UNGKAPAN HATI
Duduk di sofa apartemen Letta, tak ada kata kata apapun yang keluar entah dari Jevin ataupun Letta. Keduanya hanyut dalam keheningan hingga Jevin menawarkan telapak tangan untuk digenggam oleh Letta.
“Apa?” tanya Letta.
“Your hands,” balas Jevin, Letta menggeleng seakan tidak mau, tapi Jevin tersenyum dan mengangkat alisnya akhirnya Letta luluh juga, jemari mereka sudah saling bertaut sekarang.
“Why?” tanya Letta sambil mengernyitkan dahinya.
“You said, nggak ada pegangan di hidup lagii, masih ada, Lett. Aku bisa,” balas Jevin sambil berkata sungguh-sungguh.
“Bisa apa?”
“Bisa pegang tangan kamu, kuatin kamu, pegang tangan kamu buat jalan bareng lewatin ini semua. Bisa jadi temen kamu berdoa bareng, bisa jadi temen kamu sampai ujung usia.” Jevin berkata sambil mempererat genggamannya di tangan sang puan yang ia genggam.
“Aku datang dari keluarga yang nggak jelas, kedua orang tuaku ninggalin aku sama adikku, keluarga kamu harusnya dapet anggota keluarga baru yang memang dari keluarga baik-baik, apalagi buat pendamping hidup kamu, Elleandru Jevino Adrian.” Letta hendak melepaskan genggaman tangannya tapi Jevin masih tahan di sana.
“Lett, aku nggak peduli latar belakang dan apapun itu, yang merasakan kan aku sendiri, aku nyaman aku seneng ada di deket kamu. Lett, semenjak kehilangan Eve selamanya aku nggak mau lagi kenal yang namanya cinta. Capek, tapi kamu, Letta… kamu yang bikin aku ngerti kalau cinta itu nggak hanya tentang take and give but also heal each other, and you are my healer, Nicholetta. Kamu yang sabar ngadepin aku yang sering panic attack, kamu yang ngerti gimana harus ngomong ke aku, kamu yang ngerti gimana keras kepalanya aku, dan kamu Lett, kamu yang bikin aku bisa ngerasain cinta lagi setelah kehilangan bertubi-tubi dan luka terdalamku.” Jevin mengucapkan kalimatnya dengan mengunci pandangannya kepada Letta, tanpa lepas sedikitpun, bahkan mata Jevin berkaca-kaca sekarang.
Kemudian Letta mendengarkan Jevin menuturkan kalimat lagi, “Letta, salah nggak kalau aku punya perasaan sama kamu setelah beberapa tahun ini? Aku juga nggak mungkin stuck di kesakitan itu, kamu sendiri yang bilang kalau kehidupan terus berjalan, kan? Lett, Cuma kamu yang bisa bikin aku melihat jauh ke depan, nggak hanya mikir buat hari ini tapi berpikir panjang. I love you more than I can say, Nicholetta. Would you be mine? Aku memang nggak romantis dan nggak seperti orang lain, aku nggak mau janji tapi aku mau usahain. Usaha buat kehidupan lebih baik ke depannya sama kamu, selamanya. Punya anak cucu dan menua bersama sama kamu, Letta.” Sejatinya Jevin sudah pendam ini sejak lama, Jevin juga tidak ada persiapan untuk mengutarakan perasaannya, tapi kali ini ia beranikan diri untuk mengutarakan segalanya kepada Letta. Sementara sang puan masih mengatur detak jantungnya dan juga matanya yang panas, Letta mengerjap ke kanan dan kiri, melepaskan genggaman tangan Jevin lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke dekat jendela yang terbuka, menghirup oksigen dalam-dalam.
“Aku siap sama jawaban kamu, apapun itu, sekalipun itu penolakan.” Jevin berkata dengan lesu, perasaan Jevin sudah tidak karuan bahkan ia sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk, yaitu ditolak lalu akan menjadi orang asing.
“Jev, aku nggak bisa,” kata Letta lirih, Letta masih berdiri di sana tanpa menoleh ke arah Jevin. Benar saja, beberapa tetes air mata jatuh dari pelupuk mata Jevin. Jika diingat, aspek kehidupan mana dari Jevin yang tidak lepas dari Letta? Dalam mengerjakan segala tugasnya kadang Jevin meminta bantuan Letta, jika bosan siapa yang Jevin hubungi untuk menemaninya pergi sejenak? Letta. Siapa di kalangan teman Jevin yang paham alergi Jevin? Letta. Siapa yang paling sering Jevin ajak ke rumahnya? Letta. Siapa yang paling sering melihat Jevin menangis? Letta.
“Iya, nggak papa, aku nggak maksa, aku hanya mau jujur aja,” kata Jevin sambil memaksakan senyum, “aku pamit.” Jevin berkata sambil beranjak dari sofa hendak berjalan keluar. Dua langkah Jevin ambil, ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang.
“Aku nggak bisa nolak kamu, aku nggak bisa juga kalau nggak ada kamu.” Letta memeluk Jevin dari belakang yang menghentikan langkah Jevin.
“Aku butuh kamu, aku butuh tangan kamu buat aku gandeng jalanin kehidupan ke depannya yang aku masih nggak tahu akan seperti apa. I need you, Jevin, aku butuh kamu buat nemenin aku berdoa, aku butuh kamu buat peluk aku kalau aku nangis, jadi yang terakhir buat aku, Jev…. Please…” Suara Letta parau seketika, bergetar di kalimat terakhirnya lalu membuat Jevin berbalik badan, memegangi kedua pundak Letta lalu menundukkan wajahnya menatap wajah Letta yang ayu. Letta pun menatap Jevin dan tersenyum haru, beginilah Jevin dan Letta saling mencandu hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang terlihat kecil dan sederhana tapi sangat bawa bahagia bagi mereka berdua.
“So, you’re mine? Right?” tanya Jevin.
“I’m yours, Elleandru Jevino Adrian, If you ask me to be yours, let me ask you to be the last for me.” Letta berkata sambil melingkarkan tangannya di perut Jevin dan mendekat ke arah Jevin. Keduanya tersenyum dan saling memeluk dalam hitungan detik, menjatuhkan hati bersama-sama setelah perjalanan penuh air mata selama ini ternyata tidak seburuk itu, maka Jevin selalu berdoa agar Tuhan selalu ijinkan ia untuk jaga Letta selamanya, memberkati setiap langkah perjalanan mereka.
“Jalan kehidupan kadang terlalu sulit dimengerti, Lett. Tapi, cara kamu menyikapi semuanya bikin aku ngerti kalau aku butuh penolong seperti kamu. I always pray to God, biar Tuhan berkati kita terus,” kata Jevin lalu melayangkan kecup di kepala Letta. Nyatanya hal itu membuat Letta terisak seketika di pelukan Jevin. Hanya rasa haru yang terasa di ruangan itu, hanya rasa bahagia dan air mata haru yang ada, cinta keduanya yang saling berpadu serta janji yang saling diucapkan untuk menjalani kehidupan berdua seterusnya.