THIS SIBLINGS

“Cuma perkara makan, makan sama adek sama kakak lo doang, Yoel, nggak usah pakai ngotot!” Kalimat Eugene diucapkan nyaring dan mendapat balasan kekehan dari Yoel.

Yoel bertepuk tangan lalu mendekat lagi ke arah kakanya itu, “biasanya juga gue yang di rumah sama Michelle, gue yang anter jemput dia, gue yang makan nemenin dia. Lo kan sibuk part time terus ngerokok nggak jelas, jangan pikir gue tolol ya! Gue tahu, Ko!” bentak Yoel.

Eugene terdiam, ia tidak tahu bagaimana Yoel mengetahui bahwa ia merokok. “Lo part time biar nggak ketahuan ngerokok, kan? Sampai rumah tengah malem, habis itu langsung masuk kamar, ya nggak ketahuan. Tapi gue cowok, gue juga pernah coba ngerokok tapi akhirnya Papa, Oma sama Opa yang kasih tahu gue. Emang sih ngerokok bukan dosa tapi keluarga kita nggak suka. That’s your choice,” kata Yoel sambil berkacak pinggang lalu berdecih.

“Bagus deh kalau lo tahu, karena kadang gue ngerasa terbebani ada di rumah ini!” kata Eugene sambil berbalik badan. Tapi, yang Yoel lakukan adalah berjalan cepat ke ruang tengah dan menyambar jaket Eugene. Yoel merogoh saku jaket itu, mengeluarkan sekotak rokok yang ada, membuka dan mengeluarkan semua isi rokok yang tersisa sampai berserakan di lantai.

“YOEL!” pekik Eugene hendak menahan tindakan Yoel tapi percuma, batang rokok yang berjatuhan itu sudah digilas oleh kaki Yoel hingga hancur, dan pada akhirnya Yoel membanting kotak rokok itu.

“Apa?! Mau marah? Yang ada harusnya kita yang marah karena lo segala coba ngerokok, ngapain sih?!” balas Yoel. Eugene sudah naik pitam, tangannya mengepal menahan amarah. Mereka lupa kalau ada Michelle di dalam kamar yang mendengar mereka.

“Gue pernah lihat lo kumpul sama temen-temen lo yang ngerokok, some of them bawa alkohol, right? Gue nggak goblok, gue tahu mana minuman biasa mana yang alkohol, dan lo ada di sana! Gue selama ini diem ya, Ko! Selama ini gue tahu tapi gue diem, karena lo yang selalu bantuin gue dan selalu ada buat gue disaat gue butuh. Lo yang selalu ada waktu gue ketrigger, lo yang ada waktu gue nangis di bawah shower. Lo yang bawa gue ke Rumah sakit waktu sakit gue kambuh, ITU KO EUGENE YANG GUE KENAL! BUKAN YANG EMOSIAN, NGEROKOK DAN MABOK-MABOKAN DAN MARAH MARAH NGGAK JELAS GINI!” Jerit Yoel hingga tenggorokannya tercekat, Yoel menangis saat itu juga, tidak tersedu tapi matanya merah dan mengeluarkan air mata.

Michelle yang mendengar hal itu langsung menuju ke ambang pintu kamarnya, ia melihat Eugene membanting beberapa buku kuliahnya. “Lo sadar dong lo yang jarang ada di rumah! Lo pergi pagi, pulang malem, dengan segala hal yang lo lakuin tanpa sepengetahuan mama sama papa. Pulang, tidur, besok paginya gitu lagi. Gue juga pengin ngobrol sama lo! Michelle juga pengin ngobrol dan makan bareng sama lo. Gue tahu kapan lo shift, gue tahu kapan lo harus ke tempat lo kerja part time itu. Tapi yang gue tahu, lo pergi setiap hari, yang nggak gue tahu banyak. Gue nggak tahu apa yang lo lakuin!”

Eugene mengetatkan rahangnya lalu berkata dengan suara beratnya, “lo nggak usah kepo sampai ke tempat kerja gue, ngapain? MAU APA GUE TANYA! NGGAK USAH RECOKIN KEHIDUPAN GUE! GUE TUH CAPEK!” Botol minum yang ada di atas meja diraih Eugene lalu dibantingnya ke lantai.

“KO EUGENE! KO YOEL UDAH!” Michelle memberanikan diri mendekat ke sana dan berteriak guna melerai kedua kakaknya itu. Sementara Yoel dan Eugene masih saling menatap sengit, meski keduanya menangis. Ya, keduanya menangis tanpa suara sama sekali. Ada air mata mengalir dari pelupuk mata keduanya, mata yang saling menatap tajam itu.

“Cuma gara-gara Michelle minta makan bareng aja jadi kayak gini, udah dong, Ko…” Michelle yang menangis tidak digubris oleh kedua kakaknya.

“Gue capek, gue capek sama perkuliahan, sampai di rumah, yang Papa sama Mama tanya ya lo berdua, gue nggak iri atau kenapa-kenapa. Tapi gue cuma ngerasa nggak dikasih ruang. Semua selalu tentang adik-adik, semua ten⎯” ucapan Eugene belum selesai tapi Yoel memotongnya, “gue juga capek, kakak dan adik gue pinter, gue nggak naik kelas, gue dibully, gue gampang ketrigger, gue ngerasa gue cemen banget, gue nggak bisa jadi kalian! Jangan pikir gue nggak terbebani sama ini semua ya, gue bikin malu, kan? Lo sama Michelle perfect selalu dapet juara, gue? Haha… nggak ada yang dibanggain!” Yoel mendengus pedih.

“Michelle juga capek, Michelle anak terakhir, Michelle nggak pernah punya waktu sama Ko Yoel atau Ko Eugene buat cerita. Michelle takut ganggu kalian, Michelle ngerasa masih terlalu kecil untuk masuk ke dunia kalian. Michelle pengin punya quality time sama Ko Yoel dan Ko Eugene! Kangen kayak waktu Ko Eugene belum kerja, ada waktu sama kita buat main ke timezone atau ke …Es Teh Indonesia bertiga…” Michelle menangis keras setelahnya.

“Lagian lo mending fokus kuliah, Ko! Papa juga udah bilang kalau sekiranya ganggu kuliah lo nggak usah part time segala! Biar apa? Biar gaul nyobain hal-hal yang Papa Mama larang?” nada suara Yoel terdengar lebih pelan daripada sebelumnya, ia berjalan menghampiri Michelle dan merangkulnya.

Akhirnya hanya denting jam yang terdengar, sayup tangisan Michelle perlahan mereda meski Yoel masih harus beberapa kali menyeka air matanya sendiri.

“Gue yang paling tua, gue ngerasa banyak banget beban di pundak gue. Pengin cerita, pengin sharing my pain tapi gue sadar, usia kalian belum saatnya mikirin hal yang pelik, gue nggak tahu harus cari pelampiasan apa kadang. Gue kadang ngerasa kosong… bener bener.. kosong, gue nggak tahu mau jadi apa ke depannya!” ujar Eugene dengan suara seraknya karena bercampur kekuatannya yang sudah minim untuk menahan ledakan tangis di depan adik-adiknya itu.

“Tapi nggak dengan cara lo coba hal yang negatif!” kata Yoel berteriak lagi.

“Gue nggak ngerugiin lo!” Eugene tidak mau kalah sambil menyerakkan buku-bukunya yang bertengger di atas meja.

Saat itu juga, ternyata Mevin dan Shallom ada di sana. Ada di ambang pintu rumah mereka, Mevin yang baru saja mengantar Shallom membeli sesuatu diminta Shallom untuk mampir sebentar karena rindu kepada ketiga saudaranya itu. Tapi, betapa terkejutnya mereka saat tiba di sana melihat suasana yang mencekam dan sengit itu. Mevin langsung berjalan cepat menengahi mereka diikuti Shallom di belakangnya.

“Eugene! Yoel! Michelle!” pekik Mevin yang membuat ketiganya kaget. Mevin tiba di hadapan mereka, sementara Michelle melepaskan pelukan Yoel dan langsung berlari menghampiri Shallom dan menangis di pelukan Shallom.

“Kalian tuh kenapa?!” tanya Mevin sedikit meninggikan nadanya. Keduanya tidak menjawab, hanya diam dan menyeka air mata mereka masing-masing lalu membuang pandangan satu sama lain. Tapi pandangan Mevin tertuju pada rokok yang sudah hancur di lantai.

“Siapa yang ngerokok?” tanya Mevin sambil bergantian menatap kedua keponakannya itu.

“Jawab, siapa yang ngerokok?” tanya Mevin sekali lagi.

“Ko Eugene,” kata Yoel.

Mevin mendelik kaget, “Eugene, kamu?” tanya Mevin sambil memegangi kedua pundak Eugene, anak lelaki itu mengangguk.

“Astaga nak, jangan, ya? Kan dulu⎯” Mevin menggantung kalimatnya.

“Dulu Eugene kena flek paru-paru kan, uncle? Harus minum obat selama dua tahun, kan?” Eugene menjawab. Hal itu membuat Yoel dan Michelle langsung menatap Eugene.

“Uncle, emang iya? Koko pernah sakit?” tanya Yoel mendekat ke arah Mevin, “Uncle,” kata Yoel lagi. Mevin menoleh ke arah Yoel lalu mengangguk.

“Eugene pernah kena flek paru-paru, setiap hari harus minum obat untuk waktu yang lama. Makanya tadi uncle kaget, siapa yang berani ngerokok. Ternyata Eugene? You know that it’s dangerous for your health, right? Eugene, look at uncle,” kata Mevin dengan lembut.

“Kenapa masih ngerokok? Kalau Papa sama Mama kamu tahu, kira-kira khawatirnya kayak gimana? Udah berapa lama ngerokok?” tanya Mevin lagi.

“Sejak masuk kuliah, udah dua setengah tahun.”

“KO, LO GILA YA?!” Yoel tersulut lagi emosinya tapi Mevin mencoba menenangkan Yoel dulu lalu melanjutkan bicara dengan Eugene.

“Setiap hari?” tanya Mevin lagi, Eugene mengangguk. Mevin langsung menghela napas panjang, kehabisan kata kata.

“Kenapa nggak pernah ngomong sih, ko?” tanya Yoel lirih.

“Udah gue bilang, kan. Gue tuh capek, tapi gue nggak tahu harus cerita apa, lo pikir lihat lo dibully gue diem aja? Gue kepikiran, lihat lo sakit gue diem aja? Gue kepikiran! Gue tahu rasanya sakit waktu kecil dan harus minum obat mulu, sedangkan gue punya dua adik yang masih kecil. Gue inget banget gimana masa kecil gue dulu banyak hal yang terjadi diluar dugaan gue ataupun mama sama papa. Gue tuh juga mikirin kalian berdua tau nggak, sih? Gue nggak mau gagal jadi kakak!” Eugene meninggikan suaranya lagi membuat Michelle ketakutan di pelukan Shallom.

“Ko Eugene, udah ko..” lirih Shallom.

“Masih mau berantem? Jangan salah-salahan, udah! Ya? Eugene, uncle minta sama kamu, udah nak, udah, jangan ngerokok lagi, lemme ask you one more, you drunk?” tanya Mevin.

Eugene mengangguk, “iya, semua Eugene coba. Silahkan kalau mau ngadu ke papa,” kata Eugene pasrah lalu duduk di sofa sambil menunduk, ia menghapus air matanya. Sementara itu, Mevin berdiri di depan Eugene, “bukan ranah uncle buat ngadu ke Papa kamu, disini uncle Cuma mau pesen sama Eugene karena uncle inget gimana dulu Eugene waktu kecil. Kan uncle yang nanganin kamu, uncle inget gimana khawatirnya Papa sama Mama kamu. Jangan kayak gini lah, Eugene … kesehatan kamu yang utama, nak. Ya? Bahaya, Eugene,” dengan sabar Mevin mencoba memberikan pengertian kepada Eugene. Tiba-tiba Yoel berlutut di lantai dan membersihkan sisa rokok yang ia hancurkan tadi tanpa perintah siapapun, “Yoel…” panggil Mevin lirih.

“Uncle ngomong aja sama Koko, terusin aja, Yoel bersihin ini… biar Koko nggak dimarahin Papa sama Mama.” Ucapan Yoel benar-benar membuat Eugene yang tertunduk kini menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Mevin pun merasa terenyuh dengan sikap Yoel itu. Benar saja, dengan tisu yang ada, Yoel membersihkan kotak rokok dan rokok yang berserakan hingga tidak bersisa lalu ia buang ke luar rumah dan kembali lagi ke sana.

“Eugene, Yoel, Michelle, jangan pada marah-marahan, kalian kan saudara kandung. Uncle sama Papa kalian bukan saudara kandung, tapi sampai umur segini kami masih dan akan selalu akur. Kalau ditanya pernah muda dan marahan nggak, jawabanya pernah. Karena pernah, uncle makanya bisa ngomong gini ke kalian. Rumah, tempat pulang, yang ada di rumah siapa? Ya keluarga, keluarga disini siapa? Papa Jevin, Mama Letta, Eugene, Yoel, Michelle. Kita kalau pulang ke rumah pengin ngerasa apa sih? Seneng kan? Rehat dari semua kegiatan yang ada, feel comfort in family, right? kalau kayak tadi, rumah itu sendiri jadi nyaman nggak? Enggak kan?” tanya Mevin. Semua terdiam, Shallom tak henti memandangi Papanya kali itu, Shallom tahu bahwa memang Papanya bukan anak kandung dari omanya sekarang, tapi sejak lahir, Papanya sudah ada di keluarga ini. Shallom juga tahu bagaimana perjuangan papanya sampai di titik ini.

“Uncle tahu gimana Papa sama Mama kalian, mereka bukan orang tua yang menuntut kalian untuk jadi apa yang mereka mau, tapi, mereka adalah orang tua yang mau anaknya menjadi diri mereka sendiri. Jadi diri Eugene sendiri, jadi diri Yoel sendiri dan jadi diri Michelle sendiri. Jadi yang terbaik versi kalian masing-masing.” Kalimat Mevin ini menghantarkan Yoel dan Eugene menatap satu sama lain.

“Michelle tuh sedih lihat Ko Yoel sakit kayak kemarin, Michelle juga sedih denger Ko Eugene pernah sakit kayak gitu, Michelle sedih kalau kalian sakit. Udah dong Ko, jangan saling marahan lagi.” Michelle yang sedari tadi terdiam kini membuka suara.

“Denger adiknya bilang apa?” tanya Mevin kepada kedua keponakan laki-lakinya itu.

“Maafin gue ya, Ko.” Yoel berkata lirih sambil duduk di sebelah kanan Eugene, “lo tuh nggak boleh sampai sakit lagi, lo harus sehat. Jauhin lah hal-hal nggak guna itu, Ko.”

Eugene menangis tapi ia mencoba tersenyum.

“Eugene minta maaf juga sama adiknya,” titah Mevin lirih.

“Maafin gue ya,” kata Eugene sambil menoleh menatap Yoel. Saat Yoel mengangguk, Eugene gantian menatap Michelle yang masih dirangkul oleh Shallom.

“Disamperin kokonya, gih,” bisik Shallom pada Michelle. Akhirnya Eugene merentangkan tangan membuka lengan lebar, Michelle yang melengkungkan bibirnya langsung menangis dan memeluk kakak laki-lakinya itu. Memeluklah Michelle dan Eugene, “maaf ya kalau koko tadi marah-marah,” bisik Eugene pada Michelle.

“Takut, tadi Michelle takut banget,” balas Michelle. Tapi sejenak Eugene rasakan, Yoel memeluknya dari sisi yang lain, maka tangan Eugene bergerak berubah menjadi merangkul kedua adiknya yang sama-sama memeluknya itu. Shallom duduk di sofa sebelahnya dan mengusap punggung Michelle lembut, sempat beradu tatap dengan Eugene, Shallom berikan senyum terbaiknya dan acungan jempol kepada Eugene.

“Nah, begini dong.” Mevin bisa mengembuskan napas lega setelahnya. Saat keadaan sudah membaik, suara mobil terdengar, tentu saja suara mobil Letta dan Jevin. Benar saja, Jevin dan Letta masuk ke sana dan melihat ketiga anaknya yang sedang saling merangkul.

“Eugene! Yoel! Michelle!” pekik Jevin panik yang langsung berlari ke dalam.

“Mevin? Shallom?” Letta berjalan di belakang Jevin dan kebingungan bagaimana bisa ada Mevin dan Shallom disini.

“Siapa tadi yang⎯” ucapan Jevin dipotong oleh Mevin yang langsung memberi isyarat kepada Jevin.

“Sstt, diemin dulu. Jangan sekarang,” kata Mevin lirih. Yoel, Eugene dan Michelle pun merenggangkan pelukan lalu menatap kedua orang tuanya dan mereka bertiga pun langsung memeluk Jevin dan Letta.

In a sudden?” Letta sedikit heran tapi ia tersenyum kagum karena sikap ketiga anaknya ini.

“Michelle sayang Papa, Mama, Ko Eugene, Ko Yoel, uncle, aunty, semua keluarga besar Adrian.” Michelle berkata dengan gemasnya yang mengundang kekehan ringan dari semua yang ada di sana.

—-

Akhirnya setelah Mevin dan Shallom berpamitan dari sana, Jevin, Letta, dan ketiga anaknya masih ada di ruang tamu. Jevin berulang kali menanyakan apa yang terjadi tapi ketiganya masih tertunduk dan diam.

“Tadi kenapa? Kenapa berantem?” tanya Jevin sambil memandangi satu per satu anak-anaknya.

Akhirnya Eugene berdeham lalu memberanikan diri menatap Papanya itu, “maaf, Eugene tadi emosi, Eugene yang mancing keributan tadi. Maaf ya, Pa,” katanya.

“Kenapa sampai banting-banting barang? Kenapa sampai nangis?” tanya Letta kali ini, “jangan bohong,” lanjut Letta.

“Belum mau jujur?” tanya Jevin.

“Eugene yang salah, Pa, Ma, sorry ya, Eugene nakal coba ngerokok sama ngedrunk, dan Yoel tahu,” kata Eugene dengan suara yang bergetar.

Jevin dan Letta kaget bukan main, “Apa?!” kata mereka hampir bersamaan.

“Eugene, kamu lupa kalau kamu pernah—” ucapan Jevin dipotong oleh anggukan kepala Eugene dan suara nyarng Eugene, “tahu, Pa, Eugene tahu. Eugene pernah sakit kan paru-parunya? I know, maafin Eugene, ya. Pa... Ma...”

“Siapa yang ngajarin kamu?!” Tanya Letta dengan sedikit emosi karena kaget, maka Jevin menggenggam tangan istrinya itu dan coba memberi isyarat untuk sabar.

My mistake, my own mistake, sorry, Pa.. Ma… Eugene janji nggak akan ulangi lagi, beneran, Eugene nyesel banget, maafin Eugene.”

Jevin dan Letta yang melihat anak sulungnya menangis menjadi tidak tega, bagaimanapun mereka sangat khawatir karena Eugene mempunyai riwayat penyakit flek paru-paru. Dan sekarang Eugene sudah mengakui kesalahannya.

Letta pun angkat bicara, “Nak, mama nggak mau nyalahin atau apa. Tapi makasih kamu udah mau jujur, janji sama papa sama mama, janji sama Tuhan dan janji sama diri kamu sendiri kalau nggak akan ulangin hal-hal itu. Mama masih inget banget gimana kesiksanya kamu harus minum obat setiap hari, hangan kayak gitu lagi.” Nada bicara Letta lebih halus dari sebelumnya.

“Papa harus gimana sih, Eugene? Kamu tahu sendiri keadaan kesehatan kamu kan? Kenapa masih dicoba, nak? Astaga..” Jevin kewalahan. Eugene tidak menjawab apa-apa, bahkan tidak menatap kedua orang tuanya itu.

“MAU DIULANG LAGI?!” Kali ini malah Jevin yang tersulut emosi.

“Jangan marahin Koko,” ujar Yoel yang mengangkat wajahnya sedikit menatap Papanya meski ketakutan.

“Jangan marahin Ko Eugene sama Ko Yoel, Papaa..” sanggah Michelle.

Eugene pun beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Jevin juga Letta, berlutut di depannya dan memeluk kedua orang tuanya itu.

“Maaf ya Pa, Ma. Maaf udah jadi anak sulung yang nggak kasih contoh yang baik.” Mendengar Eugene mengucapkan hal itu, Letta dan Jevin kehabisan kata-kata. Yoel dan Michelle yang melihatnya langsung menghampiri dan langsung memeluk Eugene, Jevin juga Letta.

Mereka berlima saling memeluk. Pelukan hangat itu kembali lagi, tak ada amarah juga ego lagi.

“Maaf kalau Papa jadi orang tua yang kurang perhatian, jangan pada marah-marahan sampai kayak tadi. Ya? Harus bijak, harus bisa jaga diri, harus jujur apapun yang terjadi. Papa sayang sama kalian, tanpa terkecuali,” kata Jevin.

“Sayangnya Mama sama Papa ke Eugene, Yoel sama Michelle itu sama.” Letta menambahkan. Tak ada amarah yang bergejolak lagi, yang ada hanya kasih sayang diantara mereka saat ini.

Cairlah suasana malam itu, emosi dan amarah diredam, Mevin datang tepat waktu, bisa menjadi penengah untuk keponakannya itu. Nyatanya, amarah anak bisa diredam dengan petuah yang tanpa dibumbui emosi dan amarah juga. Nyatanya pengertian kepada anak bisa diberikan tanpa kemarahan. Kalau ada kasih di sana pasti tidak akan ada kemarahan yang lebih memuncak, bertindak dengan kepala dingin ternyata memang sangat diperlukan di dalam keluarga. Setiap anak memiliki bebannya masing-masing, anak pertama, kedua, ketiga dan yang lainnya. Tidak perlu jadi yang terbaik hanya demi pengakuan, tapi jadilah versi diri sendiri yang menurut kita baik. Jika anak melakukan kesalahan, kadang bukan karena orang tua yang salah mendidik, setiap anak pasti memiliki rasa ingin tahu, bukan berarti didikan orang tua salah. Dalam hidup, orang tua tidak selalu benar, dan anak tidak selalu salah. Tapi dalam keluarga, harus saling mengasihi. Jevin dan Letta tidak pernah salah mendidik anak, begitu juga Jeremy dan Lea tidak pernah salah mendidik dan membesarkan Jevin, Mevin maupun Lauren.