Vedrick Petra
Sore ini Petra nampak terdiam di bangku taman rumah sakit, Jovian yang beberapa waktu lalu sempat mengantar dan menjemputnya dengan rutin kini tidak ada lagi semenjak ia mengajukan gugatan cerai terhadap Jovian. Keadaan sore ini sedikit mendung dan Petra masih bertahan disana membiarkan dirinya ditemani kesedihan dan kekecewaan yang berkecamuk dalam hatinya, namun beberapa saat kemudian ia merasakan ada seseorang yang menepuk pundaknya dari arah belakang, ia mendongakkan kepala, tangan seorang pria yang ia mendarat dan mengacak pelan rambutnya.
“Vedrick,” kata Petra lalu bangkit berdiri,
“Ditelfon nggak digubris sengaja ngehindar?” tanya Vedrick.
“Lo...” Petra menatap heran Vedrick,
“Udah nggak usah heran, pulang yuk?”
“Nggak usah, gue pulang sendiri aja nanti.”
“Mau disini?” Wanita itu mengangguk, Vedrick pun duduk bersebelahan dengan Petra,
“Kalau mau pulang duluan nggak papa.” sela Petra
“Gue mau nemenin lo. Dangdut nggak tuh?” senyum simpul terbentuk di wajah Vedrick.
“Apaan sih,” Petra mendengus sesaat.
“Jangan nyiksa batin sendiri. sini cerita,” Vedrick mencondongkan badannya kepada Petra
“Vedrick.” wanita itu menatap Vedrick nanar tersirat kesedihan di sorot matanya.
“Apa, Ra?”
“Gue nggak tahu mau cerita gimana,” kalimat itu terlontar dari mulut Petra. Tanpa menjawab apapun, Vedrick merentangkan tangannya.
“Butuh peluk kalau udah nggak sanggup bicara?” katanya, Petra menatap Vedrick dan perlahan pecah dalam tangis. Perlahan Vedrick menarik Petra ke dalam dekapannya.
“Vedrick gue takut,”
“Jangan takut, ada gue. Jangan khawatirin hal yang belum tentu terjadi, jangan terpaku sama hal yang udah terjadi juga.” Petra hanya menangis, keduanya hanyut dalam dekapan yang mengisyaratkan lara kala itu.
“Jangan diceritain kalau belum sanggup, Ra. Nanti aja, ya? Nangis aja dulu.” Vedrick menepuk pelan punggung wanita di pelukannya itu, Petra langsung terisak punggungnya bergetar kala tiba di pelukan Vedrick.
“Nangis aja sepuas lo, luapin semua.” Petra membenamkan wajahnya di sela leher Vedrick, Sebuah perasaan gelisah dan risalah menyelinap di hati Petra.
“Sakit, Vedrick, sakit...” mendengar ucapan itu ada desiran nyeri di hati Vedrick, tangan Vedrick masih menepuk pelan punggung Petra.
“Dateng ke gue kalau lagi sakit dan sedih ya, Ra.” Petra merenggangkan pelukan, Vedrick menggenggam jemari Petra dalam genggamannya, dilihatnya wanita di depannya masih terisak dan tersedu. Vedrick menarik pelan dagu Petra hingga wanita itu mendongakkan kepalanya menatap pria di depannya ini, satu tangan Vedrick mengusap air mata yang jatuh di pipi Petra. Langit abu yang menggulung menyaksikan dua insan itu kembali memeluk satu sama lain. Vedrick memang selalu bisa meredakan gundah yang Petra rasakan. Tanpa melakukan apapun, Vedrick selalu datang di waktu yang tepat.
Sekali lagi―kuat-kuat Petra menatap Vedrick dan memejam menahan air matanya yang mulai berdesakan keluar dari pelupuk matanya,
“Gue udah ajuin gugatan cerai, Jovian udah tanda tangan. Ternyata perpisahan gue sama dia lebih cepat dari satu tahun yang kita targetin.” Petra bertutur dengan suara parau. Memang benar, kenyataan pahit harus Petra hadapi saat ini.
“Kenapa secepat ini?” tanya Vedrick lagi, Petra hanya menggeleng dan tersenyum diatas tangisnya.
“Belum bisa cerita.”
“Nggak papa, jangan diceritain.” Lagi Petra sudah menahan mati-matian air matanya, Vedrick memeluk wanita yang menangis itu itu dengan hangat diantara senja yang akan berganti temaram. Tangan Petra meremas kemeja yang Vedrick kenakan,
“Gue sakit banget liat lo rapuh.” Saat itu keadaan yang tidak biasa menyelimuti kebersamaan Petra dan Vedrick. Petra merasakan sedikit ketenangan di dalam dekapan Vedrick. Kesamaan frekuensi diantara keduanya mengantarkan keduanya saling mengerti dan memahami. Saat itu juga Vedrick benar-benar sadar bahwa Petra sudah mengisi ruang kosong dihatinya hingga penuh seluruh.