangkul pundak Mevin dan berkata, “Om Jovian papa kandung kamu.”

Mendengar ucapan papanya itu, seketika Mevin pun terdiam. Sorot matanya lurus menatap iris cokelat papanya. Tenggorokan Mevin tercekat, seketika Jeremy sudah terisak di sana. Punggung Jeremy bergetar, ia terisak sambil membenamkan wajahnya di lutut anaknya yang terlipat.

Sementara Mevin masih terdiam mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. “Om Jovian yang berhak kamu panggil Papa. Your mom passed away when you were born at that time. Ini permintaan mama kamu buat menyerahkan kamu sama Papa dan Mama Lea. Ada hal-hal yang nggak bisa dijelaskan tentang Jovian dan mendiang mama kamu.”

“Mevin bukan anak Papa Jeremy sama Mama Lea?” suara Mevin terdengar parau.

“Iya, Mevin anak kandung Papa Jovian, tapi Mevin tetap anak Papa Jeremy sama Mama Lea, Mevin tetap keluarga Adrian.” Jeremy memegang pundak Mevin erat.

“Jadi yang temen-temen Mevin bilang kalau Jevin sama Mevin nggak mirip, bukan kembar, salah satu dari kami pasti bukan anak kandung itu bener, ya?”

“Mevin ....” Mevin terkekeh di atas tangisnya, “jadi merasa bersalah sama Jevin karena dia suka belain Mevin bahkan sampai berantem sama anak-anak di sekolah.”

“Mevin, kamu tahu? Papa juga bukan anak kandung opa dan oma kamu, loh.” Kalimat itu terhenti sesaat kala Mevin menatap papanya seakan tidak percaya.

“Papa bukan anak opa dan oma kamu. Papa diambil dari panti asuhan juga, bahkan Papa tahu itu semua sebelum menikah sama Mama Lea. Papa marah dan kecewa, tapi Papa kembali mikir, untuk apa marah? Seharusnya Papa marah kalau opa dan oma adopsi Papa dan tidak memperlakukan papa dengan baik. Tapi, Papa dirawat dari bayi sampai dewasa. Rasa itu cenderung ke kecewa dan kaget. Kecewa karena title anak angkat membuat kita seperti berjarak dengan orang tua. Kaget sudah pasti, sedih? Iya.” Jeremy mengatakan sebuah fakta yang mungkin juga Mevin baru ketahui.

“Karena Papa nggak pernah tahu siapa orang tua kandung Papa, tapi yang papa tahu dan papa ingat sejak kecil bayangan orang tua itu hanya opa dan oma kamu. Papa bersyukur dirawat opa dan oma kamu sejak kecil sejak ingatan masa kecil itu belum terbentuk,” lanjut Jeremy lagi.

Mevin masih terdiam, matanya terasa panas mendengar penuturan papanya. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Semuanya seperti mimpi. “Sekarang Papa nggak akan bosan minta maaf sama Mevin, sampai Mevin maafin Papa. Vin, Papa berharap juga ingatan masa kecil Mevin hanya ada Papa dan mama Lea. Mama dan Papa rawat kamu sejak lahir. Papa nggak memaksa kamu buat maafin Papa, itu hak kamu. Tapi, Papa mau memaksa kamu buat tetap jadi anak Papa dan Mama. Walaupun kamu dan Jevin bukan kembar yang asli, di mata Papa dan Mama kalian tetap anak kembar kami. Adiknya Lauren, anaknya ... Papa Jeremy.” Suara Jeremy menjadi bergetar.

Jeremy mengelus pelan rambut anaknya itu sebelum angkat bicara lagi. “Mevin, terima kasih sudah tumbuh dengan baik dan jadi anak yang baik dan membanggakan. Maafin Papa belum sempurna jadi sosok ayah. Papa nggak akan melarang Mevin ketemu Papa Jovian, Jovian berhak Mevin panggil dengan sebutan papa, bahkan dia yang paling berhak dan kalau Mevin pada akhirnya memutuskan tinggal sama Papa Jovian nggak papa.” Jeremy memaksakan senyumnya. Mevin terdiam, tetapi ia mendengar rapalan cerita papanya, mencerna setiap kalimat yang menyayat itu.

“Mevin anak Papa dan Mama Lea, Mevin juga anak Papa Jovian dan Mama Petra.” Jeremy sesekali mengerjapkan mata dan mengatur napasnya. Walaupun paras malaikat cantik yang melahirkan Mevin tidak pernah ia lihat secara langsung, tetapi yang ada di ingatan Mevin hanyalah sosok Lea yang sudah mewakilinya, seorang penyayang dengan cinta yang murni.

“Pa―” bisik Mevin lirih.

“Waktu kecil, Papa dan Mama selalu beliin kamu sama Jevin mainan dan baju kembar. Papa sama Mama selalu beliin kalian segala sesuatu yang kembar. Lauren suka banget gigit tangan kamu, waktu kecil kamu lebih gemuk daripada Jevin, cici suka gemes sendiri terus gigit tangan kamu sampai kamu nangis. Kalau kamu sakit, cici kadang nangis juga, kayak bisa ngerasain.” Jeremy bertutur diatas air mata yang masih mengalir.

Segala memori tentang masa kecil Mevin ingat dan benar memang hanya ada kenangan indah di keluarga ini. “Mevin, jangan benci Papa, ya. Maafin Papa, Nak ... maaf ....” Jeremy tertunduk lesu. Air matanya mengalir membasahi pipinya, sesekali ia menyekanya.

Mevin bergeming. Dalam sepersekian detik punggungnya bergetar lagi, tangisannya terdengar. Mevin merasa hatinya sakit, baru kali ini ia mendengar papanya menangis. Pandangan Mevin sedikit kabur karena bulir air mata yang mengantre di pelupuk matanya. Mevin menangis tanpa suara. “Maafin papa, Vin ....” Kalimat itu terdengar sangat pilu di telinga Mevin.

Ceklek

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Mevin menoleh dan buru-buru menghapus air matanya. Dilihatnya mamanya sudah berdiri diambang pintu, diikuti Jevin dan Lauren. Lea pun perlahan berjalan mendekat ke arah Mevin. Jeremy yang menyadari kehadiran istrinya kaget dan mendongakkan kepalanya lalu pandangannya mengikuti pergerakan Lea yang berlutut juga di depan Mevin sambil menangkup kedua sisi pipi anaknya.

“Anak Mama.” Suara Lea parau, tetapi ia paksakan untuk tersenyum.

“Ma ....”

“Elleandru Mevinio Adrian, kamu anak Mama Lea, Papa Jeremy, dan ... Papa Jovian.” Digenggamnya tangan anak lelakinya itu erat.

Mevin bergantian memandang kedua orang tuanya yang sekarang tengah duduk bersimpuh di depannya.

“Mevin marah, ya, sama Mama dan Papa?” Lea melafal lirih, anaknya masih belum menjawab. Dilihatnya Mevin hanya mengerjap. “Nak, kalau marah sama Papa sama Mama, boleh. Tapi, coba lihat dari sisi lain, Mevin punya dua papa dan dua mama yang sayang banget sama Mevin dengan tulus. Mungkin waktunya yang bikin Mevin marah tapi―”

“Mevin nggak tahu harus bereaksi seperti apa,” sela Mevin. “Ma, Pa, terima kasih udah merawat Mevin dari kecil. Terima kasih udah membesarkan Mevin tanpa balas jasa atau tanpa batasan dan perbedaan walaupun Mevin bukan anak kandung Papa sama Mama.” Mevin menatap kedua orang tuanya dengan mata yang sudah basah.

Hati Lea berdesir nyeri. Lea dan Jeremy langsung berpindah posisi di sebelah kanan dan kiri Mevin lalu memeluk anak mereka. Hening sesaat.

“Mevin sayang Papa sama Mama.” Mevin terisak, seketika tangisannya pecah menyeruak memecah hening.

Lea dan Jeremy memeluk Mevin semakin erat. “Terima kasih ya, Nak, udah hadir di dunia,” kata Lea, ia merangkul anaknya itu, menempelkan hidungnya di pipi Mevin. Suasana haru memenuhi ruangan itu.

“You don’t need to say thanks. Mevin yang terima kasih sama Mama dan Papa karena udah menerima Mevin. Aku harap Mama Papa tetap sayang Mevin seperti kemarin-kemarin, terlepas dari segala yang terjadi di masa lalu.” Jemari Mevin meraih satu tangan mamanya dan satu tangan papanya lalu menyatukan dalam satu genggam.

“Mevin, ingat satu hal, ya, Nak, sampai kapan pun Mama dan Papa tetap dan akan menjadi orang tua kamu. Mama Papa nggak akan larang Mevin ketemu Papa Jovian.” Jeremy tersenyum penuh haru. Lea dan Jeremy saling menatap, bibir mereka seakan terkunci, emosi hadir dalam tatapan mata keduanya.

“Kapan aja Mevin mau ketemu Papa Jovian, just let me know.” tutur Lea,

“Kok kita nggak diajak, sih!” pekik Lauren sambil menangis yang datang bersamaan dengan Jevin.

Jevin duduk di sebelah Lea, sedangkan Lauren duduk di sebelah Jeremy. Lea mengecup pipi Jevin dan Mevin bergantian. Mereka saling memeluk hangat satu sama lain.

“Ini udah kayak teletubies,” gurau Jevin di tengah suasana haru itu. Semuanya terkekeh sesaat.

“Mevin, Jevin, dan Lauren itu anak anak kebanggaan Papa sama Mama, ngerti? Sejauh apa pun kalian pergi, tempat kalian pulang, ya, keluarga. Seburuk apa pun Mama dan Papa di mata kalian, kami tetap orang tua kalian dan kalian bertiga tetap anak kesayangan Mama dan Papa tanpa terkecuali,” kata Jeremy sambil bergantian menatap anak-anaknya serta Lea.

“Anak-anak Mama, mungkin Mama nggak sempurna jadi ibu buat kalian. Dengan semua keterbatasan Mama, apalagi masalah fisik, Mama minta maaf, ya. Kalian pasti through a lot of hard time because of me, maaf kalian harus punya Mama dengan latar belakang seperti Mama Lea kalian ini. Tapi, asal kalian tahu, Mama nggak pernah menghendaki kalian mengalami kesulitan seperti Mama.”

“Mevin anak Mama, Lauren anak Mama, Jevin anak Mama. Maaf buat semua hal yang harus kalian tanggung karena Mama, tapi kalian nggak pernah ngomong. Nak, Mama itu ngerasa. Hal apa pun yang ganggu pikiran kalian, please share ke Mama karena kebahagiaan kalian itu prioritas Mama dan Papa supaya tugas Mama sebagai seorang ibu bisa berguna. Nggak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bersyukurnya Mama punya keluarga ini,” tutur Lea yang membuat mata ketiga anaknya langsung berkaca-kaca.

“Papa juga, apa pun yang terjadi, ke depannya kalian semakin dewasa, Papa kadang sedih. Papa sudah lakuin apa buat kalian? Lea, aku bersyukur juga punya kamu. Asal kalian tahu, Mama kalian ini wanita paling hebat di dunia buat Papa. Jadi, jangan bikin Mama sedih, ya?” tambah Jeremy. Tanpa kata mereka memeluk satu sama lain. Mevin menjadi sedikit lega, ia bisa menerima dengan lapang dada sebuah kenyataan yang tidak akan berdampak apa-apa dalam hidupnya kelak karena yang Mevin tahu ia dibesarkan di keluarga ini. Mungkin ini sebuah proses dari pendewasaan bagi Lauren, Jevin, dan Mevin serta kerikil tajam rumah tangga bagi Jeremy dan Lea.

“Sekali lagi terima kasih, ya Ma, Pa udah nemuin Mevin, udah ngerawat dan membesarkan Mevin,” bisik Mevin lirih di pelukan mamanya. Lea menangis, mengecup puncak kepala Mevin. Malam itu tangis haru tumpah ruah di keluarga Adrian.