WE MISS YOU, DAD

Eugene yang sedari tadi ada di depan sekolah Michelle mulai resah karena guru kelasnya berkata bahwa Michelle sejak pagi tidak terlihat. Hari ini adalah hari dimana orang tua murid mengambil hasil belajar atau rapot anak mereka. Sedangkan sejak pagi sebenarnya ada acara untuk anak murid sendiri yang sudah disusun oleh OSIS sekolah tersebut. Pagi tadi, jelas Eugene mengantar Yoel dan Michelle sampai di depan gerbang sekolah. Tapi, wali kelas Michelle berkata kepada Eugene saat Eugene tiba di kelas Michelle sekitar pukul sembilan untuk mengambil rapot bahwa sejak pagi tadi Michelle tidak muncul.

Hal itu membuat Eugene pusing bukan kepalang. Tidak mungkin ia menelepon Mamanya yang sedang mengambil rapot Yoel saat ini. Ponsel Michelle bisa ia hubungi, bisa dilakukan panggilan tapi Michelle tidak mengangkatnya. Puluhan kali Eugene menelepon Michelle tapi tidak ada jawaban.

Eugene pun melangkahkan kakinya ke sekitaran parkiran sekolah bahkan ke sekitaran luaran sekolah untuk mencari adiknya itu. Rapot tidak bisa dibagikan kalau murid yang bersangkutan tidak ikut hadir karena ada beberapa hal yang harus dibicarakan langsung kepada sang anak dan di depan orang tua atau wali murid.

Eugene berlari kecil mencari di sekitar sekolah Michelle, “dek, kamu kemana?” gumam Eugene cemas. Akhirnya Eugene coba untuk menenangkan dirinya sendiri dahulu. Ia membuka ponselnya, mencari kontak Papanya lalu ia menekan tombol panggilan tanpa pikir panjang.

“Pa, ini Eugene, sekarang Eugene di sekolah Michelle tapi Michelle nggak ada padahal dari pagi udah Eugene anter. Ini sekarang rapot Michelle nggak bisa diambil kalau anaknya nggak ikut. Gimana ya, Pa? Mama lagi ambil rapot Yoel.” Eugene nerocos di panggilan itu. Sampai akhirnya panggilan dimatikan dengan keputusan Jevin akan turun tangan mencari Michelle.

sekitar tiga puluh menit kemudian…

Sebuah mobil berhenti tepat di depan Eugene yang masih ada di depan sekolah Michelle. Jevin turun dari mobil itu dan mobil itu langsung melaju lagi, Eugene kaget bukan main sudah ada Papanya disana.

“Papa!” seru Eugene. Jevin pun langsung memeluk anak sulungnya itu, sebongkah besar kerinduan di hati Eugene ataupun Jevin lebur seketika. Kalau boleh jujur entah Eugene ataupun Jevin hampir menangis saat memeluk satu sama lain.

“Papa… Eugene kangen Papa…” bisik Eugene lirih. Jevin pun merenggangkan pelukan lalu memegangi kedua pundak anaknya itu.

“Michelle mana? Belum ketemu?” tanya Jevin. Eugene menggelengkan kepalanya. Pandangan Eugene sebenarnya sempat tertuju kepada punggung tangan Papanya itu ada plester di punggung tangan Papanya. Tapi belum sempat Eugene bertanya, Jevin sudah sedikit berlari untuk mencari keberadaan anak bungsunya itu. Eugene pun mengurungkan niatnya terlebih dahulu.

Beberapa pesan juga dikirimkan Letta kepada anak sulungnya itu menanyakan apakah rapot Michelle sudah diambil atau belum. Eugene memilih untuk tidak membalasnya dulu, ia tidak ingin Mamanya juga ikut panik.

Tapi satu hal membuat Eugene benar-benar kaget, ia melihat Papanya berjalan sambil menggandeng Michelle. Eugene melihat Michelle dengan mata sembab dan hidung merah. Eugene pun langsung menghampiri dan menghalangi jalan Papa dan adiknya itu.

“Cel, dari mana?!” tanya Eugene panik sambil mencengkeram pundak adiknya itu.

Michelle memalingkan wajahnya enggan menatap kakak laki-lakinya itu dan hanya memeluk lengan Papanya. “Tadi ada di minimarket deket sini, biar Papa aja yang ambil rapot Michelle. Eugene tunggu ya, oke?” kata Jevin lembut sambil mengusap pundak Eugene. Anak sulungnya itu pun menurut saja. Sedikit kelegaan bisa Eugene rasakan kali ini.

Tidak lama kemudian, Jevin sudah kembali menghampiri Eugene bersama Michelle dan menenteng rapot milik Michelle. Raut wajah Michelle juga sudah berbeda, terlihat lebih sumringah.

“Udah ambil rapotnya?” tanya Eugene sambil mengacak poni adiknya itu dengan gemas. Michelle mengangguk antusias dan tersenyum. Eugene pun tersenyum lega, ia memberikan kunci mobil kepada Michelle, “ke mobil duluan, gih,” katanya.

Michelle hanya menatap bingung.

“Koko mau ngomong sama Papa dulu.”

“Ya.” Michelle menjawab dengan singkat lalu menuruti apa yang kakak laki-lakinya itu katakan.

“Pa,” panggil Eugene lirih.

“Ya?”

“Papa sakit?”

Jevin menggeleng.

“Papa habis diinfus? Papa sakit apa? Jangan bohong sama Eugene, wajah Papa juga masih pucat.”

Jevin tidak bisa mengelak.

“Papa nggak apa-apa.” Jevin mencoba tersenyum lalu merangkul anaknya itu untuk kembali ke mobil Eugene.

“Papa jangan sakit, makasih Papa udah datang kesini ambil rapot Michelle. Tapi Papa jangan sakit lagi.” Eugene berkata dengan suara yang bergetar. Tangan Jevin bergerak mengusap punggung anak sulungnya itu tapi saat sudah sampai di samping mobil, Eugene malah menghentikan langkahnya lalu menyeka air matanya.

“Pa, kenapa Papa nggak bilang kalau lagi sakit? Eugene tahu kalau Papa udah kayak gitu pasti habis diinfus kan?” tanya Eugene.

“Nak..”

“Apa susahnya jujur sih, Pa?”

“Papa baik-baik aja.”

Eugene mendecih, “bahkan sekarang Papa jelas-jelas lagi bohong.”

“Papa nggak kenapa-kenapa.” Jevin tersenyum.

Eugene menunduk dan mendesis pedih, “kita anak-anak Papa nggak berhak tahu apa gimana kalau Papa sakit?” lantas Eugene mendongak perlahan menatap Jevin dengan nanar.

“Bukan gitu,” sanggah Jevin.

Ternyata suara keduanya didengar Michelle, anak perempuan itu keluar dari mobil lalu langsung menghampiri Jevin, Michelle memeluk Papanya itu. Seketika, Eugene pun hanya bisa terdiam.

“Tadi Michelle pergi nggak ikut kegiatan sekolah karena Michelle nggak mau koko terus yang ambil rapot Michelle. Semua anak diambil orang tuanya. Tapi tadi Michelle juga lihat tangan Papa kayak bekas infus. Maafin Michelle kalau Michelle ngerepotin Papa. Maafin Michelle ya, Pa. maafin Michelle ya, Ko Eugene…” anak perempuan itu berkata dengan linangan air mata yang tidak bisa lagi dibendung. Jevin pun hanya bisa memeluk anaknya itu, sedangkan Eugene sibuk mengerjapkan mata ke sembarang arah agar ia tidak menangis juga.

Tapi yang Jevin lakukan malah membuka satu lengannya lagi menawarkan dekap bagi anak sulungnya juga. Maka saling memeluklah mereka bertiga saat itu. Pelukan seorang ayah yang mereka rindukan sejak perpisahan Jevin dan Letta kini kembali lagi. Bertahun-tahun silam, Jevin dan Letta berpisah, tapi tidak bercerai, tidak tinggal satu atap lagi, karena kesepakatan mereka berdua dan ada hal-hal yang Jevin lakukan yang menyakiti hati Letta.


Akhirnya, Eugene tiba di rumah tentu saja masih bersama Michelle dan Papanya. Sementara Letta dan Yoel sudah ada di rumah usai mengambil rapot milik Yoel. Saat Eugene, Michelle dan Jevin keluar dari mobil, langkah Jevin terhenti, seperti ragu hendak masuk ke rumah yang pernah ia tinggali itu, rumah dimana ia membesarkan ketiga anaknya dan membina rumah tangga bersama Letta. Langkah Jevin terasa berat karena seketika semua kenangan masa lalu lewat begitu saja di pikirannya.

“Pa, ayo.” Michelle menarik tangan Papanya itu. Akhirnya Jevin hanya bisa pasrah, langkah kaki mulai memasuki rumah itu. Letta dan Yoel yang ada di ruang tamu sontak kaget bukan main melihat Jevin ada di sana bersama Eugene dan Michelle. Letta sempat terdiam di tempat sementara Yoel langsung bangkit berdiri dan berlari menghampiri Jevin dan langsung memeluk Papanya itu.

“Papa… papaa!” Yoel antara senang dan terharu, matanya berkaca-kaca saat memeluk Papanya itu. Jevin juga membalas pelukan anak tengahnya itu. Dalam hitungan detik kini ketiga anak Jevin itu memeluk Jevin di depan mata Letta. Sedangkan Letta masih berdiri membeku di tempatnya, kakinya terasa lemas saat sempat beradu tatap dengan mata Jevin yang juga berkaca-kaca saat menatapnya. Letta meremas ujung bajunya dan perlahan berjalan mendekat.

Saat pelukan sudah direnggangkan, Jevin mencium puncak kepala ketiga anaknya bergantian. “Papa, Yoel kangen Papa.” Yoel berkata dengan raut wajah terharu. Jevin mengusap pipi Yoel dan mengangguk.

“Papa sakit, habis dari IGD diinfus tapi langsung ke sekolah Michelle tadi.” Eugene menyeletuk yang membuat Yoel dan Letta membulatkan matanya.

“Papa sakit apa?” tanya Yoel panik.

“Nggak apa-apa. Cuma lagi rendah aja tensinya terus sering pusing kayak mau pingsan, but it’s okay papa baik-baik aja.” Jevin menjawab dengan membubuhi senyum tipis.

“Aku udah bilang kamu jaga kesehatan dulu.” Letta berkata sambil berbalik badan hendak kembali duduk di sofa.

“Ini buat anak-anak. Anak aku, anak kita.” Ucapan Jevin seketika membuat Letta seakan ingin meledak dalam tangis saat itu juga.

“Icel mau sama Papa, tapi Icel mau sama Mama juga. Icel mau sama Papa, Mama, Ko Eugene sama Ko Yoel,” ucap Michelle lirih.

“Michelle.” Letta berbalik badan sambil menatap tajam anaknya itu.

“Libur sekolah kali ini, biarin Icel sama Papa boleh, Ma?” tanya Michelle dengan sedikit perasaan takut.

“Yoel juga.” Anak tengah Jevin dan Letta itu menambahkan.

“Eugene juga, Eugene temenin adik-adik.” Eugene angkat bicara.

Letta tidak tahu harus berkata apa, sementara Michelle hanya memeluk Jevin terus sedari tadi.

“Kalian tetap disini aja temenin Mama, biar Papa yang sering-sering dateng kesini, ya?” ucap Jevin kepada ketiga anaknya itu.

“Bohong, bulan kemarin Papa bilang gitu juga tapi sekalipun Papa nggak pernah kesini,” sanggah Yoel.

“Ma, kali ini bolehin kita ikut Papa. Selama liburan aja, katanya Mama sama Papa tetap jadi orang tua kita semua? Selama ini kita udah sama Mama, nggak salah kan kalau sekarang mau sama Papa? Papa sendirian selama ini, Papa sakit nggak ada kita yang nemenin. Boleh ya, Ma?” Yoel memohon kepada Mamanya itu sambil meraih tangan Mamanya.

“Tiga hari,” ucap Letta singkat.

“Maaa….” Ketiga anak Letta itu menggerutu.

“Udah nggak apa-apa biar Papa aja yang kesini, udah Eugene, Yoel sama Michelle tetap disini aja sama Mama.” Jevin memotong pembicaraan.

“Ma, kita udah nemenin Mama terus selama ini. Papa sampai sakit pun nggak ada yang nemenin, kita juga mau ngerasain disayang Papa. Kita mau ngerasain kasih sayang Papa. Kita anak-anak Papa. Eugene, Yoel sama Michelle itu anak kandung Papa Jevin!” Nada bicara Eugene meninggi seketika.

“Eugene!” bentak Letta. Jevin berjalan mendekat ke arah Eugene lalu mencoba menengahi dan menenangkan anak sulungnya itu.

“Bisa kurangi ego Mama sedikit? Kita tahu Papa pernah lakuin kesalahan ke Mama, tapi sampai kapanpun hubungan anak dan orang tua nggak akan pernah hilang. Kita selalu nemenin Mama tapi kita nggak pernah bisa nemenin Papa. Kali ini aja… Eugene mohon… kali ini aja biarin Eugene sama Yoel sama Michelle ikut Papa selama libur.” Suara Eugene bergetar hebat bahkan air mata sudah jatuh di pipi Eugene. Jevin yang ada di depan Eugene hanya bisa tertunduk lesu.

“Yoel kangen Papa. Nggak boleh ya, Ma?” Yoel kini juga menangis saat melafalkan kalimatnya. Michelle hanya bisa bersembunyi di belakang tubuh Eugene sambil memegangi baju Eugene. Tangan Eugene pun bergerak perlahan merangkul dan memeluk Michelle di sebelahnya.

Jevin berbalik badan menatap Letta, “Letta, boleh ya kali ini? Nggak akan lama, aku juga mau tanggung jawabku sebagai ayah mereka nggak hilang gitu aja. Aku mohon,” katanya.

“Jev, kamu ngerti alasan aku nggak bolehin kali ini? Karena kamu lagi sakit! Bukan aku egois, aku mikirin kamu juga, aku mikirin kamu! Aku nggak mau sakit kamu makin parah apalagi harus urus anak-anak.” Letta mengucapkan kalimatnya dengan suara yang parau. Hati Jevin berdesir mendengar hal itu karena ia merasa Letta masih peduli terhadapnya. Ketiga anak mereka diam di tempat sibuk menyeka air mata masing-masing kali ini.

“Aku baik-baik aja, Letta. Kalau ada anak-anak aku malah bakalan baik-baik aja, sakitku salah satu penyebabnya karena aku kangen kalian. Aku butuh kalian.” Jevin mencoba tersenyum diatas air matanya. Sedangkan bibir Letta bergetar dan ia menggigit bibirnya saat beradu tatap dengan iris gelap Jevin. Tak lama, Letta pun mengangguk. Ketiga anak mereka itu pun memeluk Letta.

“Makasih Mama,” ucap Eugene, Yoel dan Michelle hampir bersamaan. Letta mencium pipi ketiga anaknya itu bergantian. Michelle pun sempat melepaskan pelukan lalu menarik tangan Jevin, mengajak Jevin bergabung untuk saling memeluk. Saat itu juga pecahlah tangisan Jevin, sosok ayah bagi Eugene, Yoel dan Michelle. Tidak ada kata cerai diantara Jevin dan Letta tapi keadaan tidak lagi sama. Jevin, Letta, Eugene, Yoel dan Michelle saling memeluk dan menumpahkan perasaan.

“Papa sayang kalian, maafin Papa nggak bisa kasih keadaan keluarga yang sempurna. Maaf…” ucapan lirih Jevin saat itu membuat derai air mata semakin deras diantara mereka. Walaupun perasaan Jevin dan Letta tidak lagi sama seperti dahulu kala, tapi tidak ada yang bisa memisahkan hubungan anak dan orang tua sampai kapanpun.