THE TRUTH

Letta―adalah nama yang sudah Jevin sematkan seluruh isi perasaannya untuk berlabuh, delapan tahun perjuangan dan perjalanan mereka hingga bisa sematkan sebutan suami dan istri dalam naungan pernikahan.

Jevin juga adalah nama yang selalu Letta sebutkan setiap ia memejamkan mata dalam remang dan Jevin adalah orang yang Letta ingin selalu lihat saat ia membuka dan hendak menutup mata.

Jika dikisahkan, perjalanan mereka panjang dan tidak mudah. Banyak kehilangan dan kepergian yang harus mereka hadapi. Kepergian tanpa salam perpisahan, teriakan ironi serta tangisan yang menyayat hati setiap kepergian yang dihadapi.

Terakhir kali, hubungan Jevin dan Letta sedang tidak baik. Suatu kesalahpahaman terjadi di antara mereka. Kali ini, Letta dan Jevin tengah menunggu kedatangan Clarynta, seorang wanita yang membuat hubungan Jevin dan Letta runyam.

Keduanya tengah berada di ruangan kantor Jevin, keduanya duduk di sofa yang bersebelahan tapi bak ada sebuah sekat yang membatasi Jevin dan Letta. Beberapa kali Jevin hendak meraih tangan Letta tapi ditepis Letta kasar. Hati wanita mana yang tidak sakit melihat suaminya ada di apartemen wanita lain? “Letta, sampai kapan diemin aku?” tanya Jevin lembut.

“Sampai semua jelas.” Letta berkata dengan nada ketus.

Hingga akhirnya sebuah ketukan pintu membuyarkan mereka berdua, Jevin dan Letta bangkit berdiri saat melihat Clarynta ada di sana. Letta dengan langkahnya yang terburu langsung menghampiri Clarynta dan menamparnya.

Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Clarynta dari Letta.

“Sayang!” pekik Jevin panik sambil berusaha menengahi mereka berdua.

“Lo apaan, sih?!” balas Clarynta tidak kalah nyolot.

“Lo ngapain sama suami gue?!” kata Letta dengan nada nyaring.

“Clar! Tell her the truth! Jangan bikin gue sama Letta ribut!” bentak Jevin.

“Jevin ke apartemen gue,” kata Clarynta singkat lalu membuang pandangan sambil menyilangkan tangan di depan dada.

“Terus?” tanya Letta menantang.

“Clar! Ngomong jujur atau gue bisa cut off lo dari kerjaan!” kata Jevin.

“Oke! Jevin sama Jordy ke apartemen gue waktu itu karena laptop gue ketinggalan dan ada banyak file yang harus diolah datanya, sekalian kita kerjain kerjaan itu di apartemen gue, Jevin ngeluh pusing terus dia sempat cuci muka di kamar mandi yang ada di kamar gue, I took his picture and send it to you, Cuma itu.” Clarynta nampak kesal padahal dia yang membuat masalah. Bibir Letta sudah kelu.

“Itu yang terjadi, aku nggak ngapa-ngapain, aku berani sumpah!” kata Jevin.

Clear, kan? Puas?” kata Clarynta angkuh lalu pergi dari sana, saat Clarynta hendak keluar dari ruangan itu Letta sudah bergegas hendak menjambak wanita itu tapi Jevin langsung menahan langkah Letta dan memeluknya sementara Clarynta keluar dari sana sambil membanting pintu.

“Udah, Lett! Udah!” Jevin masih terus menahan istrinya itu. Letta pun melepas paksa pelukan Jevin, pipi Letta seketika basah karena tangis yang pecah.

“Harus banget mampir ke apart dia? Kan bisa di kantor, kalau sampai beneran kamu selingkuh, Jev ... yang kamu kecewain itu aku sama Eve!” Letta berkata dengan nyaring dan memberi penekanan di setiap kalimatnya diiringi linangan air mata.

Letta memukul dada Jevin beberapa kali, kaki Letta sudah bergetar, sementara Jevin tertunduk dan matanya panas, dadanya sesak mendengar satu nama yang Letta ucapkan.

“Setiap kamu nyakitin aku, ada dua hati yang sakit! Setiap kamu bikin aku tersiksa, ada dua hati yang terluka, Jevin!” Letta semakin pecah dalam tangis, maka Jevin menjatuhkan dirinya hingga berlutut di depan Letta yang menangis keras.

“Nggak akan ada toleransi untuk perselingkuhan, Jevin.”

“Maafin aku, tapi aku beneran nggak selingkuh, kamu denger semua tadi, kan? Aku nggak mau nyakitin kamu, aku nggak akan pernah bisa nyakitin kamu karena aku sadar juga akan hal itu, aku minta maaf ... sayang, maaf ....” Jevin berkata penuh sesal sambil mengatur napasnya yang berderu, juga suaranya yang berat dan bergetar menahan tangis. Sungguh, Jevin tidak akan pernah bisa menyakiti Letta. Yang ia genggam tidak akan ia biarkan merenggang. Riuh suasana mencekam terasa di sana, hanya ada tangisan dari dua insan yang menggema.

“Maafin aku,” kata Jevin terisak sambil menunduk.

“Aku nggak akan pernah nyakitin kamu, Eve tahu kalau aku nyakitin kamu pasti. Aku nggak akan nyakitin kamu, aku nggak akan biarin ada celah di hubungan kita, aku nggak mau bikin Eve kecewa, maafin aku ... Letta maafin aku ....” usai Jevin mengatakan kalimatnya ia terisak bukan main. Maka Letta mulai terenyuh, hatinya juga sesak melihat suaminya menangis seperti ini, maka Letta perlahan berlutut juga di depan Jevin hingga keduanya saling berhadapan lalu Letta memeluk suaminya itu, Jevin langsung membalas pelukan itu erat dan menangis terisak bukan main di pelukan Letta sambil meremas baju Letta.

“Maafin aku, jangan tinggalin aku, jangan ... aku nggak bisa hadapin kehilangan lagi, semuanya gelap kalau nggak ada kamu, aku nggak mau hancurin hati wanita yang aku sayang untuk kesekian kali,” ucap Jevin penuh sesal. Nada yang tercipta saat itu adalah nada sendu karena dua hati pilu menangis bersamaan, meleburkan semua perasaan yang ada.

Sejatinya, sebuah hubungan pasti selalu ada titik dimana kita menghadapi rasa kecewa, merasa hampa, merasa terluka hingga kita akan menemukan makna dari itu semua. Kadang dalam hubungan tidak berjalan sebagaimana mestinya atau tidak berjalan sebagaimana diinginkan, tapi semua berjalan sesuai kendali Sang Kuasa.

“Aku nggak mau kehilangan kamu! Maafin aku!” nada bicara Jevin meninggi seketika. Lalu ia mendongakkan kepala menatap Letta.

“Jangan pergi, jangan tinggalin aku. Apa aku hidup cuma buat ditinggalin?” kata Jevin sambil tersenyum pedih.

Letta pun merenggangkan pelukan, menghapus jejak air mata yang ada di wajah Jevin. Sementara Jevin masih diam dan mengatur napasnya yang masih memburu di dalam dada, ia tidak melihat ke arah Letta, pandangannya kosong ke depan. Namun, pipi Jevin masih basah oleh linang kristal bening yang mengalir dari matanya.

“Jangan pergi, jangan tinggalin aku, rasanya kayak mau nyusul Eve aja kalau ada yang pergi dari hidupku,” kata Jevin selanjutnya sembari mengarahkan pandangannya perlahan ke arah Letta.

“Jevin! Jangan ngomong gitu!”

“Aku nggak kuat kalau harus hadapin perpisahan lagi, jangan ... aku mohon ...” Jevin berkata dengan suaranya yang bergetar, Letta menggeleng beberapa kali sambil masih memeluk kekasihnya dan menangis. Hal itu membuat Jevin pecah juga dalam tangis yang menyayat dan menyeruak memecah hening malam itu. Maka, berbalaslah dekap yang diberikan Letta, bersatulah dua anak adam yang dipertemukan karena luka itu. Berhenti mempunyai keinginan mengakhiri hidup, coba kita lihat ke sekeliling, setidaknya akan ada satu orang yang ingin kita untuk tetap bertahan dan melanjutkan kehidupan sampai sang empunya berkata “Pulang” pada waktu-Nya.