TIGA
Hari ini, tanpa sepengetahuan Jena, Jeffrey sudah ada di depan kampus Jena, berencana menjemput anaknya itu. Tanpa sepengetahuan Eilene juga. Sedikit keraguan mengintip namun Jeffrey tepiskan jauh-jauh. Sepanjang perjalanan Jeffrey sibuk mengatur napasnya dan detak jantung yang tidak beraturan.
Tak lama setelah perjalanan sekitar dua puluh menit dengan mobil, Jeffrey tiba di kampus Jena dan matanya mengamati setiap mahasiswa yang keluar.
Matanya mengamati lamat-lamat setiap siapa saja yang keluar dari sana. Jeffrey beberapa kali melirik arlojinya dan mengarahkan pandangan kepada beberapa mahasiswa yang berhamburan keluar sampai netranya tertuju kepada Jena yang tengah berjalan sendirian sambil memainkan ponselnya.
Jantung Jeffrey berdegup tidak beraturan, tenggorokannya terasa tercekat ia pun memantapkan langkah mendekati anaknya itu, sebenarnya ia cemas jika harus mendapat penolakan lagi dari anaknya.
Jeffrey berdiri menghalangi jalan saat anak perempuannya itu hendak lewat hingga ia menghentikan langkahnya lalu mendongakkan kepalanya melihat Jeffrey dengan tatapan heran.
“Halo, Nak.” kalimat pembuka percakapan antara Jeffrey dan anak perempuannya yang sudah tumbuh besar itu dilontarkan Jeffrey sedikit gugup.
Jena mendengus kesal dan mengerutkan dahi dan menatap Jeffrey heran, “Ngapain?”
“Ikut Papa sebentar, yuk? Jena suka pantai kan? Ke pantai sama Papa sebentar mau, nak?” tanya Jeffrey, Jena sadar bahwa kini semua mata tertuju kepadanya, memang selama ini Jeffrey tidak pernah mengantar atau menjemput Jena kuliah sekalipun karena Jena tidak memperbolehkannya.
Dan hari ini adalah hari dimana Jeffrey nekat, sudah terlalu lama kerenggangan antaranya dan Jena dibiarkan, maka ini saatnya mengikis renggangnya jarak antara ia dan anaknya.
“Ish, ya udah buruan, enggak enak dilihat yang lain. Dikiranya nanti sama siapa lagi.” Jena berjalan melengos meninggalkan Jeffrey terlebih dahulu. Akhirnya Jena menuruti apa kata Jeffrey, meski entah hasilnya akan seperti apa.
Tak banyak pembicaraan selama perjalanan, Jeffrey juga menjadi canggung karena memang selama ini Dave lebih bisa menerimanya dibandingkan Jena. Apalagi Jena, sepanjang perjalanan mukanya masam. Sampai di lampu merah, Jeffrey menghentikan mobilnya. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
“Hujan, enggak usah ke pantai. Kapan-kapan aja, sama Mama sama Abang Dave juga,” ucap Jena.
Jeffrey menoleh, “Mau makan di luar aja? Gantinya ke pantai, gimana, Nak?” Jeffrey mengajukan penawaran lain.
“Enggak, mau pulang aja.”
“Jena deh yang pilih restonya.”
“Aku enggak mau,” kata Jena dengan penuh penekanan, Jeffrey mengangguk pelan tanda paham bahwa anaknya tidak bisa dipaksa. Hari itu harapan Jeffrey untuk memiliki quality time bersama anaknya pupus, sedikit nyeri dan lelah dalam hati Jeffrey entah harus dengan cara apa lagi ia melakukan pendekatan kepada Jena. Ia hanya ingin kehidupan keluarga yang sewajarnya.