Who Am I?

Calvin keluar dari mobil dan buru-buru masuk ke dalam rumah membawa obat merah dan plester luka, ia langsung menuju ke ruang tamu dan melihat Jeremy ada di sana. Jeremy duduk di sofa dengan beberapa tisu bekas untuk mengusap darah yang bercucuran tergeletak di sekelilingnya. Calvin langsung berlutut di hadapan Jeremy, “Pak, kok bisa sampai begini?” tanya Calvin panik.

“Biasa, tadi teledor. Mecahin gelas tapi nggak lihat-lihat.” Jeremy menjawab dengan santai.

“Mau ke Rumah Sakit aja? Ke klinik?” Calvin menawarkan. Tapi tangannya bergerak meraih kaki Jeremy dan menaruhnya di atas pahanya sambil ia obati. Jeremy menggeleng, “ini cuma kegores kaca biasa kok, nggak papa, Calvin.” Calvin terlihat sangat panik, Calvin membantu membalut luka di kaki Jeremy.

“Makasih ya, Vin.” Jeremy berkata dengan nada teduh. Calvin yang usai membalut luka di kaki Jeremy itu mengangguk dan tersenyum kepada Jeremy. Tapi pandangan mata Jeremy terarah ke lengan Calvin dimana terdapat beberapa goresan dan sayatan di sana. Kepala Calvin juga seperti habis terbentur sampai ada bekas luka mengering di sana. Calvin pun bangkit berdiri hendak menyimpan barang-barang tadi ke kotak P3K. Awalnya ragu tapi akhirnya Jeremy memberanikan dirinya untuk bertanya.

“Calvin,” kata Jeremy yang membuat Calvin menghentikan langkahnya, Calvin berbalik badan, “ya, Pak?” tanya anak lelaki itu.

Jeremy menepuk bagian kosong di sofa yang ia duduki, “sini dulu,” kata Jeremy menyuruh Calvin duduk di sebelahnya. Calvin menurut saja.

Tidak ada kecurigaan dari Calvin, bahkan lengan kemeja yang ia gulung sebenarnya tidak menutup sayatan di lengannya tapi karena ia terlalu terburu-buru tadi mencarikan obat untuk Jeremy ia sampai lupa kalau ada luka yang harus ia tutup.

Jeremy meraih pergelangan tangan Calvin dan menariknya, “ini kenapa, Vin?” tanya Jeremy lirih. Tenggorokan Calvin tercekat bukan main, dadanya naik turun, kepalanya terasa pening teringat apa yang ia lakukan semalam tadi.

“Kamu kenapa, Vin? Kepala kamu juga. Jatuh atau kenapa?” tanya Jeremy. Calvin menarik tangannya perlahan, menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Ia menunduk tidak berani menatap Jeremy.

“Vin, tubuh kamu itu diciptakan berharga. Tuhan merenda kamu sejak dalam kandungan, setiap detail dari diri kamu Tuhan yang ukir, jangan dilukai, Vin. Jangan dirusak, ada apa? Cerita aja kalau nggak keberatan. Ada yang nyakitin kamu?” suara Jeremy menusuk telinga Calvin membuat Calvin hendak menangis. Jeremy tidak melanjutkan kalimatnya lagi, kini Jeremy mengusap punggung Calvin perlahan, tidak ada kata yang terucap dari keduanya.

Tapi Calvin merasa sangat tersentuh saat ia merasakan usapan lembut dari tangan Jeremy untuknya. Belum pernah rasanya ia ditenangkan seperti ini seumur waktu. Calvin semakin menunduk, tanpa disadari air mata Calvin mengalir, teringat tadi malam saat ia membenturkan kepalanya ke tembok dan menyayat lengannya sendiri agar bisa menangis. Semua karena pesan yang ia terima dari keluarganya. Ia merasa tidak pantas, ia merasa tidak seharusnya lahir di dunia ini.

“Baru kali ini ada yang bilang saya berharga. Biasanya saya Cuma dibilang worthless, I don’t deserve to be loved, bahkan katanya saya nggak pantas lahir.” Kalimat yang Calvin lontarkan itu terdengar bergetar.

“Siapa yang ngomong gitu?” Jeremy menekankan kalimatnya.

“Orang-orang yang harusnya jadi tempat saya pulang. Makanya saya nggak mau pulang, saya nggak pernah merasakan apa itu rumah. Saya nggak tahu arti rumah yang sebenarnya. Kepala saya berisik tapi nggak ada yang bisa menampung, at least dengerin saya. Curhat sama Tuhan, mungkin Tuhan udah bosen denger saya curhat sama nangis-nangis setiap malam. Tapi saya udah ada di tahap nggak bisa nangis, tapi pengin luapin semuanya. And I did it… saya tahu ini salah, maaf, Pak.”

Setelahnya yang ada adalah tangisan Calvin yang menggema, setelahnya yang ada adalah hati Jeremy yang turut merasakan sakit yang Calvin rasakan. Mendengar Calvin menangis seperti mendengar anaknya sendiri menangis. Jeremy tidak bisa membayangkan kalau posisi Calvin adalah Lauren, Jevin atau Mevin.

“Calvin, you should know that you’re so precious.” Jeremy mengucapkan kalimatnya dibubuhi senyum tipis, Calvin memberanikan diri menatap Jeremy meski dengan air mata yang sudah membasahi matanya.

“Apa.. Pak?”

You are so precious.” Jeremy tersenyum sambil membelai puncak kepala Calvin. Saat itu juga Calvin menangis lagi, ia belum pernah mendengar ucapan itu dari siapapun. Yang orang-orang katakan kepadanya selama ini hanya ujaran kebencian, hanya umpatan, hanya kata-kata kasar yang menunjukkan ketidakinginan mereka melihat Calvin ada di dunia ini, kejamnya lidah orang sekitar Calvin yang lebih tajam dari pedang bermata dua, itulah yang Calvin dengar selama ini. Tapi di sini ia mendengar bahwa ada seseorang yang memandangnya berharga.

Jeremy pun tidak sungkan memeluk Calvin, “saya kalau lihat kamu nangis gini keinget anak-anak saya, Vin. Nama kalian juga hampir sama, Jevin, Mevin, Calvin,” kata Jeremy.

Calvin merasakan hangatnya pelukan Jeremy, apakah seperti ini yang dirasakan jika memiliki figur ayah yang hangat? Siapa yang tidak ingin memiliki sosok ayah seperti Stefanus Jeremy Adrian? Memang, Jeremy pun jauh dari kata sempurna, sangat jauh, tapi untuk menyempurnakan orang sekitarnya, membuat orang sekitar merasa lebih berharga dan menghargai kehadiran orang sekitar, itu yang selalu Jeremy lakukan.

Jeremy tulus terhadap setiap orang, Jeremy tidak menghakimi dan ia paham bahwa kita semua adalah makhluk ciptaan yang seharusnya menghargai dan memanusiakan sesama. Kalau sesama keluarga saja bisa saling menyakiti sebegitunya, apakah bisa pantas disebut keluarga? Tidak masalah jika yang memanusiakan kita adalah orang lain, tidak masalah jika yang menganggap kita keluarga adalah orang lain. Keluarga bisa datang dari mana saja.

“Saya belum pernah dipeluk seperti ini sama Papa saya, belum pernah juga ada yang bilang saya berharga. Selama saya hidup di dunia, baru sekarang saya merasakan hal sekecil ini, Pak.” Calvin menangis di pelukan Jeremy.

“Sekalipun Papa kamu, orang tua kamu atau siapapun nyakitin kamu, jangan pernah lupa kalau masih ada Tuhan. Manusia terbatas, tapi yang selalu pantau kamu dan ada buat kamu dua puluh empat jam penuh itu Tuhan.”

“Tuhan ada nggak waktu saya dipukul Papa saya? Tuhan lihat nggak waktu saya dimaki keluarga saya? Tuhan juga tahu kan waktu saya berusaha dibunuh walaupun masih di dalam kandungan,” kata Calvin di sela tangisannya sambil masih memeluk Jeremy.

Saat itu juga perlahan Jeremy paham apa yang Calvin alami, saat itu juga hati Jeremy sebagai seorang ayah juga merasa sakit. Ia sebagai seorang ayah yang pernah kehilangan anaknya (kembaran Jevin yang asli) karena tidak bisa diselamatkan, dan ia adalah seorang ayah yang nyaris kehilangan anaknya juga saat Mevin dihadapkan di dua pilihan apakah Mevin akan ikut Jovian orang tua kandungnya atau Jeremy dan Lea. Hal itu melintas di pikiran Jeremy, bohong kalau Jeremy juga tidak merasa sedih. Jeremy merasa sakit mendengar penuturan Calvin. Selama ini Calvin berjalan sendirian, selama ini Calvin pendam semuanya sendirian. Jeremy tidak bisa membayangkan betapa beratnya jalan yang harus dilalui Calvin.

“Apa saya masih bisa ngerasain punya rumah ya, Pak?” suara Calvin mengalun lirih.

“Bisa, Calvin… bisa.”